Archive for Oktober, 2015

Pendiri Jong Batak, Pahlawan yang Diberangus Sejarah

amir

Amir Sjarifudin

 Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu. Karakternya sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda. Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama Dirk Smink. Kristen Calvinis adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin. Calvisnis berasal dari spirit ajaran John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Sjarifuddin seorang Muslim. Berpindah agama Kristen saat di Belanda, tetapi dibaptis di HKBP Kernolong, Jakarta tahun 1931. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh. Tiap hari Minggu turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Amir adalah orang yang berpengetahuan tinggi, soal politik dan teologia. Bahasanya sederhana dan lugas. Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui kata-katanya dengan humor, karenanya ia menjadi sangat populer. Sebagai orang yang Kristen sejati, Ade Rostina Sitompul, aktivis kemanusiaan. Ade punya kenangan pada sosok Amir Sjarifuddin, karena ayahnya Kasianus Sitompul berkawan dengan Amir. Amir tinggal di Daerah Guntur, Jalan Sumbing. Kawasan Guntur terkenal dengan kampung Batak. Kala itu, orang Batak bergereja di rumah salah satu warga bermarga Nainggolan, disanalah sering Amir berkotbah. “Kohtbahnya bersemangat nasionalisme. Bagaimana mengusir Jepang, bagaimana hidup sebagai Kristen. Dia bercerita bagaimana kenangan-nya dipenjara Jepang, dia suruh minum sebanyak-banyaknya, lalu dia digantung dengan kepala ke bawah, lalu air tumpah keluar semua. Saya melihat sosok Amir itu adalah orang yang bersahabat, selalu mengajak anak-anak dialog. Yang pertama dia Tanya sudah berdoa belum? Namanya harus dipulihkan. Apalagi setelah buku yang ditulis dengan Sumarsono itu,” ujar Ade Rostina Sitompul. Soal semangatnya Kristen-nya, Amir Sjarifuddin mengidolakan Toyohiko Kagawa (1888-1942). Kagawa adalah tokoh Kristen Jepang, yang dulunya adalah penganut agama Shinto. Hidup dengan orang-orang miskin di daerah kumuh, Shinkawa, Jepang. Dia dikenal sebagai bapak dari gerakan buruh di Jepang, seorang pendiri Serikat Buruh pertama di Jepang yang menyerukan melawan materialisme, kapitalisme. Bagi Kagawa, Kekristenan seharusnya malu mendirikan gereja-gereja besar dan mahal, tetapi gagal mengikuti manusia yang lahir di palungan dan dikubur makan milik orang lain. Bagi Kagawa Salib Jesus itu kuasa yang besar. Amir tidak hanya pintar berbicara, tetapi pintar menulis. September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Lalu, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran “Massa Actie”. Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas. Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; “ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut”. Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini. Pendiri Jong Batak Tahun 1925, sejak “Jong Sumatra”, kesadaran Batak mulai mucul. Amir Sjarifuddin, Sanusi Pane (1905-1968), dan teman-temanya yang sesama etnis Batak, mendirikan organisasi yang disebut “Jong Batak”. Organisasi pemuda Batak ini dibentuk atas kesadaran, karena nominasi “Minang” yang lebih dominan di organisasi “Jong Sumatra “ itu. Atas kesadaran itu Amir dan rekannya membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak. Salah satu kesepahaman mereka adalah “Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata Negara lama yang bijak. Kita mempunya hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…” (Hans Van Miert, hal 475). Dihapus dari Sejarah Dia dieksekusi pada Peristiwa Madiun tragis 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Dihujat berlebihan. Purbasangka yang tak berdasar. Orang PKI menyebutnya, “krucuk” anak bawang dalam politik, dia nyaris tidak mendapat tempat dari teman-temannya. Lawan politiknya menyebutnya dia arogan. Pada 29 November 1948, Amir dua rekannya Soeripino dan Harjono bersembunyi di sebuah gua di Pengunungan Gua Macan, sebelah Utara Klabu, Panebahan. Dari dalam gua Amir sempat menyerukan “Saya hanya mau menyerah pada pasukan Panebahan Senopati.” Baru menyerahkan diri tanpa menggunakan sepatu, berpiyama dan memegang pistol, janggutnya tidak terurus dan rambutnya acak-acakkan. Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto, distigma otak dari semua malapetaka Madiun 1948. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”. Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. Wartawan senior, Rosihan Anwar menulis, Amir dieksekusi dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, bukan Alkitab. George Mc Turnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifuddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena Dia merasa ditinggalkan oleh Aerika yang katanya jago demokrasi itu. Amir Sjarifuddin “kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville”. Kegengerian itu tidak hanya berhenti disitu. Setelah dia mati, keluarganya terluntah-luntah. Dua tahun setelah meninggal, atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 15 November 1950, pusaranya digali kembali, dilakukan proses identifikasi selama seminggu. Setelah proses identifikasi, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga, dimakamkan kembali dengan nisan masing-masing berjajar. Masa Orde Baru tahun 1965, pasca-G30S, sekelompok pemuda menghancurkan pusara itu lagi. Lalu ditutupi dengan potongan rel kereta api, setiap sisi diberi cor semen. Makam-makam baru juga dibangun bersebelahan dengan setiap sisi sehingga kerangka Amir Sjarifuddin sulit dipindahkan keluarga. Warga desa Ngaliyan tidak berani menghalang-halangi pemuda-pemuda tersebut sebab pada saat itu terror juga turut mereka rasakan. Kesulitan untuk memugar makam tersebut dirasakan pihak keluarga harus mengurus perizinan yang rumit dari aparat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Lucunya harus persetujuan Kodim serta pihak Departemen Pertahanan Keamanan. Informasi tentang Amir Sjarifuddin pun sengaja ditutup-tutupi. Di sekolah, belajar sejarah, nama Amir tidak pernah terdengar. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, dan jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang-nya selalu dibragus. Satu fakta, Majalah Prisma tahun 1982 pernah hampir dibredel karena memuat tentang tulisan Amir Sjarifuddin, dalam rangka 75 tahun Amir Sjarifuddin. Tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan pernah menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem berjudul: “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Sayang, buku itu di-sweeping oleh pemerintahan Soeharto, karena dianggap merusak sejarah Indonesia. Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman. Perjuanganya tidak pernah dihargai negara. Untuk pemugaran makam-nya saja dibutuhkan waktu 60 tahun. Pemungaran baru bisa tahu lalu dipelopori lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute dalam bahasa Latin, yang artinya Agar Semua Satu Adanya. Lembaga yang didirikan 17 pemuda Batak, saat ini diketuai Jones Batara Manurung. Pemungaran tepatnya dimulai 12 Agustus 2008, dengan serangkaian tahapan antara lain: Pertama, pendekatan pada warga desa Ngaliyan dengan koordinasi dengan Komnas HAM. Lalu dilakukan pertemuan seputar teknis pelaksanaan pemugaran, oleh Ut Omnes Unum Sint Institute memberitahukan perihal rencana pemugaran pada pihak pihak Kecamatan Karanganyar. Setelah pemugaran selesai, tanggal 14 November diadakan Ibadah Syukur di Gereja Dagen Palur, Solo dihadiri para undangan dari berbagai Gereja, LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta. Saat ini di Desa Ngaliyan, setiap bulan “Ruwah”, satu bulan sebelum puasa Islam warga punya tradisi membersihan, perbaikan makam. Bagi masyarakat Ngaliyan, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan adalah pahlawan. Dulu, setiap bulan Ruwah, warga Ngaliyan tidak berani membersihkan makam, takut dicap PKI. Sebutan tak kalah kejam adalah dia disebut seorang ateis, atau seorang yang beragama komunis. Tetapi kebenaranya sejarah merungkap bahawa ideologi politiknya memang komunis, tetapi dia bukan anti-agama. Para pemimpin agama anti-komunislah menyebut dia ateis. Amir jelas penganut humanis, politikus flamboyan, seniman. Tak kala galau dia mengesek biola saban dulu menjadi kegemarannya. Tidak ada tanda-tanda dia ateis. Aristoteles mengatakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Kata-kata itulah yang tepat mengambarkan hidup tragis Amir Syarifuddin Harahap.

Theologi Pembebasan

amir-1

 

 

 

Indonesia pernah memiliki seorang perdana menteri yang sengaja dilupakan. Di bawah genderang revolusi pertama dia memimpin Indonesia. Dialah Amir Syarifuddin, yang mati seperti Pattimura, dieksekusi mati ketika mereka memegang Injil. Berdasarkan berita yang kita terima dari detik.com, pada 09 Agustus 2006 telah ditemukan di sebuah pemakaman Umum Ngaliyan, Lalung, sekitar 5 km di selatan Kota Karanganyar, seperti makam-makam desa lainnya. Sebatang pohon kamboja tumbuh di tengah jejeran nisan-nisan, berdiri tegak lurus dengan sebatang pohon asam yang rimbun. Sekeliling pemakaman dipagari tembok setinggi 1,5 meter.

Setitik nilai historis yang terlupakan pada sepetak tanah berukuran sekitar 2 x 8 meter yang ada di tengah pemakaman. Letaknya di dekat pintu gerbang yang terbuat dari besi bercat hijau. Gundukan itu tak bernisan. Tak ada penanda apa pun. Di atasnya, tumbuh sejumput tipis rerumputan kering diselingi beberapa tangkai ilalang. Sekitar 1,5 meter di bawah gundukan tersebut, terbujur jasad Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin adalah salah satu dari tokoh Empat Serangkai (Soekarno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin), yang memimpin pemerintahan pada zaman revolusi. Amir tidak sendirian di kuburnya. Bersamanya, dalam satu lubang yang sama, terbujur 10 rekannya. Ya, akibat petualangan politiknya bersama Partai Komunis Indonesia (PKI), tengah malam pada tanggal 19 Desember 1948, mereka dieksekusi bersama-sama oleh polisi militer, anak buah Kolonel Gatot Subroto di lokasi tersebut.

Eksekusi itu sendiri tanpa melalui pengadilan militer dan lebih dipicu sebagai kepanikan menyusul Agresi Militer II Belanda atas Kota Yogyakarta pada pagi harinya. Sebab, pada Agresi Militer I, 21 Juli 1947, para tahanan republik di LP Wirogunan memanfaatkannya untuk kabur tanpa sempat diadili. Sejarah memang mencatat kelam nama Amir. Perannya sebagai pelaku Sumpah Pemuda (Jong Batak) 1928 dan pejuang anti-Jepang, hingga nyaris dihukum mati, jarang diungkit-ungkit. Apalagi kabar dari salah satu versi, bahwa dialah sebenarnya calon proklamator utama NKRI, sebelum akhirnya pilihan pemuda-pemuda revolusioner jatuh pada Soekarno-Hatta.

Catatan yang muncul dalam lembar sejarah adalah hujatan atas kegagalannya sebagai perdana menteri dengan menandatangani Perjanjian Renville (1948). Dan yang paling fatal adalah kiprahnya sebagai tokoh PKI pendukung negara Sovyet Republik Indonesia bentukan Musso di Madiun tahun 1948 yang sekaligus anti-Perjanjian Renville. Sungguh, citra sempurna untuk orang yang dicap pengkhianat bangsa. Coreng itulah yang menjadikan Amir menjadi stigma hitam bahkan hingga saat tubuhnya menyatu dengan bumi. Sebetulnya, ketika masa traumatik terhadap PKI berakhir, sekitar tahun 1951 sudah ada upaya untuk mengurus jasad Amir dan rekan-rekannya dengan layak. Saat itu, dilakukan upaya penggalian kembali. Jasad 11 orang yang bertumpuk-tumpuk, dirapikan. (www.detik.com, Rabu, o9/08/2006, 09:23 WIB)

Masing-masing diidentifikasi dan dimakamkan secara layak meski tetap dalam lubang yang sama. Pada makam, bahkan sudah dilakukan pengecoran dan pemberian nama 11 nisan sesuai dengan urutannya. Berdasarkan keterangan warga, keadaan makam saat itu bersih dan rapi. “Bahkan ada juru kuncinya, yakni Pak Mangun,” ujar Warsiman, penduduk di sekitar makam, seperti dikutip detik.com. Sanak saudara Warsiman, adalah salah satu penduduk yang diminta aparat untuk menggali lubang kubur Amir dan rekan-rekannya pada tahun 1948. Warsiman yang sekitar tahun 1964, menginjak usia SD, bahkan masih ingat, bila akhir pekan, makam tersebut laksana pasar. “Banyak yang berziarah sampai dipenuhi penjual makanan. Saya dulu malah sering dikasih permen oleh para penziarah,” kata dia. Namun seiring dengan peristiwa 30 September 1965 yang kembali melibatkan tokoh-tokoh PKI, keriuhan itu bubar. Suatu hari, di tahun 1965, tanpa alasan yang jelas, sekelompok orang tak dikenal datang merusak makam Amir dan rekan-rekannya tersebut dan mencabuti papan nisan mereka. Sejak itu, makam Amir cs menjadi tak terawat. Tak ada penduduk yang berani untuk sekadar membersihkannya. Mereka takut dicap pro-PKI yang menjadi stigma kental era Orde Baru.

Waktu akhirnya memangsa reruntuhan makam disaput tanah dan rerumputan. Hanya kambing-kambing kampung yang setia merawat, menyiangi agar rumput tak bertambah tinggi. Padahal niatan untuk sekadar memuliakan orang yang telah meninggal pernah ada. Dulu ada usulan dari kampung agar di sekitar makam  didirikan cungkup. Ya, sekadar untuk tempat berteduh bagi peziarah makam yang kepanasan. Tapi usul ini kandas di tangan pemerintah lokal. “Akhirnya sampai sekarang begini keadaannya. Tidak ada yang ngopeni. Bahkan anak-anak zaman sekarang banyak yang tak tahu, itu makam bekas pembesar.” Warsiman benar, faktanya, detik.com menjumpai sangat sedikit penduduk Karanganyar yang tahu soal sejarah makam Amir Syarifuddin. Sungguh pun begitu, bukan berarti tak ada peziarah. Penduduk sekitar mengaku sesekali melihat orang-orang asing, menyambangi makam. Umumnya mereka mengendarai mobil bernomor polisi Jakarta. “Mereka nyekar sambil menangis-nangis di depan makam. Mereka sudah tahu makam itu, meskipun tidak ada nisannya. Mungkin keluarganya,” ujar Warsiman. Begitulah, bangsa ini boleh menafikannya. Namun bagi beberapa orang, sepetak tanah berukuran 2 x 8 meter tersebut masih memiliki arti.

Spirit Anti Kolonialisme

Persinggungan Amir dengan dunia pergerakan dimulai saat ia aktif berorganisasi di Perhimpunan Siswa Gymnasium selama mengenyam pendidikan di Belanda. Ketika berkecimpung di organisasi inilah, Amir menjadi penggerak kelompok diskusi Kristen yang bernama Christelijte Studenten Vreeninging op Java (CSV op Java).

Diskusi-diskusi yang diadakan CSV op Java tersebut membahas berbagai persoalan politik yang berkaitan dengan situasi pergerakan nasional di tanah air. Kelompok CSV op Java ini dikemudian hari bermetamorfosa menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Sepulangnya dari Belanda pada tahun 1927, Amir meneruskan pendidikannya di Sekolah Hukum Batavia. Persinggungannya dengan berbagai aktivis pergerakan membuat spirit anti kolonialisme Amir makin membara.

Pada tahun 1928, Amir turut berpartisipasi dalam Kongres Pemuda ke-2 sebagai wakil dari Pemuda Batak (Jong Batak).

amir-hatta
Amir Syarifudin dan Moh Hatta

Tahun 1931, Amir ikut mendirikan Partai Indonesia (Partindo), partai yang mengusung azas Marhaenisme ajaran Bung Karno. Keterlibatannya dalam Partindo membuat Amir akrab dengan pandangan politik nasionalis kiri atau nasionalis kerakyatan.

Pandangan politik yang condong ke kiri itulah yang menggerakannya untuk mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia bersama aktivis pergerakan kiri lainnya. Amir juga dikenal sebagai tokoh yang berjuang melalui media massa.

Ia menjadi pemimpin redaksi Indonesia Raja, majalah Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1928-1930.

Pergerakan politik Amir yang bersifat radikal membuat pemerintah kolonial Belanda gerah. Pada tahun 1933, Amir ditangkap pemerintah kolonial dan dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena tulisan-tulisan di majalah Banteng yang dipimpinnya dianggap menghina pemerintah.

Pejuang Revolusi yang Berakhir Tragis

Ketika Hindia Belanda terancam oleh invasi Jepang sebagai dampak dari Perang Pasifik, Amir menegaskan posisi politiknya yang menentang pendudukan Jepang atas Indonesia. Pergerakan bawah tanah Amir yang menentang pendudukan Jepang membuat Amir kembali menjadi buruan penguasa.

Pada tahun 1943, ia ditangkap Kempetai (intelijen militer Jepang). Setahun kemudian, Amir dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang, namun hukuman tersebut urung dilaksanakan setelah adanya intervensi Soekarno.

Pasca Proklamasi kemerdekaan, Amir diangkat sebagai Menteri Penerangan pada kabinet pertama Republik Indonesia secara in-absentia oleh Presiden Soekarno. Kiprahnya dalam pemerintahan dimulai sejak saat itu. Namun Amir tidak meninggalkan dunia politik. Di akhir tahun 1945, ia mendirikan Partai Sosialis bersama Sjahrir.

Gebrakan Amir dimulai ketika menjabat Menteri Pertahanan pada Kabinet Perdana Menteri (PM) Sjahrir I. Amir memperkenalkan lembaga Biro Perjuangan yang mengintegrasikan laskar-laskar rakyat dalam pertahanan revolusi Indonesia. Dari sinilah berkembang konsep Tentara Kerakyatan.

Pasca jatuhnya kabinet Sjahrir sebagai akibat dari ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati, Soekarno memberi mandat pada Amir untuk menyusun kabinet. Dengan dukungan PNI dan Masjumi, Amir membentuk kabinet baru pada 3 Juli 1947.

Karir Amir di pemerintahan meredup setelah ia menandatangani Perjanjian Renvile yang sangat merugikan Indonesia. PNI dan Masjumi yang notabene bagian dari pemerintahan Amir menyerang kebijakan tersebut. Amir pun mengembalikan mandat pada Soekarno di awal tahun 1948.

Amir bersama Partai Sosialis yang dipimpinnya bergabung dengan PKI pimpinan Muso dan organisasi kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan menjadi oposisi pemerintahan baru pimpinan PM Hatta.

Kebijakan Hatta yang menyingkirkan laskar-laskar rakyat dari tubuh angkatan perang melalui reorganisasi dan rasionalisasi (Re-ra) menimbulkan kemarahan Amir dan FDR. Amir merasa konsep Tentara Kerakyatan yang dirintisnya dibuang begitu saja oleh pemerintah.

Clash antara pemerintah Hatta dengan FDR mencapai klimaks ketika pada tanggal 18 September 1948 pemerintah Hatta menuding FDR melakukan coup d etat di Madiun. Pemerintah Hatta langsung menindak tegas seluruh kekuatan politik yang berafiliasi dengan kaum kiri atau FDR.

Amir beserta ribuan orang kiri ditangkap TNI pada akhir November 1948. Amir tetap menyangkal tuduhan kudeta yang dilayangkan pemerintah kepadanya. Ia menegaskan bahwa ia adalah seorang nasionalis yang loyal pada Republik Indonesia. Namun riwayat Amir tampak kian mendekati akhir.

amir-1

Seperti yang dideskripsikan Fred Wellem dalam bukunya, Amir Sjarifudin : Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1982), Amir beserta sepuluh orang tahanan politik Madiun lainnya dieksekusi tembak di Ngalihan Solo pada tanggal 19 Desember 1948.

Ketika akan ditembak mati, Amir meminta waktu satu jam untuk berdoa. Setelah itu ia menyanyikan Indonesia Raya dan Internationale. Ia pun tewas dengan tangan memegang Alkitab.

Seorang pejuang revolusi menemui ajal secara tragis dengan menyandang status sebagai pemberontak. Seluruh karya perjuangan Amir sejak masa pergerakan nasional hingga revolusi kemerdekaan seakan tenggelam oleh pemberontakan PKI di Madiun.

Sebuah peristiwa yang hingga kini masih mengundang tanda tanya besar. Begitulah nasib Amir Sjarifudin Harahap, nasionalis berdarah Batak yang terlupakan.