psila

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam, meski bukan negara sekuler. Kalimat ini, bagi kelompok Islam seperti di atas, mungkin masih dirasa ambigu dan memang bagi mereka yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa, kalimat diatas akan terdengar absurd. Akan tetapi, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara mereka. Sebab, kalimat di atas merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan (yang sebelumnya amat sulit dicapai) diantara para founding fathers pendiri negara ini. Kesulitan ini mengingatkan kita pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokuristu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerintah kolonial Jepang berdebat tentang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kita.

Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diketuai Radjiman Wedyodiningrat, dan antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pertamanya. Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, batas negara, dasar negara dan hal lain terkait pembentukan konstitusi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan tentang hal-hal itu berjalan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas.

Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua.
uud
Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan. Adapun dua azaz lagi yang terakhir menurut Sukarno yakni kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kesejahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Ini adalah bagian dari usul Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Urutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang trisila ini bahkan bisa diperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.

Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).

Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diatas telah mempersulit kata mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei – 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanjutkan dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya sebuah kompromi politik sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Dalam modus vivendi itu, disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Hal ini merupakan jalan tengah antara konsep negara sekuler dan negara Islam.

Jika mencermati isi Piagam Jakarta maka negara Indonesia akan dibentuk sesuai isi pancasila seperti yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta ternyata masih mengundang protes, terutama dari Latuharhay, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat. Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat untuk kembali kepada kesepakatan bersama sesuai hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945.

Selanjutnya pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cita menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, “duri dalam daging” dalam UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1 (ketuhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menjadi jelas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo, 2 Tokoh Muslim yang menonjol, menghapus 7 kata itu. Dalam hal itu, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan ajaran Islam tentang tawhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila seperti itu dianggap netral, karena meski telah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saat-saat kritis seperti diatas cukup jelas, yakni bahwa setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi dasar yang telah disepakati.

tokoh

Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia.

Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistim yang telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum Muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/ mitsaq al-madinah) pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Jadi, segera setelah Nabi SAW tiba di Yastrib (Madinah) pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang disebut sebagai Piagam Madinah.

Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.

Di dalam Piagam Madinah, salah satunya, dinyatakan tentang hak kewarganegaraan dan partisipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku juga diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam itu Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa atau umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Memang, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa pengkhianatan Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-oran Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-daerah luar Arabia, dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebjiaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.

Bunyi dan spirit Piagam Madinah itu, yang menurut Cak Nur merupakan salah satu sumber etika politik Islam, sangatlah menarik untuk dikaji kembali dalam konteks pandangan etika politik modern. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan kenegaraan modernpun mengagumkan. Dalam Piagam itulah dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan sebagainya. Akan tetapi, juga ditegaskan suatu kewajiban umum, yakni partisipasi dalam upaya pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar. Menurut Cak Nur, gagasan pokok eksperimen politik di Madinah ini ialah, adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah, bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama, Jadi, bukan oleh prinsip-prinsip yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang telah dilembagakan didalam dokumen kesepakatan dari semua anggota masyarakat, yang dalam zaman modern ini disebut konstitusi kenegaraan seperti Undang-Undang dasar (UUD).

Sebanding dengan kaum Muslim Indonesia dalam menerima Pancasila dan UUD 1945, menurut Cak Nur, orang-orang Muslim pimpinan Nabi SAW itu menerima Konstitusi Madinah adalah juga atas pertimbangan nilai-nilainya yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan fungsinya sebagai kesepakatan antar golongan untuk membangun tatanan kehidupan sosial-politik bersama. Demikian pula, sama halnya dengan umat Islam Indonesia yang tidak memandang Pancasila dan UUD 1945 itu sebagai alternatif terhadap agama Islam, Nabi SAW dan pengikut beliau itupun tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa konstitusi Madinah itu menjadi alternatif bagi agama baru mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas, Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa, sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dari sudut pandang itu pula kita harus menilai kesungguhan para founding fathers dan para tokoh Islam yang selalu menegaskan bahwa antara Islam serta kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari kalangan Muslim, menurut Cak Nur, tidak harus selalu dilihat dalam kerangka hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmatis. Misalnya, dipertimbangkan bahwa kesulitan serius datang dari kalangan Islam karena memang sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulitan yang sama atau sebanding juga datang dari kalangan non-Muslim. Menurut Cak Nur, kecenderungan untuk secara gampang mencari keterangan atas suatu kesulitan sosial-politik yang datang dari suatu kelompok dengan stereotipikal mengkaitkannya kepada hal-hal yang prinsipiil seperti Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin juga hal itu dilakukan karena mengharap keuntungan sosial-politik dengan mudah, akan tetapi, dengan akibat bahwa kerusakan negara menjadi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya tidak terselesaikan.

PROBLEM MORAL/ETIKA

Dari uraian diatas, Cak Nur dalam konteks Indonesia mencoba menganalogkan Pancasila dengan Piagam Madinah. Keduanya, oleh Cak Nur, dianggap sama-sama sebagai suatu common platform antar berbagai macam kelompok masyarakat dan agama. Meskipun Pancasila itu sebagai common platform negara ini mungkin baru mantap pada tingkat formal-konstitusional, tetapi peragian yang diperoleh dari beberapa sumber, termasuk sumber Islam, akan memperkaya proses pengisian Pancasila tersebut, terutama terkait prinsip moral/etikanya.

Ada sumber-sumber pandangan etis yang meluas dan dominan, yang secara sangat potensial bisa menjadi ragi bagi pandangan etis bangsa secara keseluruhan dan yang bisa dijadikan bahan pengisian wadah moral/etika Pancasila. Pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling baiknya dan penampakan paling dinamisnya ialah bangsa Indonesia, Kedua, etika kemodernan yang merupakan akibat langsung dari keberadaan kita diabad modern, dan Ketiga, etika Islam yang sebagai anutan rakyat Indonesia merupakan agama paling luas menyebar diseluruh tanah air, dan yang peranannya diakui para ahli sebagai perata jalan untuk tumbuhnya paham-paham maju dan modern dikalangan rakyat Indonesia, khususnya dalam bentuk paham persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta penghargaan kepada adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau hukum dan weltanschauung-nya.

Moral/etika sosial-politik yang terdapat didalam Pancasila, secara teoritis, sesungguhnya sudah benar-benar menjadi hasil peragian dari ketiga etika yang dimaksud diatas. Sila kesatu: Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus dan otentik. Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia harus menegakkan keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Sila ketiga: Persatuan Indonesia, bisa dijadikan sebagai pembimbing bangsa Indonesia dalam kebhinekaan (pluralitas) yang kaya dalam mozaik budaya yang beragam. Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Dan sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi ancangan yang akan dituju bangsa ini dengan pengamalan keempat sila sebelumnya.

Namun demikian, ditingkat praktis, realitas perjalanan bangsa menunjukkan bahwa yang terjadi justru kebalikan dari apa yang telah digariskan Pancasila. Beragam tragedi muncul bukan hanya dalam bentuk pengkhianatan sebagian orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain, tetapi hal lain seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), juga laku yang beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, merusak milik negara sekalipun dengan meneriakkan Allah Akbar semuanya bertentangan dengan sila kesatu dan kedua. Adalagi tragedi yang terjadi selama sekian dasawarsa, berupa politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistim sosial budaya local secara paksa melalui undang-undang, dan ini merupakan bentuk pengkhiatan konstitusional yang bertentangan dengan sila ketiga. Sementara itu perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi juga tampaknya semakin jauh dari roh Pancasila sila keempat Sementara prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dikatakan telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Rakyat dari masa ke masa justru semakin tidak merasakan keadilan, tetapi penindasan.

Hal di atas secara langsung sebenarnya mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi persoalan serius, yang salah satunya adalah dalam hal penegakkan moral/etika/akhlak. Disinilah sebenarnya umat Islam seharusnya dapat memberikan sumbangannya secara maksimal. Misalnya, kaum Muslim perlu menyadari betul bahwa kesalehan seseorang tidak hanya dalam bentuk kesalehan ritual saja, tetapi juga kesalehan sosial. Tentu saja adalah ironi besar, bahwa bangsa yang mayoritas Muslim ini sering disinyalir sebagai bangsa yang berbudaya korupsi, kolusi dan nepotisme tingkat tinggi, dan juga bangsa yang masyarakatnya anarkhis karena mengedepankan cara-cara kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah dan konflik.

Oleh karena itu, masalah sesungguhnya dalam implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, salah satunya, adalah masalah moralitas/etika/akhlak terutama yang menyangkut ketulusan, dan itu terjadi ketika nilai-nilai dasar Pancasila hanya dijadikan retorika sosial-politik yang kosong dan menipu saja oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jadi yang kita perlukan sesunguhnya adalah fokus terhadap hal tersebut, dan bukan malah memperdebatkannya secara teoretikal atau bahkan menggantinya dengan meng-impor ideologi baru dari negara lain.

Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu (kalimatun sawa) tentang ideologi yang disepakati bersama. Sebagai eklektisitas negara sekuler dan negara Islam, Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ke-tawhid-an dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dan tentu saja nilai-nilai dasar Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan dibenarkan di dalam ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin (rahmat seluruh alam), dan bukan rahmatan lil-muslimin (rahmat kaum Muslim saja) saja yang eksklusif atau bahkan Cuma rahmatan lil-madzhabiyyin (rahmat pengikut madzhab tertentu dalam Islam) yang lebih eksklusif lagi.

CATATAN KAKI
1. Makalah untuk Nurcholish Madjid Memorial Lectures dengan tema “Menggagas Islam Peradaban” di UNTIRTA, Serang, 27 November 2006, kerja sama UNTIRTA Serang dengan PSIK Universitas Paramadina, Jakarta.
2. Suratno, adalah dosen Departemen Falsafah dan Agama, serta peneliti PSIK, Universitas Paramadina, Jakarta. Ia juga adalah dosen STAI-NU dan wakil direktur LP3M, Jakarta.
3. Anggota BPUPKI pada mulanya berjumlah 62 orang, tapi kemudian ditambah 6 lagi menjadi 68 orang. Menurut Prawoto Mangkusasmito, dari 68 orang tersebut 15 merupakan tokoh-tokoh Islam. Diantara mereka antara lain yakni: A Sanusi (PUI), Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Wachid Hasjim, Masjkur (NU), Sukiman Wirosandjojo (PII sebelum perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), Abdul Halim (PUI). Sementara, tokoh-tokoh nasionalis antara lain: Radjiman Wedyodiningrat, Sukarno, M Hatta, Supomo, Muhamad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, Suroso, Buntaran Martoatmodjo dll. Lihat A Syafii Maarif, 2002, Islam dan Pancasila Dasar negara, Jakarta: LP3ES, hal. 102-110.
4. Nurainun Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat http://www.kedaulatan-rakyat.com

tokoh2

5. Ke-9 orang dalam Panitia Kecil tersebut yakni mewakili golongan nasionalis adalah Sukarno, M. Hatta, AA Maramis, Ahmad Subardjo dan Muhamad Yamin. Sementara yang mewakili golongan Islamis adalah Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan Wahid Hasjim. Dengan demikian komposisi kekuatan antara golongan nasionalis dan Islamis dalam panitia ini adalah 5:4
6. Lihat Nurcholish Madjid, 2003, Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia
7. Piagam Madinah ini telah didokumentasikan para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152H), dan Muhammad Ibn Hisyam (w. 218H). Lihat Nurcholish Madjid, 1991, Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991, hal. 11-15
8. Para sarjana Barat dan Muslim sepakat bahwa piagam ini adalah otentik. Menurut Julius Wellhausen, ada 4 alasan yang mendasari otentisitas piagam itu yakni: (1) Grammar dan kosa kata yang dipakai sangat archaic, (2) Teks perjanjian itu penuh dengan alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman, (3) Teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku kuno, jauh sebelum Islam hadir, dan (4) Jika ada pemalsuan terhadap perjanjian itu, tentu ia akan merefleksikan fenomena masa Islam, misal, non-Muslim pasti tidak masuk dalam kategori umma wahida. Selain otentik, ada 3 hal yang perlu dicermati dari Piagam tersebut yakni: (1) Dalam piagam itu tidak ada kata-kata nation of Islam atau negara Islam. Ini adalah perjanjian antara orang Islam dan non-Muslim untuk membangun suatu tatanan hidup bersama. (2) Dalam piagam itu, kaum non-Muslim masuk dalam kategori umma wahida. Anehnya, dalam perkembangan selanjutnya Piagam ini kemudian semata-mata dianggap sebagai dasar pembentukan negara Islam dan terjadi penyempitan makna umma wahida menjadi hanya mencakup umat Islam artinya makna kata itu menjadi eksklusif dan mengeluarkan umat agama lain dari kandungan makna katanya. (3) Para sejarahwan tidak pernah sepakat, apakah Piagam Madinah merupakan perjanjian sepihak yang dibuat Nabi SAW dan orang lain diminta menyetujuinya (a unilateral edict) atau piagam itu mengalami proses perdebatan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a negotiated settlement). Untuk masalah ini, jika proses terjadinya piagam itu hanya hasil dari penyodoran Nabi kepada umat lain untuk disetujui, sebetulnya tidak ada equality dari pihak-pihak yang terlibat dan ini kontradiksi dengan isi piagam itu sendiri. Sementara, jika Nabi membuat piagam itu dengan melakukan perbincangan dan perdebatan dengan berbagai pihak yang terlibat, apa yang sekarang disebut sebagai demokrasi sebenarnya telah dijalankan Nabi. Lihat Najib Burhani, 2004, Piagam Jakarta dan Piagam Madinah, dalam harian KOMPAS, edisi 30 November 2004.
9. Bila kita memahami Piagam Madinah sebagai a negotiated settlement, maka konteks yang sama bisa kita lihat dari penghilangan 7 kata sila 1 Piagam Jakarta menjadi Pancasila versi yang ada sekarang, dan penghilangan itu adalah bagian dari demokrasi.
10. Suratno, 2006, Kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, dalam Jurnal Universitas Paramadina , Vol 4, No. 3, Agustus 2006, hal. 332
11. Budhy Munawar-Rahman, 1999, Kata pengantar, dalam Nurcholish Madjid, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,. hal xxi-xxii
12. Nurcholish Madjid, 1999, op.cit.
13. Nurcholish Madjid, Mohamad Roem, 1997, Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Penerbit Djambatan, hal.75
14. A Syafii Maarif, 2006, Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.