Archive for November, 2016

Orang Jenius Indonesia membuat sejarah baru dunia

 

Orang Indonesia selama ini rata-rata dianggap sebagai orang yang bodoh, bahkan ada lelucon yaitu otak orang Indonesia bagus untuk penelitian karena masih fresh alias tidak pernah dipakai. Kita juga terkadang muak dengan ocehan orang Negara sebelah yang bilang Indon yang identic dengan kebodohannya. Namun sebenarnya orang Indonesia nggak kalah pinter disbanding orang dari Negara maju sekalipun. Yang membedakan adalah mereka memiliki system pendidikan dan infrastruktur yang modern, yang bias memaksimalkan potensi a.k.a otak dari setiap peserta didik.
Lalu mana buktinya kalau orang Indonesia ada yang jenius layaknya orang baratm Jepang, atau Amerika? Sebenarnya tinggal jawab Habibie aja orang pintar seluruh dunia juga sudah tahu. Tapi Habibie tidak sendirian, banyak orang jenius Indonesia yang sukses di luar negeri, bahkan memiliki prestasi yang mengagumkan. Menempuh pendidikan di universitas terkenal yang tentu saja bukan STIS, bekerja di lembaga riset terkenal dunia yang juga tentu saja bukan BPS. Sudah sangat banyak media yang membahasnya, tapi tak salah jika membaca lagi. Berikut beberapa contohnya :

1.    Profesor Nelson Tansu

nelson-tansu

Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor berstruktur nano. Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan. Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson. Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu 1,5 watt. Pada usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan rekor menjadi asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga negara Amerika. Sampai kini ia getol merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia masih memiliki ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan universitas di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia

2.    MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN

Arif.jpg

Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset bioteknologi terkemuka di Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Seorang lelaki Jawa berwajah “dagadu”—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang salat. Dialah, Muhammad Arief Budiman, anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research. Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, “Meskipun latar belakang saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai kanker manusia,” ujarnya.

3. Prof Dr. KHOIRUL ANWAR

anwar.jpg

Para ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya, merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler. Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Bandung (with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degree is from Nara Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008, respectively. Dr. Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award of IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) 2006, California, USA. Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang.
Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim. Untuk mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali guard interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata teman-teman penelitinya. Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis seperti di kelas saat semua orang bicara kencang secara bersamaan. Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa. Namun, dengan algoritma yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan interferensi tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama. “Bahkan lebih baik daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun ini. Itulah yang mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. 

4.    Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto

Ken.jpg

Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto. Pria kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat doktor dari sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak penghargaan akademis itu dicapainya pada usia 37 tahun. ia sudah mematenkan 31 penemuannya, 29 di Jepang, dua di AS, untuk bidang interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, dan farmasi.
Sebegitu terkenalnya Soetanto di Jepang sampai-sampai oleh mahasiswanya ia memiliki metode khusus mengajar yang diberi nama “Metode Soetanto” atau “Efek Soetanto”. Pada 1988-1993, dia tercatat sebagai direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS. Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, Program University of Yokohama (TUY). Selain itu, pria kelahiran 1951 tersebut saat ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International University, Italia.
Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University. “Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh”. Satu penemuannya bernama NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) memberinya penghormatan sebagai penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun, 1987-2007.

5.    Prof Dr. Ing BJ Habibie

habibie.jpg

Prof. Dr.-Ing. Dr. Sc. H.C. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie lahir tanggal 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan Indonesia. Setelah menyelesaikan kuliahnya dengan tekun selama lima tahun, B.J. Habibie memperoleh gelar Insinyur Diploma dengan predikat Cum Laude di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara. Kejeniusannya membawanya memperoleh Gelar Doktor Insinyiur di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara dengan predikat Cum Laude tahun 1965.
B.J. Habibie memulai kariernya di Jerman sebagai Kepala Riset dan Pembangunan Analisa Struktur Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg Jerman (1965-1969). Kepala Metode dan Teknologi Divisi Pesawat Terbang Komersial dan Militer MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen (1969-1973). Wakil Presiden dan Direktur Teknologi MBB Gmbh Hambur dan Munchen (1973-1978), penasehat teknologi senior untuk Direktur MBB bidang luar negeri (1978). Pada tahun 1977 dia menyampaikan orasi jabatan guru besarnya tentang konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung. Tergugah untuk melayani pembangunan bangsa, tahun 1974 B.J. Habibie kembali ke tanah air, ketika Presiden Soeharto memintanya untuk kembali. Dia memulai kariernya di tanah air sebagai Penasehat Pemerintah Indonesia pada bidang teknologi tinggi dan teknologi pesawat terbang yang langsung direspon oleh Presiden Republik Indonesia (1974-1978). Pada tahun 1978 dia diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi merangkap sebagai kepala BPPT. Dia memegang jabatan ini selama lima kali berturut-turut dalam kabinet pembangunan hingga tahun 1998.
Presiden B.J. Habibie memegang jabatan presiden selama 518 hari dan sukses menyelenggarakan Pemilu paling demokratis yang pernah ada yaitu Pemilu 1999. Prof. B.J. Habibie mempunyai medali dan tanda jasa nasional dan internasional, termasuk ‘Grand Officer De La Legium D’Honour, hadiah tertinggi dari Pemerintah Perancis atas konstribusinya dan pembangunan industri di Indonesia pada tahun 1997; ‘Das Grosskreuz’ medali tertinggi atas konstribusinya dalam hubungan Jerman-Indonesia tahun 1987; ‘Edward Warner Award, pemberian dari Dewan Eksekutif Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada tahun 1994; ‘Star of Honour ‘Lagran Cruz de la Orden del Merito Civil dari Raja Spanyol tahun 1987. Dia juga menerima gelar doktor kehormatan dari sejumlah universitas, seperti Institut Teknologi Cranfield, Inggris; Universitas Chungbuk Korea dan beberapa universitas lainnya.
Habibie terlibat dalam proyek perancangan dan desain pesawat terbang seperti Fokker 28, Kendaraan Militer Transall C-130, CN-235, N-250 dan N-2130. Dia juga termasuk perancang dan desainer yang jlimet Helikopter BO-105, Pesawat Tempur, beberapa missil dan proyek satelit.Banyak orang menganggap beliaulan orang tercerdas, terpintar yang pernah dimiliki Indonesia

6.      JOHNY SETIAWAN, Ph.D

setiawan.jpg

Johny Setiawan membuat mata dunia tercengang dengan penemuan planet pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae. Penemuan itu sangat spektakuler karena dari 270 planet di luar tata surya yang telah ditemukan astronom dalam 12 tahun terakhir, tak satu pun planet yang muncul dari bintang muda. Johny yang memimpin tim peneliti di Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), Heidelberg, Jerman itu menemukan planet pertama yang disebut TW Hydrae b dan bintang baru TW Hydrae dengan menggunakan teleskop spektrograf F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile. Setamat SMA, pada 1992–1993,Johny mengenyam pendidikan pra-universitas di Studienkolleg Heidelberg,Jerman. Johny kemudian mempelajari Fisika di Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman, dan mengambil Master di Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg. Disertasinya di Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg, berjudul Radial velocity variation of G and K Giants. Sejak Juni 2003, Johny bekerja sebagai peneliti post-doctoral di MPIA, di Department of Planet and Star Formation (Prof. Dr.Thomas Henning). Wilayah risetnya saat ini meliputi planet-planet di luar tata surya di sekitar bintangbintang muda dan bintang-bintang yang sedang terbentuk. Selain itu,Johny yang tinggal di Bintaro Sektor IX ini juga meneliti atmosfer yang berperan sebagai bintang.


7.    Yow-Pin Lim

You.jpg

Yow-Pin Lim, putra kelahiran Surabaya adalah contoh lain kisah sukses putra Indonesia di luar negeri. Ia adalah pendiri Chief Scientific Officer Pro Thera Biologics, sebuah perusahaan di Rhode Island, AS. Pro Thera dibentuk sebagai keberlanjutan teknologi yang telah dikembangkan di Rhode Island Hospital, dengan misi mengembangkan dan memasarkan produk berbasiskan protein theranostic dan therapeutic. Riset yang dihasilkan pria kelahiran Cirebon 49 tahun yang lalu ini berkontribusi pada pemahaman terhadap molekul kompleks pada fisiologi manusia dan berbagai macam penyakit, terutama sepsis, anthrax, dan kanker. Lim kini memiliki beberapa paten, antara lain Preparative Electrophoresis Device and Methods for Detecting Cancer of the Central Nervous System. Hebatnya penemuan Lim menjadi acuan utama rumah sakit-rumah sakit di AS saat ini. 

8.    Yanuar Nugroho

Yanuar.jpg

Tahun 2009 lalu, seorang putra Indonesia menyedot perhatian dunia akademik di Inggris . Namanya Yanuar Nugroho, pengajar di Institut Kajian Inovasi ata Manchester Institution of Innovation Research dan Pusat Informatika Pembangunan Universitas Manchester. Yanuar meraih penghargaan sebagai dosen terbaik 2009 dan hebatnya ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang jadi dosen di Inggris. Menurut Yanuar, Desember tahun lalu, kriteria utama penilaian penghargaan tersebut adalah sumbangan akademik lewat penelitian, tulisan, seminar, kuliah dan konferensi. Selama dua tahun terakhir ini, ia terlibat pada lebih dari 15 penelitian yang didanai oleh Uni Eropa, Dewan Riset Inggris, Dewan Riset Eropa, serta Departemen Industri dan Perdagangan Inggris.
Selain mempublikasikan tulisannya di berbagai jurnal internasional, presentasi di konferensi kelas dunia, dan menjadi dosen tamu di beberapa universitas termasyhur, seperti Oxford dan Cambridge. Nugroho adalah alumnus Teknik Industri ITB tahun 1994. Ia mendapatkan gelar PhD-nya dari Universitas Manchester dalam waktu kurang dari tiga tahun pada 2007, dan menyelesaikan post-doctoral pada 2008. Sejak Agustus 2008, Nugroho menjadi staf penuh di Universitas Manchester.

9.    Andreas Raharso

andreas.jpg

Satu lagi putra Indonesia yang membanggakan di luar negeri adalah Andreas Raharso. Pria berusia 44 tahun itu saat ini menduduki pimpinan atau CEO pada sebuah lembaga riset global Hay Group. Hay Group mempunyai jaringan di hampir belahan dunia dan berkantor pusat di Amerika. Klien dari Hay Group ini kebanyakan adalah para pemimpin dunia seperti AS, Perancis, dan Inggris. Jabatan yang diraih Andreas cukup fenomenal, karena merupakan satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki posisi puncak. Selama ini jabatan itu didominasi warga Amerika dan Eropa.
Menilik prestasi dan kegigihan orang-orang Indonesia ini memang tidak kalah bahkan setara dengan ilmuwan dunia. Kesadaran bahwa kondisi pendidikan di Tanah Air masih belum kondusif membuat mereka harus meninggalkan Indonesia untuk meraih sukses. Di Tanah Air, dunia pendidikan kita saat ini malah masih mempersoalkan perlu tidaknya ujian nasional (UN).

10. March Boedihardjo

March.jpg

Bocah Indonesia, March Boedihardjo, mencatatkan diri sebagai mahasiswa termuda di Universitas Baptist Hong Kong (HKBU). March akan memiliki gelar sarjana sains ilmu matematika sekaligus master filosofi matematika. Karena keistimewaannya itu, perguruan tinggi tersebut menyusun kurikulum khusus untuknya dengan jangka waktu penyelesaian lima tahun(dari 2007). Ketika ditanya tentang cara beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru, March mengaku tidak pernah cemas berhadapan dengan teman sekelas yang lebih tua darinya. ”Ketika saya di Oxford, semua rekan sekelas saya berusia di atas 18 tahun dan kami kerap mendiskusikan tugas-tugas matematika,’’ kisahnya. March memang menempuh pendidikan menengah di Inggris. Hebatnya, dia masuk dalam kelas akselerasi, sehingga hanya perlu waktu dua tahun menjalani pendidikan setingkat SMA itu. Hasilnya, dia mendapat dua nilai A untuk pelajaran matematika dan B untuk statistik. Dia juga berhasil menembus Advanced Extension Awards (AEA), ujian yang hanya bisa diikuti sepuluh persen pelajar yang menempati peringkat teratas A-level. Dia lulus dengan predikat memuaskan. Dalam sejarah AEA, hanya seperempat peserta AEA yang bisa mendapat status tersebut.
Itulah beberapa nama orang Indonesia yang bias dikatakan jenius dan sukses dalam karir akademisnya. Mungkin bias dikatakan anda boleh jenius, tapi jika ingin sukses jangan berkarir di Indonesia. Memang miris melihat banyak orang pintar Indonesia yang tinggal dan meneliti untuk Negara lain. Tapi hal ini masuk akal karena perhatian pemerintah terhadap riset masih sangat kurang. Hal ini bias dilihat dari sikap pemerintah yang lebih sibuk menaikkan gaji pejabat dan PNS daripada menaikkan anggaran penelitian. Lebih sibuk menganggarkan dana pembelian mobil baru, gedung baru, renovasi ini itu daripada hal yang jauh lebih penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Kalo buat naikin ID kami sih masih dapat diampuni

 

BUKTI KEBERADAAN KERAJAAN ARU/HARU -2

peta

Tahun 1419-1421, 1423, dan 1431

 

Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada 1419, 1421, 1423, dan 1431 di istana Kaisar China dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu membuktikan pernyataan itu. Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata kaisar China.

Tahun 1426

 

Dalam Hsingcha Shenglan (1426) disebutkan lokasi Kerajaan Aru berseberangan dengan Pulau Sembilan (wilayah pantai Negeri Perak, Malaysia), dan dapat ditempuh dengan perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan kondisi angin yang baik.

Tahun 1431
Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru sebanding dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua utusan dari Aru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran kerajaan. Utusan Aru yang datang ke Istana China terakhir tahun 1431. Setelah itu tidak ada lagi utusan Raja Aru yang dikirim untuk membawa persembahan kepada Kaisar China. Hal ini dapat dipahami karena Aru pada pertengahan abad ke-15 sudah ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah melaui perkawinan politik

Tahun 1431

 

Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka  sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.

Tahun 1436

 

Pada 1436, sumber Tionghoa lain kembali menyebutkan bahwa “A-lu”  memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang Tionghoa sudah berdagang emas, perak, dan benda-benda dari besi, keramik, dan tembaga di Tan-Chiang (Tamiang).

Tahun 1496-1528

 

Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Suku Karo.
Tahun 1456-1653

 

Bahkan, Perret menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan, Aru merupakan negara yang setara dengan Kerajaan Melaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai 1477.

Tahun 1456-1477

 

Bahkan, Perret menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan, Aru merupakan negara yang setara dengan Kerajaan Melaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai 1477. Di awal abad 15, Aru dan China juga disebut pernah saling melakukan kunjungan. Posisinya yang strategis membuat Kerajaan Aru menjadi pentas politik pun perdagangan bagi negara-negara lain.

Tahun1477-1488

 

Dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang (1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada periode 1477-1488 dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang turun daripada Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang Pasai karena Raja Pasai menghina utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Pasai.

Tahun 1488-1528

 sultan-husin

Sulutang Hutsin adalah sebutan orang China untuk mengucapkan nama Sultan Husin. Nama Sultan Husin juga telah disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai penguasa Aru sekaligus menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir 1488-1528

Tahun 1492-1537

 

Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1492-1537.

15__

 

Di awal abad 15, Aru dan China juga disebut pernah saling melakukan kunjungan. Posisinya yang strategis membuat Kerajaan Aru menjadi pentas politik pun perdagangan bagi negara-negara lain.

1500-1580

 

Meski digempur hebat, menurut Zainal Arifin dalam buku “Subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Langkat, petinggi Aru yang baru itu tak turut tewas. Ia melarikan diri ke Kota Rentang Hamparan Perak, Deli Serdang kini (Sumatera Utara), dan mendirikan kerajaan baru dengan rajanya yang bernama Dewa Syahdan (1500-1580). Kerajaan inilah yang kemudian melahirkan Kerajaan Langkat.

TAHUN 1511

 

Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.

1511- 1540.

 

Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan.

1512-1515

 

Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Temuan lain adalah banyaknya keramik ataupun tembikar yang menunjuk tarik yang hampir sama dengan temuan di Kota Rentang, juga temuan mata uang (koin) Dirham, mata uang emas dari Aceh yang banyak ditemukan oleh masyarakat sekaligus menjadi bukti sejarah bahwa pasukan Aceh pernah menaklukkan kawasan ini dengan menembakkan meriam ber-peluru emas sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat Putri Hijau (green princess).

Tahun 1521

 

1521 M. : “Sejarah Melayu” (Variant Version) menceritakan ketika Sultan Mahmud Melaka terusir Portugis 1511 M. dan menetap di Bintan, Sultan Husin dari Haru berkunjung kesana dan kawin dengan Tun Puteh puteri Sultan Mahmud dan ribuan orang Melayu Johor/Riau turut mengantar tinggal di HARU

Tahun 1526

 

Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka.

Tahun 1524 -1539

 

Sultan Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan Mahmud Shah pada tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi putri Sultan Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi medan pertempuran antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh yang pada tahun 1524 berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai kemudian menguber sisa-sisa pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan Aru diserang Aceh sebanyak dua kali yakni pada bulan Januari dan November 1539.

Tahun 1539 M

 

1539 M. : Penyerangan Sultan Aceh Alaidin Riayatsjah-I bilad Mahkota Alam (alias Al Qahhar) ke Haru, diceritakan oleh orang Portugis Ferdinand Mendes Pinto dan juga “Hikayat Puteri Hijo” dari Siberaya (lihat Middendorp).
Benteng di kepung 6 hari (Pinto; HPH)
Meriam besar yang bertahan (Pinto; HPH adiknya Meriam Puntung) Bantuan Portugis senjata (Pinto; HPH bendera Biru) Aceh menyogok uang emas (Pinto; HPH)
Sultan Haru Ali Boncar kepalanya dibawa ke Aceh (Pinto)
Meriam puntung moncongnya di Sukanalu, bila bersatu kembali pertanda Deli makmur (HPH); Meriam Puntung di halaman Istana Maimoon.
Puteri Hijau = Permaisuri Anche Sini (Anggi Sini?) yang cantik menurut Pinto berlayar ke Melaka minta bantuan Gubernur Portugis (Menurut HPH ia naik Naga Ular Simangombus (Perahu berkepala Naga?);
Aceh mempergunakan bantuan perajurit asing (Gujarat, Malabar, Hadramaut, Turki bahkan orang Belanda anak buah De Houtman yang ditawan), itu menurut Pinto.

 Tahun 1539

 

Juga dalam catatan Mendes Pinto (1539), dinyatakan adanya masyarakat ‘Aaru’ di pesisir Timur Laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme.  Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.

Tahun 1539

 

Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak.  Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.

Tahun 1540

 

1540 M. : Menurut Pinto : Permaisuri Haru minta bantuan Sultan Aluddin Riayatsyah-II (Imperium Riau-Johor) di Bintan dan lalu kawin dengannya;
– Armada Johor pp. Laksemana Hang Nadim dengan 400 kapal perang mendarat di HARU dan menghancurkan tentera pendudukan Aceh disana.
– Haru berada sekarang dibawah kekuasaan Imperium Melayu Riau-Johor.
– Sultan Johor kirim surat kepada Sultan Aceh dari markasnya di “Siberaya Quendu” mengingatkan Haru sudah ditangannya (menurut Pinto.)

Tahun1564

 

Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1571, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan

Tahun 1564
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.

Tahun 1588

 

1588 M. : Sultan Aceh Al Qahhar berhasil merebut Haru kembali dari tangan Johor.
– Sultan Aceh mengangkat cucunya SULTAN ABDULLAH menjadi Raja Haru (ia kemudian tewas ketika Aceh menyerang Portugis di Melaka);
– Haru dipecah dua bagian yaitu : Guru (dari Sei.Belawan s/d batas Temiang) dan HARU (Sei. Deli ke Sei.Rokan).

Tahun 1580 takat 1612

 

Setelah Dewa Syahdan wafat, Kerajaan Langkat kemudian dipimpin oleh anaknya, Dewa Sakti, yang memerintah dari 1580 takat 1612.

Tahun 1599-1603

 

1599-1603 M. : Haru melepaskan diri dari Aceh (Laporan dari Laksemana Perancis Beauleu dan Van Warwyk Belanda). Sultan Aceh Alaidin Riayatsyah-II (Saidi Mukammil) menyerang Haru yang dipertahankan oleh Panglima Guri Merah Miru. Merah Miru telah menabalkan Sultan Imperium Melayu Riau-Johor bernama Sultan Alauddin Riayatsyah-III menjadi Sultan Haru/Guri. (Hikayat Aceh).

Dikalangan pasukan Aceh tewas Raja Alamsjah (menantu Sultan Saidi Mukammil) dan dia adalah ayah dari Sultan Iskandar Muda. Raja Mansyursyah dimakamkan di “Kandang Medan” (Makam Keramat di Sukamulia Medan ?).
Raja Imperium Melayu Riau-Johor, Sultan Aluddin Riayatsyah-III (alias RAJA RADEN) lari dari markasnya di “Melaka Muda” (Gedong Johor Medan?) menuju pelabuhan Kuala Tanjung naik lancang kuning “Seri Paduka” kembali ke Johor Lama. Banyak wanita dan pengiringnya serta harta benda yang tertinggal dan ditawan oleh Aceh (lihat kuburan tua dan benteng dipertemuan Sei.Deli dan Sei. Babura). Dalam Pasar Malam Agustus 1908 di Medan oleh Sultan Deli dipamerkan intan berlian yang dapat di gali di Gedung Johor Medan.

Tahun 16__ Awal

 

Kerajaan Aru juga dikatakan kerap berkonflik dengan Kerajaan Pasai (Aceh). Pada awal abad 16, Aru menyerbu Pasai dan membantai banyak sekali orang di sana. Namun, serangan itu dibalas oleh Pasai. Melalui serangan berkali-kali, Aceh berhasil menjebol pertahanan Kerajaan Aru hingga rontok.

Para petinggi Kerajaan Aru lalu melarikan diri ke Deli Tua dan memindahkan pusat kekuasaan baru di sana. Akan tetapi, meski sudah berpindah tempat, Kerajaan Aceh masih terus merangsek Kerajaan Aru II itu. Motif penyerangan Kerajaan Aceh kali ini diketahui karena keinginan rajanya untuk menikahi Ratu Aru II, yang dikenal sebagai Putri Hijau.

Dari beberapa sumber, tertulis bahwa Raja Kerajaan Aceh mengirimkan surat yang berisi tiga hal kepada Putri Hijau. Pertama, meminta Putri Hijau bersedia menjadi permaisuri Raja Aceh. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Aru adalah Serambi Aceh. Karena itu Aru diminta tunduk kepada Aceh. Dan ketiga, Aceh akan menyebarkan agama Islam di Aru.

Dalam catatan Karo dari Biak Ersada Ginting yang banyak dikutip oleh berbagai sumber, Putri Hijau, yang saat itu bertuhankan Dibata Si Mila Jadi – yang bermakna Tuhan yang maha pertama, paling akhir, dan hanya Dia yang tetap hidup – menolak mentah-mentah lamaran Raja Aceh.

Tahun 1607

 

Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli.

Tahun 1612

 

1612 M. : Haru berganti nama dengan GURI dan berganti nama pula dengan Deli.
Kerajaan Deli berpusat di Deli Tua ini adalah Rajanya Suku Karo merga Karo Sekali dan rakyatnya Suku HARU (lihat keterangan Kejeruan Senembah 1879 kepada Residen Belanda tentang asalnya Si Mblang Pinggol dan Sawid Deli. Kerajaan Deli Suku Karo di Deli Tua itu terus menerus menentang dan berontak terhadap penjajahan ACEH.

Tahun 1613-1642

 

1613-1642 M. : Sultan Iskandar Muda Aceh menugaskan panglimanya Tuanku Gocah Pahlawan menindas pemberontakkan Deli Tua itu. Dia akhirnya berhasil mengikat kerjasama dengan Raja Urung Sunggal, Raja Urung XII Kuta Hamparan Perak; Raja Urung Sukapiring dan Raja Urung Senembah sehingga dia lalu diangkat oleh Sultan Iskandar Muda Aceh sebagai Wakil Sultan Aceh di Deli.
Makam Tuanku Gocah Pahlawan ada di Batu Jergok (Deli-Tua).
Dimanakah Pusat Kerajaan Haru?

“Negarakertagama” (1365 M) = Lalang Kota Jawa dimana pernah tinggal 5000 pasukan Jawa dipinggir Sei. Deli (lihat laporan JOHN ANDERSON 1823);
Peta Cina “Wu-pei-Shih” (1433 M) menurut Giles 3° 47’ Lintang Utara dan 98° 41’ Lintang Timur terletak didepan Kuala Deli, yaitu diseberang Pulau Sembilan (Perak).
Sumber Portugis (F. M. Pinto) pusat Haru di sungai “Paneticao” (Sei. Petani/Sei. Deli);
“Hikayat Puteri Hijo” di Siberaya (lihat Middendorp) sama orangnya dengan Permaisuri Haru ANCHE SINI (Anggi Sini?) menurut Pinto.
Haru punya MERIAM BESAR di beli dari Pasai (Pinto) = Meriam Puntung adik Puteri Hijau (HPH)
Ada sogokan uang emas oleh pasukan Aceh sehingga benteng DeliTua kosong (Pinto = HPH).
Ada bantuan senjata Portugis (Pinto) = Tentera bendera Biru” (HPH).
Puteri Hijau selamat dilarikan adiknya Ular Simangombus via Sei. Deli terus ke Selat Melaka tinggal di bawah laut dekat Pulau Berhala (HPH). Menurut Pinto Permaisuri Haru berlayar naik perahu (berkepala Naga?) ke Melaka minta bantuan Portugis tetapi tidak berhasil, lalu pergi ke Bintan.
Ada ditemukan oleh Kontelir Belanda di Deli di sungai Deli dekat benteng Deli Tua sebuah meriam lela yang ada tulisan “Sanat…….03 Balon Haru”(Jika 1103 H = 1539 M. masa penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke Haru. Meriam lela itu kini ada di Museum Pusat Jakarta.
Ditemukan banyak mata uang emas Aceh di benteng Puteri Hijau.
Peta-peta kuno asing : Langenes 1598; Polepon 1622; Itinerario 1598 dan lain-lain peta Portugis dan Perancis menunjuk Gori (Guri) = DELI.
Ulama Aceh Ar Raniri dalam “Bustanussalatin”(1640 M) menyatakan bahwa GURI itu dahulu bernama HARU.
Markas Sultan Imperium Melayu Riau-Johor Sultan Alauddin Riayatsyah-II di Haru (1540 M) ialah di “Siberaya Qendu”.

Tahun 1607 – 1636

MIGRASI

Menurut versi karo, pada masa- masa itulah terjadi perubahan tata kemasyarakatan yaitu kaum yang tak hendak memeluk agama Islam membentuk kelompok – kelompok . Lalu berpindah ke daerah pedalaman meninggalakan sanak keluarga yang telah  mayoritas beragama Islam. Kemudian agama  Islam meluas berkembang sepanjang pesisir; terutama dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Kemudian maka terjadilah apa yang dinamakan “Mburo Bicok Pertibin”, yaitu mengadakan pengungsian secara besar- besaran  dengan bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke negeri asal buat selama- lamanya. Diceritakan pada masa itu hutan raya (TAHURA)di daerah pedalaman belum dihuni  oleh manusia
Bahasa “kita” ialah cakap melawi — , yang kemudian  berubah seperti yang sekarang ini. Perubahan bahasa  terjadi akibat peroses pembauran melalui puak- puak yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kehidupan adalah logis. Sebagian mereka yang masuk kepedalaman dari arah pantai Timur maupun dari arah pantai Barat, pulau Sumatera.

Mereka yang tertinggal adalah sudah memeluk agama Islam dan hijrah tidak hendak memeluk Islam. Perjalanan memasuki rimba hutan  belantara itu(TAHURA), sangat sukar, perlu ada pemimpin atau Panglimanya. Mereka masuk dan  beranggapan bahwa ditempat yang dituju itu religinya/kepercayannya itu akan aman dilanjutkan sebagai warisan nenek moyangnya.
Diketahui  dalam hikayat bahwa  pemeluk Islam, selalu mangadakan pendekatan dengan saudara-saudaranya yang kini berada di wilayah  pegunungan  dan bergaul saling berkunjung, akhirnya, kaum yang tadinya mempertahankan kebiasaan memuja religi nenek moyangnya itu pelan-pelan  ditinggal mereka dan mereka memeluk Islam. Atau diam- diam status quo, sementara menimbang- nimbang mana patut dilanjutkan dan mana patut diterima, atau ditolak.
Selanjutnya perjalanan yang  sedemikian jauhnya yang disebut ke-dataran tinggi dinyatakan sebagi “taneh tumpah darah”  yang baru kemudian di berikan nama “TANAH KARO SI MALEM” PERTIBI PERTENDIN MERGA SI LIMA SI ENGGO KA REH IBAS  DESA SI WALUH  NARI

“Tanah Karo Si Malem”  artinya : peryataan bahwa tanah tumpah darah yang baru itu nyaman, hidup atau mijati, akan dipertahankan selamanya.
Pertibi Pertendin Merga Silima artinya: Dibata yang telah menetapkan daerah ini untuk pemukiman kaum yang LIMA MARGA terdiri dari  : Karo- Karo , Ginting, Sembiring, Tarigan , Perangin- angin.

“Sienggo ka reh ibas desa siwaluhn nari” artinya: untuk jangka waktu yang lama  tak henti- hentinya datang rombongan pengungsi dari segala penjurui mata angin (delapan  penjuru) kedataran tinggi, sehingga menjadi buah bibir setiap ada rombongnan  terlihat  datang dari pesisir, terucaplah  kata- kata, enggo ka reh… enggo kalakreh enggo kalakreh…( Kareh ) kemudian berubah sebutannya kalak reh, kareh … kare,  Karo , menjadi … KARO, yang artinya  kalak= orang . reh = datang, Karo = orang datang.
Artinya menjadi; orang yang datang sengaja mengungsi  untuk mempertahankan religinya/ kepercayaaannya. Mereka datang dan mengharukan, sebab perjalan mereka itupun jauh, lebih kita terharu, KALAK  AROE = KARO  Mereka itu melanglang, berani, harus keras hati, mandiri, budi luhur tetapi suka bermusyawarah dan mau menerima atau tidak kaku.

Terlihat dalam perkembangannya Merga Karo- Karo, Perangin-angin , Sembiring sebelum berangkat meninggalkan leluhurnya di “Barat” tempo dulu sudah memiliki Indentitas berupa Merga dan Cabang  Merga ,seperti Merga Ginting  dan Merga Tarigan  bersasal dari YUna (Wilayah Selatan ; bahkan ada hubungan atas serangan Mongolia dari utara Jengis Khan  dsb).

Jatidiri berupa “Merga” telah disandang turun temurun. Oleh karena itu sekalipun kelompok itu baru tiba akan mendapat kemudahan untuk mengelompokkannya sesuai Merga yang disebutkan orang yang baru datang. Di Suku Karo hanya ada LIMA MARGA, dan memiliki cabang untuk setiap marga. Sekalipun ada cabang-cabang tiap Marga, tapi tidak terlalu banyak, tidak mencapai ratusan jumlahnya keseluruhannya. Keseluruhan cabang Merga Silima hanya ada 75 cabang.

Meneliti sejarah maka pemukiman orang Karo di dataran tinggi diperkirakan pengungsian awal sekitar tahun 1350-an dan terbanyak tatkala pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1660-an sehingga disimpulkan bahwa sudah ada orang Karo tahun 1300-an.
Orang Karo yang datang dengan rombongan tepo dulu ke hutan rimba raya(TAHURA) tidaklah besar, sekalipun persyaratannya berangkat “KUH SANGKEP SITELU ” yaitu Kalimbubu,Senina, Anak Beru . Contohnya dalam cerita  bahwa rombongan KARO mergana , berangkat dari LINGGA RAJA menuju  dataran tinggi, sampailah di puncak “Deleng Penolihen” yaitu pegunungan antara “Tiga Lingga – Tiga Binanga” terpaksa di tunda perjalannya. Sekalipun jumlah rombongan sebelas, tetapi tertinggal anak beru-nya Perangin- angin mergana. Terpaksa di jemput lagi kearah asal atau memberi gantinya sebagai  “anak beru”.

Terpenuhilah syarat tadi , tiba mereka disuatu lokasi dan mendirikan “KUTA LINGGA PAYUNG”. Sejak itu nama bukit barisan diantara  Karo – Dairi disebutkan oleh  orang Karo “Deleng Kuh Sangkep”. Setiapa orang Karo mesti dapat dimasukkan dalam salah satu diantara lima marga   tersebut diatas, sebab barang siapa yang yang tidak hendak memakai indentitas demikian, tidak akan diakui sebagai “Kalak Karo” yang dinamakan “nasap tapak nini”, misalnya, banyak dahulu terjadi  orang yang “tercela ahlaknya ” di desanya lalu merantau ke-negeri lain tanpa mejunjujung tinggi merganya atau menggantinya, orang yang memeluk agama Islam dengan menghilangkan indentitasnya itu seraya mengaku orang Melayu  kampung atau “kalak Maya- Maya” terutama di Karo Jahe ” dan lain- lain .

Tetapi sebaliknya setelah terbentuk SUKU KARO, dahulu ada orang dari suku lain sekalipun yang oleh sebab misalnya, mengadakan perkawinan dengan orang Karo bisa diterima Bermerga atau memiliki Beru pada salah satu merga diantara yang lima tersebut. “Merga” ialah indentitas pria yang diturunkan terhadap putrinya akan dinamakan “beru”. Beru adalah indentitas wanita yang diturunkan terhapa putra – putrinya umpamanya , beru Karo, diturunkan kepada putra putrinya dengan sebutan bere- bere  Karo.

Semua indentistas tersebut merupakan lambang suci yang dalam bahasa Karo dinamakan “Tanda Kemuliaan” yang gunanya untuk menghitung berapa tingkat keturunan telah berlangsung merga bersangkutan hingga dirinya sendiri sejak dari nenek moyang yang dahulu berangkat dari negeri asalnya ” yaitu (Barat) bagi keturunan Karo-  Karo , Perangin- angin dan Sembiring, sedangkan  “Yuna” untuk Ginting serta Tarigan.
Hitungan jumlah tingkat keturunan itu dinamakan “Beligan Kesunduten Nini Adi” yang dahulu turun temurun diceritakan sehingga tahulah sesorang akan asal usul dan  nenek moyangnya. Putra-Putri yang seketurunan pantang mengadakan  kawin  mawin sesmanya, sebab indetitasnyaq akan sama buat selama- lamanya, kendatipun dengan memakai “Sub Merga”,yaitu “nama khusus ” yang diciptakan berdasarkan keluarga tertentu dalam suatu desa dan atau sesuatu peristiwa dahulu yang merupakan aliran darah khas pula ,namun harus tunduk kepada pokok merga ,Merga Silima.

Jadi orang Karo terbentuk dari bermacam- macam suku atau puak bangsa yang oleh pengaruh lingkungan daerahnya membentuk watak, adat istiadat dan masyrakatnya yang tertentu yang  mempunyai perasamaan serta perbedaaan dengan suku- suku bangsa Indonesia  lainnya, namun bersifat “mandiri” dalam arti sejak dahulu bebas merdeka mengatur pemerintahannnya.

Akan tetapi karena Tanah karo merupakan daerah pedalaman yang tidak akan dapat berswasembada dalam segala hal akan kebutuhan hidupnya, maka terpaksa jugalah mereka mengadakan hubungan dengan  “suku”  atau  “bangsa lain” terutama mengenai bahan makanan seperti garam  yang disebut “Sira”
Mereka langsung menyebarkan penduduknya keluar batas dataran tinggi karo yang berguna sebagai daerah pengubung dan penyangga serangan dari luar yang menurut logat mereka dinamakan “Negeri Perlanja Sira Ras Pulu Dagang ” yang kini daerah- daerah tersebut ialah  Aceh Tenggara , Dairi, Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Deli Serdang, dan Langkat.

Pulu dagang ialah pedagang yang membeli garam dan lain lain di pesisir seperti di Langkat, Deli Serdang, Asahan , dan Singkel yang di angkut ke ‘Taneh Pengolihen – Tanah Karo ” oleh satu rombongan manusia yang diberi nama julukan Perlanja Sira, meski ada juga mempergunakan  “Kuda Beban” sebagai alat pengangkutannya. Setiap rombongan  perlanja Sira  dikawal oleh pasukan bersenjata, sebab waktu itu di Deleng Kuh Sangkep (nama bukit barisan yang terletak di  bagaian selatan Tanah Karo) maupun di Deleng  Merga Silima  (nama Bukit Barisan dibagian datyaran tinggi Karo) banyak penyamun serta binatang buas.
Untuk nmengenal kawan dipailah kata “sandi atau kode” di pegunungan sebelah utara  tanah Karo setiap berpapasan dengan rombongan manusia lain diucapkan “Merga” yang kalu kawan menjawab..”Si Lima”  yang dilanjutkan dengan. Taneh Pengolihen yang dijawab teman “Karo Simalem” bila mana tidak sesuai  jawabnya dianggap  “musuh”, demikian sekelumit ceritanya  maka nama  pegunungan yang puncak- puncaknya antara lain gunung Sinabung- Sibayak dinamakan orang  Karo deleng Merga silima.

TEMUAN-TEMUAN DARI KERAJAN ARU/HARU

Tahun 1823
Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula, temuan bongkahan perahu yang ditemukan di kedua lokasi (Kota Rentang dan Kota Cina) menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan kedua daerah ini seakan menjauh dari laut.

Tahun 1866-1867
Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan.

Tahun 1868
Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga terbagi dua.

Tahun 1907

 

Temuan lainnya adalah mata uang Aceh yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.

Tahun 1970

 

Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.
“Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga,” kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.
Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.
“Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin,” kata Ngirim.
Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto. Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.
Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.

Tahun 1973-1989

 

Kearah Penelitian Arkeologi
Penelitian dan ekskavasi arkeologis telah dilakukan di Kota Cina terutama oleh Edward McKinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Temuan-temuan spektakuler di situs seluas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa

Tahun 1975-1976

 

Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).

Tahun 19—

 

Pertalian antara etnis Aceh, Karo dan Melayu dalam sejarah Kerajaan Aru sendiri bisa dilihat dari pengangkatan panglima perang Kerajaan Aceh, Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan, sebagai Sultan pertama Kerajaan Deli yang ia dirikan di sekitar wilayah eks Kerajaan Aru di Deli Tua. Pengangkatan ini merupakan langkah politis Raja Iskandar Muda untuk meredam upaya pemberontakan terhadap kekuasaan Aceh di wilayah tersebut. Langkah itu diperkuat dengan meminang seorang putri keturunan Karo. Kelak, pada akhir abad 19 salah satu Keturunan Panglima Gocah Pahlawan yakni Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah membangun Istana Maimoon, yang hingga kini masih berdiri tegak di tengah Kota Medan.
Semoga tulisan atau data-data singkat ini dapat menjadi acuan untuk mengetahuai sejarah tentang suku karo.
Sumber Dari Berbagai

RAJA UTI DARI DINASTI HATORUSAN

 

raja-uti

 

Kisah Raja UTI

Ketika Sibasoburning hendak melahirkan, berkicaulah burung Patiaraja di dahan Pohon Beringin Tumburjati, beterbangan pula hulis-hulis, petir bergelegar, tibalah waktunya lahirlah anaknya laki-laki. Tetapi ada kekurangannya, karena kaki dan tangannya pendek bahkan hampir tak kelihatan

 

Maka Sibasoburning pun menangis melihat anaknya itu, tetapi dia dihibur Gr Tateabulan, karena Mulajadinabolon sudah terlebih dahulu memberitahu hal itu kepadanya bahkan sejak dia membuat parit perlindungan kampungnya

Merekapun membesarkan anak itu, dia cepat besar dan berbicara, tetapi nggak bisa duduk, dia hanya tidur-tiduran seperti miok-miok, itulah sebabnya dia disebut Siraja Miok-miok, yang lain menyebutnya Siraja Gumeleng-geleng

 

Setelah Siraja Miok-miok besar, dia minta kepada Ibunya Sibasoburning agar dia diantar ke Pucuk gunung Pusukbuhit, biar dia bisa martonggo (berkomunikasi) dengan Mulajadi Nabolon. Maka dia diletakkan Ibunya di bawah pohon Piu-piu Tanggule biar kalau buahnya jatuh ada buat makanannya. Dia juga diberi Pungga haomasan, biar ada buat dijilat-jilat apabila dia lapar. Di tempat itulah Siraja Miok-miok martonggo Siraja Miok-miok biar Mulajadi Nabolon berkenan melengkapi keadaan tubuhnya. Mulajadi Nabolon pun meluluskan permintaannya, tangannya dan kakinya pun makin panjang, tetapi tumbuh juga ekornya seperti ekor bajonggir dan ada pula kulit tipis nenyambung ruas tangan dan kakinya seperti sayap kelelawar

D.natolu

Siraja Miok-miok kemudian martonggo. Kenapa dia bernasib seperti itu, dulu ada kekurangannya, tetapi sekarang jadi lebih. Mulajadi Nabolon menjelaskan bahwa tubuhnya harus seperti itu supaya dia tidak bisa bergaul dengan manusia, karena dia akan jadi Malim yang dapat meneruskan permintaan manusia kepada Mulajadi Nabolon dan menyampaikan pesan Mulajadi Nabolon kepada manusia. Itulah sebabnya dia digelar Raja Hatorussan atau Raja Uti

Maka Gr Tateabulan mendirikan tempat perteduhannya di pohon Piu-piu Tanggule itu. Maka dia ditemani ular bagandingtua dan bujonggir, untung2 besar, burung layang-layang mandi. Tidak ada lagi yang bisa melihat Raja Hatorusan selain Gr Tateabulan, Ibunya Sibasoburning dan adiknya Tn. Sariburaja

Sariburaja mencari Raja Uti sampai ke puncak Pusukbuhit dan dia melihat sudah ada isterinya yang bernama Siboru Lindungbulan, borunya Tn. Bataraguru. Maka diberitahukanlah kepada Sariburaja bahwa nama Raja Uti sudah diganti Mulajadi Babolon menjadi Raja Hatorusan, raja so haliapan raja so halompoan. Dipesankan agar ada keturunan Sariburaja yang mengambil nama Raja Hatorusan, karena dia akan pindah dari situ ke tempat yang akan ditentukan oleh Mulajadi Nabolon. Sejak itu tidak ada orang yang melihat Raja Hastorusan akan tetapi berita mengenai dia tersebar ke mana-mana. Dia disebut tidak bisa mati dan tidak bisa tua

Setelah tiba waktunya yang ditetapkan Mulajadi Nabolon, Raja Uti pun terbang atau pindah ke Ujung Barus yang juga bernama Ujung Aceh karena persis di perbatasan Aceh dan Barus, di tengah2 Aek Uti kanan dan Aek Uti kiri. Disitulah didirikan rumah persaktian dan mimbar persembahannya. Hanya Raja Uti yang tinggal di tempat itu dikelilingi ulubalangnya (pengawal2nya), merekalah yang meneruskan perintah dan yang menyampaikan berita kepada Raja Uti kepada kerajaannya. Sekeliling perkampungan itu ada 3 lapis penjaga. Lapis paling dalam adalah macam-macam yang punya sengat yang punya sayap sseperti daldal, harinuan, altong, naning dll (sejenis lebah/tawon), lapis kedua binatang-bilnatang berbisa seperti kala, lipan, bermacam-macam ular berbisa, dll. Lapis paling luar adalah binatang buas seperti harimau, beruang, gajah, dll. Juga di Aek Uti kanan dan kiri dan ke arah laut ada buaya putih.

Tidak ada orang dalam kerajaannya itu yang bisa me.lihatnya akan tetapi berita mengenai Raja Uti tersebar ke mana2. Semua orang dalam kerajaannya mematuhi perintahnya dan pesannya

Jika ada bencana, kemarau panjang, menjauhkan penyakit maka Raja Utilah utusan martonggo kepada Mulajadi Nabolon

 

Manusia yang dalam kerajaannya percaya bahwa. Raja Uti tidak bisa mati dan tidak bisa tua karena tidak ada yang bisa melihatnya. Tetapi dari kepala pengawalnya kemudian ada cerita yang bocor yang mengatakan bahwa kerajaan Raja Uti sudah berganti bbrp kali tetapi nggak ada yang tau pergantiannya. Beginilah ceritanya:

batak+Rum.

  1. Raja Miok-miok, Raja Hatorusan, Raja Uti I, isterinya br. Lindungbulan.
  2. II. Dt. Pejel, Raja Uti II, karena cepat meninggal kerajaannya digantikan isterinya yang digelar Raja Uti III.
  3. Dt. Borsak Maruhum, anak Dt Pejel yang kemudian menjadi Raja Uti IV.
  4. Dt. Alongniaji, yang digelar Raja Uti V
  5. Gr. Longgam Pamunsak, digelar Raja Uti VI
  6. Dt. Mambang Diatas yang mengambil isteri br. Mompul Sohapurpuran, kemudian menjadi Raja Uti VII, yang terakhir dan yang memberikan kerajaannya dan kesaktiannya kepada Raja Humuntal, Si Singamangaraja I

Si Singa Mangaraja berselisih paham dengan namborunya Nai Hapatian dari Muara dan Nai Paltiraja dari Urat. Kata namborunya: “Asalkan kamu nggak bawa gajah saja, kalau bedil yang kamu bawa ada juga lawannya bedil”

Maka pergilah Si Singa Mangaraja mencari kampungnya Raja Uti ke Barus karena dia tahu ada gajah putih di sana. Semua Pengawal Raja Uti merasa heran karena Si Singa Mangaraja bisa sampai ke sana, melewati penjagaan yang begitu ketat yaitu melewati pasukan gajah, harimau, ular dan binatang2 berbisa dan penyengat karena belum pernah ada orang yang bisa melewatinya. Datanglah br. Mompul Sohapurpuron menemui rombongan Si Singa Mangaraja dan memberitahukan bahwa Raja Uti sudah 4 hari pergi berlayar (marparau), tetapi mereka disuruh duduk di tengah halaman agar mereka makan dulu sebelum pulang.

Tetapi Si Singa Mangaraja tidak begitu saja percaya, dia pikir Raja Uti paling pergi ke bagian atas rumahnya (songkor); jadi dia menyuruh anak buahnya agar disediakan sayur ubi untuk makanannya walaupun sudah disediakan makanan dan lauk buat mereka di bawah.

Isteri Si Singa Mangaraja mengajak Si Singa Mangaraja makan di dalam rumah sedangkan rombongannya tetap makan di halaman rumah. Sambil duduk di atsas tikar yang disediakan, Si Singa Mangaraja bersandar ke tiang. Setelah makanan dltersedia dia mengambil sayur ubi itu sambil melirik ke atas (songkor) maka dia pun saling pandang dengan Raja Uti, karena Raja Uti juga ingin melihat apakah Si Singa Mangaraja mau memakan sayur ubi tsb. Akhirnya Raja Uti turun dari atas dan mereka pun bercakap-cakap.

 

Si Singa Mangaraja memberitahukan niatnya untuk meminta gajah satu ekor untuk dipelihara. Raja Uti berkata: “Boleh saja saya memberikannya asalkan kamu sendiri yang menarik talinya, dan kamu harus memenuhi permintaan saya”

Carilah untuk saya:
1. Satu kerbau tunggal, Sihalung dan punya gigi di atas.
2. Satu daun lalang, lebarnya selebar daun talas,
3. Satu pungga yang berbulu.
4. Satu lote (burung puyuh) yang berekor.
5. Satu tali kuda yang terbuat dari pasir.
6. Seekor kambing tunggal bertanduk 7.
7. Seorang manusia yang daun telinganya bisa ditarik menutupi kepalanya dan susunya bisa diparsabe-sabe.

 

Maka pergilah Si Singa Mangaraja mencari permintaan Raja Uti dia pun menemukan puyuh yang berekor di Pangururan Samosir, manusia yang bisa menutupi kepalanya dengan kupingnya dari Uluan, Tali Pasir dari R. Sijorat Sitorang, pungga yang berbulu dari Laguboti, daun alang2 selebar daun talas dari Sianjur Humbang dan seekor kerbau tunggal sihalung yang bergigi di atas dari Silindung. Dia membawa semuanya ke hadapan Raja Uti sambil menerangkan artinya satu persatu.

Karena dia sanggup melaksanakan semua permintaan Raja Uti maka dia diberkati Raja Uti karena ternyata dia benar-benar Raja yang diminyaki dan dipilih Mulajadi Nabolon. Disampaikanlah pusaka kerajaan kepada Si Singa Mangaraja, yaitu: Pisau Gajah Dompak, Pisau Salam Debata yang menjadi pusaka Raja Si Singa Mangaraja turun-temurun, tiksar keemasan, tabu2 sitarapullang, bunga yang tak bisa layu.

Mereka pun mengadakan perjanjian bahwa Si Singa Raja tidak akan memberitahu rupa atau tampang Raja Uti kepada siapapun. Kalau janji tsb dilanggar maka tabu2 sitarapullang akan kembali kepada Raja Uti yang berarti dari mana dia datang ke situlah dia pulang. Setelah mereka sepakat turunlah Si Singa Mangaraja ke halaman rumah, dia pun mengajak rombongannya mengikat gajah itu dan pulang ke Bakara.

Tetapi di tengah jalan sebelum mereka sampai ke Bakara, tanpa sengaja Si Singa Mangaraja membisikkan kepada si Raja Sijorat tampang Raja Uti, sehingga tabu-tabu sitaratullang terbang kembali kepada Raja Uti. Tersebarlah berita itu ke semua daerah, berakhirlah kerajaan Raja Uti dan Si Singa Mangaraja pun menggantikannya jadi Raja Batak.

 

AH.Pasaribu

BUKTI KEBERADAAN KERAJAAN ARU/HARU

LOKASI KERAJAAN ARU

dinasti-yuan     

Dalam Hsingcha Shenglan (1426) disebutkan lokasi Kerajaan Aru berseberangan dengan Pulau Sembilan (wilayah pantai Negeri Perak, Malaysia), dan dapat ditempuh dengan perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan kondisi angin yang baik.

Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan Kerajaan Melaka, dan dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama 3 hari.

Menurut Ma Huan dalam Ying Yai Sheng Lan (1416) di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan “fresh water estuary”.

A.H. Gilles sebagaimana dikutip J.V.G. Mills menyatakan “fresh water estuary” adalah muara Sungai Deli. Oleh karena itu Gilles menegaskan bahwa lokasi Aru berada di sekitar Belawan (3o 47` U 98o 41` T) wilayah Deli Pantai Timur Sumatera. Di sebelah selatan, Aru berbatasan dengan Bukit Barisan, di sebelah utara dengan Laut, di sebelah barat bertetangga dengan Sumentala (Samudera Pasai) dan di sebelah timur berbatasan dengan tanah datar. Untuk sampai ke Kerajaan Aru, dibutuhkan pelayaran dari Melaka selama 4 hari 4 malam dengan kondisi angin yang baik.

Semua sumber China itu mengarahkan bahwa lokasi Kerajaan Aru itu berada di daerah Sumatera Utara, karena sebelah barat Aru disebutkan adalah Samudera Pasai. Samudera Pasai sudah jelas terbukti berdasarkan bukti arekologi berupa makam Sultan Malik Al-Saleh posisinya berada di daerah antara Sungai Jambu Air (Krueng Jambu Aye) dengan Sungai Pasai (Krueng Pase) di Aceh Utara.

Namun, lokasi pusat Kerajaan Aru yang disebutkan dalam sumber China itu memang belum dapat dikenali pasti karena, bukti-bukti pendukung lainnya, khususnya bekas istana, makam-makam diraja Aru dsb. belum ditemukan. Dua lokasi tempat ditemukannya sisa-sisa keramik China, nisan, dan lain-lainnya sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini belum dapat dijadikan bukti yang kuat.

Hasil-hasil penggalian di kota China (Labuhan Deli) dan Kota Rantang sementara hanya membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang penting sebagai tempat aktifitas perdagangan dengan para pedagang asing dari China, Siam dan lain-lain.

Ada beberapa pendapat tentang lokasi Kerajaan Aru. Groeneveldt (1960:95) menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). Pendapat terakhir ini tampaknya sesuai dengan keterangan geografi dari salah satu sumber China di atas, yakni berhadapan dengan Pulau Sembilan di Pantai Perak Malaysia.

Memang apabila ditarik garis lurus dari Pulau Sembilan menyeberangi Selat Melaka akan bertemu dengan Teluk Haru yang terletak di Muara Sungai Wampu. Tetapi hingga hari ini didaerah itu belum ada ditemukan bukti-bukti arkeologis yang dapat mendukung pernyataan tersebut.

Sesuai dengan sistem transportasi zaman dahulu yang masih bertumpu kepada jalur sungai, dapat kita pastikan bahwa bandar-bandar perdagangan yang sering berfungsi sebagai pusat sebuah kekuasaan politik (kerajaan) pastilah berada di sekitar muara sungai.

Dalam konteks ini, maka di sepanjang pantai Sumatera Timur, ada beberapa sungai besar yang bermuara ke Selat Melaka. Misalnya Sungai Barumun, Sungai Wampu, Sungai Deli, dan Sungai Bedera. Dua sungai yang disebut terakhir ini bermuara ke Belawan dan sekitarnya (Hamparan Perak). Jika demikian tampaknya pendapat Gilles lebih masuk akal, apalagi dihubungkaitkan dengan beberapa temuan-temuan arkeologis di Kota Rantang dan Labuhan Deli.

Tiga buah sungai yang disebutkan terakhir itu juga merupakan jalur lalulintas penting sepanjang sejarah, setidaknya sebelum penjajah Belanda membangun jalan raya pada awal abad ke-20, bagi orang-orang Karo untuk berniaga, sekaligus bermigrasi ke pesisir pantai Sumatera Timur/Selat Melaka.

Dalam sejarah Melayu, ada disebutkan tentang nama-nama pembesar Aru yang erat kaitannya dengan nama-nama/marga orang Karo, seperti Serbanyaman Raja Purba dan Raja Kembat dan nama Aru atau Haru juga dapat dikaitkan dengan Karo. Jika informasi ini dikaitkan, maka pusat Kerajaan Aru memang berada di muara-muara sungai tersebut. Namun, secara pasti belum dapat ditetapkan, apakah di sekitar Muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat) atau di sekitar Belawan.

Dalam Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin, pada sekitar abad ke-15 M wilayah Kerajaan Aru meliputi seluruh Pesisir Timur Sumatera dari Tamiang sampai ke Rokan dan bahkan sampai ke Mandailing dan Barus. Jika begitu yang boleh kita pastikan adalah wilayah Kerajaan Aru berada di sebagian Pantai Timur Sumatera yang sekarang menjadi wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Konon istana kerajaan Haru terdapat disekitar Belawan (Muara Sungai Deli) atau di Muara Sungai Barumun di Padang Lawas, namun informasi tersebut masih perlu dikaji lebih teliti dengan memerlukan banyak bukti.

SEJARAH KERAJAAN ARU

Nama Kerajaan Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Nagarakretagama menyebut Haru sebagai salah satu negara bawahan Majapahit

Kerajaan Aru telah terwujud pada abad ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008). Ketika itu telah muncul Kerajaan Singosari di Jawa yang berusaha mendominasi wilayah perdagangan di sekitar Selat Malaka (Asia Tenggara).

Singosari berusaha menghempang kuasa Kaisar Kubilai Khan dengan melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1292 untuk membangun aliansi melawan Kaisar China. Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk dibawah kuasa Singosari, seperti Melayu (Jambi) dan Aru/Haru. Sementara dengan Champa, Singosari berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik. Pada abad ke-14, sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan Prapanca bahwa Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan Majapahit, termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis dan Madahaling.

Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada 1419, 1421, 1423, dan 1431 di istana Kaisar China dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu membuktikan pernyataan itu. Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata kaisar China.

Kaisar China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah berupa kain sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas. Mengikut pendapat Selamat Mulyana, (1981:18) bahwa negeri-negeri di Asia Tenggara yang mengirim utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka. Hanya negeri yang merdeka saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk menyampaikan upeti atau persembahan/surat kepada Kaisar China.

Oleh karena itu dapat dipastikan Kerajaan Aru pada abad ke-15 adalah negeri yang merdeka dan berusaha pula untuk mendominasi perdagangan di sekitar Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru berusaha menguasai Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, sebagaimana telah disebut dalam Sejarah Melayu.

Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru sebanding dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua utusan dari Aru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran kerajaan. Utusan Aru yang datang ke Istana China terakhir tahun 1431. Setelah itu tidak ada lagi utusan Raja Aru yang dikirim untuk membawa persembahan kepada Kaisar China. Hal ini dapat dipahami karena Aru pada pertengahan abad ke-15 sudah ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah melaui perkawinan politik.

Kekuatan Aru juga dilirik oleh Portugis untuk dijadikan sekutu melawan Melaka. Akan tetapi hubungan Aru dengan Melaka tetap harmonis. Pada saat Sultan Melaka (Sultan Mahmud Shah) diserang oleh Portugis dan mengungsi di Bintan, Sultan Haru datang membantu Melaka.

Sultan Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan Mahmud Shah pada tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi putri Sultan Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi medan pertempuran antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh yang pada tahun 1524 berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai kemudian menguber sisa-sisa pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan Aru diserang Aceh sebanyak dua kali yakni pada bulan Januari dan November 1539.

Aru berhasil dikuasai Aceh dan Sultan Abdullah ditempatkan sebagai Wakil Kerajaan Aceh di Aru. Ratu Aru melarikan diri ke Melaka untuk meminta perlindungan kepada Gubernur Portugis, Pero de Faria. (M.Said, 2007: 164).

 

PENGUASA KERAJAAN ARU

sultan-husin

Dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang (1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada periode 1477-1488 dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang turun daripada Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang Pasai karena Raja Pasai menghina utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Pasai.

T.Luckman Sinar (2007) menjelaskan bahwa Batu Hilir maksudnya adalah Batak Hilir dan Batu Hulu adalah Batak Hulu. Menurut beliau ada kesalahan tulis antara wau pada akhir “batu” dengan kaf, sehingga yang tepat adalah “…yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir.

Dari nama-nama pembesar-pembesar Haru yang disebut dalam Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Sebagaimana kita ketahui di Deli Hulu ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Suku Karo.

Tetapi nama tokoh Maharaja Diraja anak Sultan Sujak masih perlu diperbandingkan dengan sumber lain untuk membuktikan kebenarannya. Sebutan Maharaja Diraja adalah sebuah gelar bagi seorang raja, bukan nama sebenarnya dan apakah Maharaja Diraja adalah Raja Aru yang pertama atau apakah itu gelar dari Sultan Sujak? Kedua pertanyaan ini sukar untuk memastikannya.

Dalam catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419 anak Raja Aru bernama Tuan A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa upeti.Nama tokoh inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber bandingannya dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun demikian, nama Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti Ming dapat dianggap benar karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah Melayu.

 

Sulutang Hutsin adalah sebutan orang China untuk mengucapkan nama Sultan Husin. Nama Sultan Husin juga telah disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai penguasa Aru sekaligus menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir 1488-1528.

Disebutkan, Sultan Husin pernah datang ke Kampar bersama-sama dengan Raja-raja Melayu lainnya seperti Siak, Inderagiri, Rokan dan Jambi atas undangan Sultan Mahmud Shah yang ketika itu sudah membangun basis pertahanan di Kampar karena Melaka sudah dikuasai Portugis untuk membangun aliansi Melayu melawan Portugis. Berdasarkan keterangan itu dapat dikatakan bahwa nama Sultan Husin sebagaimana disebut dalam catatan China dan Sejarah Melayu secara historis dapat dibenarkan.

Dengan demikian hanya itulah nama-nama yang tercatat sebagai penguasa Aru. Namun nama itu secara arkeologis hingga hari ini belum dapat dibuktikan, maksudnya belum ada temuan berupa batu nisan atau mata uang yang memuat nama tersebut.

Fakta Sejarah Kerajaan Aru-Haru-Karo Dari Tahun 1258 – 1976

peta-aru

   Kerajaan   Aru-Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di sumatra namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatra Utara yang rajanya bernama Pa lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit,Sriwijaya,Johor,Malaka,dan Aceh.Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.

Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya
Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.

Tahun 1258

 

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka 1336 M. Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi:
Terjemahannya,:

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.

Tahun 1282

 

“Sari Sejarah Serdang” (edisi pertama, 1971) mencatat bahwa nama Aru muncul pertama kali pada 1282 dalam catatan Tionghoa pada masa kepemimpinan Kublai Khan.Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.

Tahun 1285

 

Menurut catatan MOP dalam bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar Pase (Aceh) pada tahun 1285 dan masuk Islam serta berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Tahun 1282 dan 1290

 

Kerajaan Aru telah terwujud pada abad ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008). Ketika itu telah muncul Kerajaan Singosari di Jawa yang berusaha mendominasi wilayah perdagangan di sekitar Selat Malaka (Asia Tenggara) mungkin di sebut kerjaan itu adalah majapahit.
1290 M. : “Hikayat Raja-raja Pasai” menulis Haru diIslamkan oleh Nakhoda Ismail (Malabar) dan Fakir Muhammad (Madinah) sebelum mereka ke Samudera-Pasai. (Sultan Malikussaleh wafat 1292 M).

Tahun 1270- 1293-1297

 

Keduanya merupakan pendakwah dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13. Oleh karena itu, dapat dipastikan agama Islam telah sampai ke Aru paling tidak sejak abad ke-13. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data arkeologis berupa batu nisan Sultan Malikus Saleh di Geudong, Lhok Seumawe yang bertarikh 1270-1297, dan kunjungan Marcopolo ke Samudera Pasai tahun 1293. Kedua sumber itu sudah valid dan kredibel.

Tahun 1292

 

Kerajaan Aru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekpedisi Pamalayu (1292) dan ditulis dalam pararaton “Aru yang Bermusuhan”. Tetapi setelah itu Aru pulih kembali dan menjadi makmur sebagai mana dicatat oleh bangsa Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam bukunya “Jamiul Tawarikh” (1310 M), jelasnya.

Tahun 1292

 

Singosari berusaha menghempang kuasa Kaisar Kubilai Khan dengan melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1292 untuk membangun aliansi melawan Kaisar China. Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk dibawah kuasa Singosari, seperti Melayu (Jambi) dan  Aru/Haru. Sementara dengan Champa, Singosari berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik. Pada abad ke-14, sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan Prapanca bahwa Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan Majapahit, termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis dan Madahaling.

Tahun 13__

 

Akan tetapi, berbeda dengan Biak Ersada Ginting, Perret mengatakan bahwa, sembari merujuk pada penulis Perancis F. Mendes Pinto dalam buku “chez Cotinet et Roger” (1645), masyarakat Aru dan rajanya adalah muslim. Dan dalam kutipan dari “Hikayat Melayu” dan “Hikayat Raja-raja Pasai”, Kerajaan Aru atau Haru disebut sudah menganut Islam pada pertengahan abad 13; lebih dahulu ketimbang Aceh dan Malaka.

Tahun 1310

 

1310 M.: Fadiullah bin Abd. Kadir Rasyiduddin dalam “Jamiul Tawarikh”, Haru pulih perdagangannya kembali;

Tahun 13__-14__

 

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR pada tahun 1285.
Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar Aceh.

Tahun 13__-15__

 

Namun, seperti yang telah diingatkan oleh Prof. Wolters bahwa data-data yang bersumber dari tulisan China dari abad ke 13-15 bukan nyata dari penelitian namun sebatas pengamatan pintas. Oleh sebab itu, pembuktian terhadap tulisan itu harus diarahkan kedalam tanah (ekskavasi) yakni untuk merekontruksi jejak-jejak peradaban (H)ARU di lokasi dimaksud.

Tahun 13__-16__

 

Dengan bukti-bukti itu secara tertulis, jelas Kerajaan Aru memang pernah wujud di Pantai Timur Sumatera paling tidak sejak abad ke 13 hingga awal abad ke-16

Tahun 1365

 

1365 M.: “Negarakertagama” mengenai penjajahan Majapahit juga menaklukkan “Haru” (lihat benteng Lalang Kota Jawa dipinggir Sei. Deli (John Anderson1823).

Tahun 1365

 

Musibah kembali menimpa Kerajaan Aru ketika Majapahit menaklukkannya pada tahun 1365 M. Seperti tertera dalam syair Negarakertagama strope 13:1, pada masa itu Majapahit juga menaklukkan Panai (Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru

Tahun 1368-1643

 

Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan Kerajaan Melaka, dan dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama 3 hari.

Tahun 1405-1407

 

Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.

Tahun 1412

 

1412 M.: Armada China pp. Laksemana Zeng He (Cheng Ho) membawa Raja Haru Sultan Husin menghadap Kaisar Cina Yung Lo; Selain Kota Cona Haru mempunyai juga Bandar di Medina (=Medan) menurut Laksemana Turki Ali Celebi 1554 M.

Tahun 14__ – 15__

 

Sebagai dampak serbuan yang terus menerus maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh.

Tahun 14__ -15__

 

Tentang hal ini, McKinnon (2008) menulis:”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Pada akhirnya, sebagai dampak serangan Aceh yang terus menerus ke Kota Rentang, maka ARU pindah ke Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar mulai berkuasa di Aceh. McKinnon (2008) menulis “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.

Tahun 1411-1431

 

Sama juga dengan mutu keramik dari awal abad ke-13 yang telah ditemui dilokasi-lokasi yang sama, yaitu dari misi pelayaran Laksamana Cheng Ho (Zhenghe) dan kunjungannya ke ARU pada tahun 1411-1431” Pendudukan Aceh di Kota Rentang, telah mengubah populasinya dengan warna Islam. Batu nisan di impor dari Aceh dan menjadi pertanda bagi orang meninggal dunia dan umumnya mereka itu adalah kaum bangsawan Kota Rentang. Dan yang terpenting adalah dibentuk dan didirikannya sebuah kerajaan dengan corak Islam yang dikemudian hari dikenal dengan ARU (abad ke-13)..

Tahun 1413

 

menurut Perret, nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama “A-lu” sebagai penghasil kemenyan

Tahun 1416

 

Menurut Ma Huan dalam Ying Yai Sheng Lan (1416) di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan “fresh water estuary”.

Tahun 1416

 

Raja Aru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad.

Tahun 1419

 

Dalam catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419 anak Raja Aru bernama Tuan A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa upeti.Nama tokoh inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber bandingannya dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun demikian, nama Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti Ming dapat dianggap benar karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah Melayu.