Archive for Januari, 2017

Soekarno Membaca Ayat Suci Qur’an dan Perkenalkan Pancasila di Sidang PBB,

sukarno

 Siapa yang tak mengenal Presiden pertama Indonesia ? Tampaknya, pertanyaan semacam itu tak cukup baik untuk dilempar ke ruang publik. Sesuatu yang jarang diketahui oleh masyarakat publik dari seorang Seokarno adalah mengenai pemikirannya yang sangat luas, bahkan ia memahami hampir seluruh pengetahuan, bahkan pemikiran kebangsaannya tak lepas dari pemahaman agama dan kitab suci Al-Quran.

Bagaimana tidak ? Pada tanggal 30 September 1960, Soekarno pernah membuat geger Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan membuat terkesima bangsa-bangsa lain atas pidatonya di depan Sidang Umum PBB XV.

“Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung jawab yang besar. Saya merasa rendah hati berbicara di hadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan yang bijaksana dan berpengalaman dari timur dan barat, dari utara dan dari selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama,” kata Soekarno mengawali pidatonya ketika itu.

Setelah mengawali pidatonya (lihat:”Total Bung Karno”, karya Roso Daras, 2009 dan 2013), Soekarno memanjatkan doa di depan sidang agung PBB dengan kalimat, “Saya telah memanjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar lidah saya dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah berdo’a agar kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya”. Kalimat bernada munajat atau doa itu – merupakan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Musa dalam melawan Kedzaliman penguasa Fir’aun. Hal tersebut termaktub dalam al-Quran, Surah Thaha, 25-28.

Dalam sidang itu Soekarno memang terlihat cukup berbeda dengan kepala negara lainnya. Sebab, setiap kepala negara yang berpidato hanya sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Soekarno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur tanpa mempedulikan protokoller sidang umum seperti biasanya. Dengan baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamatanya, Soekarno menyampaikan: “Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada tuan ketua atas pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira sekali untuk menyampaikan atas nama bangsa saya ucapkan selamat datang yang sangat mesra kepada keenambelas anggota baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

“Kitab suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita semua saat ini,” buka Soekarno dalam pidatonya yang berjudul To Build the World a New. Ia pun tak lupa menyitir ayat al-Qur’an dan berkata: “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu.” (Qs. al-Hujarat: 13)

Pertanyaannya adalah, mengapa banyak pemimpin negara yang berasaskan Islam termasuk Arab Saudi tidak satupun yang mengutip Al-Quran seperti yang disampaikan Soekarno?

Meski demikian, ia tak lupa mengenalkan Pancasila pada dunia. Ia kupas satu persatu butir dalam Pancasila penafsiran beserta pemaknaannya, bahkan Soekarno dengan bangga mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi alternatif.

Alhasil, Presiden pertama Republik Indonesia pun berhasil memukau para pimpinan dunia, dan Pancasila sebagai falsafah Indonesia telah merasuk ke dalam sanubari para pemimpin dunia.

Karena itu, Soekarno kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika. Penobatan itu dilakukan pada pertemuan para pemimpin negara-negara Asia Afrika di Kairo Mesir, yang kemudian melahirkan Gerakan Non Blok pada tahun 1961 – sehingga ia menjadi mercusuar, bukan saja bagi bangsanya, tetapi bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Soekarno Menyelamatkan Kampus Al-Azhar Mesir 

Negeri Piramida sedang dilanda prahara politik yang tak kunjung reda, tarik-menarik kekuatan politik untuk memperebutkan pengaruh Al Azhar-pun tak terelakkan. Tumbangnya rezim Hosni Mubarak pada bulan Februari 2011 dan kudeta militer terhadap Presiden Mohammad Moursi pada bulan Juli 2013, tak pelak lagi, berdampak sangat serius terhadap eksistensi Al Azhar.

Mesir merupakan salah satu negara yang paling sering dikunjungi Soekarno, tercatat sebanyak enam kali Presiden Pertama Indonesia ini melakukan kunjungan resmi kenegaraan. Puncak kemesraan hubungan bilateral Indonesia – Mesir terjalin ketika Mesir dipimpin oleh Gammal Abdul Nasser. Selain itu, peran keduanya sebagai pemrakarsa Konferensi Asia – Afrika, membuat nama Presiden Soekarno begitu harum di mata pemerintah dan rakyat Mesir, hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan di Mesir.

Soekarno dikenal di Mesir dengan nama Ahmad Soekarno. Penambahan nama “Ahmad” dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir untuk memperkuat nuansa keislaman sehingga menarik perhatian masyarakat Mesir bahwa Presiden Indonesia beragama Islam, seragam dengan nama Wakil Presiden yang diawali nama Mohammad.

Ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Presiden Gamal Abdel Nasser menyatakan Mesir berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah. Presiden Nasser juga menggirimkan kawat belasungkawa kepada Presiden Soeharto atas wafatnya Bung Karno, tulis koran Al Ahram, 22 Juni 1970. Hanya tiga bulan setelah Bung Karno wafat, Presiden Nasser juga menyusul kembali ke Sang Khalik pada 28 September 1970.

Rencana Penutupan Al-Azhar

Berdiri sejak 969 M, bangunan universitas ini berhubungan dengan Masjid Al- Azhar di wilayah Kairo Kuno. Sebutan Al Azhar diambil dari nama Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Nabi Muhammad. Sumber lain menyatakan bahwa pada bulan Ramadan 350 Hijriah (Oktober 975 M), secara resmi proses belajar mengajar di Al Azhar dimulai. Universitas ini dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah.

Kisah tentang “jasa” Soekarno terhadap salah satu Universitas Islam tertua di dunia ini pertama kali terungkap dalam acara talkshow “Wallahu’alam” di kanal CBC 2, Agustus, tahun 2014. Adalah Syeikh Ali Jum’ah, anggota Hai’ah Kibar Ulama (suatu badan khusus di Al Azhar beranggotakan para ulama senior yang sangat berpengaruh) yang juga mantan mufti Mesir, yang menjelaskan bahwa hubungan antara Seokarno dan Gamal Abdul Nasser sangat erat, keduanya merupakan sahabat karib. Hingga suatu saat Gamal Abdul Naser mengutarakan keingininannya untuk menutup Al Azhar. Ancaman penutupan itu akibat Nasser melihat gelagat kalangan ulama Al Azhar yang ingin bergabung dengan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaannya.

“Ahmad Soekarno menanggapi, apakah engkau bakal menghapus Nil? Apakah engkau bakal menghapus piramid? Kita tidak mengenal kalian sama sekali kecuali dengan Al Azhar!,” ujar Syeikh Ali Jum’ah.

Mantan Mufti Nasional Mesir tersebut mengamini pandangan Bung Karno bahwa Al Azhar dan Mesir ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, yakni Al Azhar adalah Mesir, dan Mesir adalah Al Azhar.

Peristiwa itu menurut Syeikh Ali Jum’ah terjadi pada tahun 1959. Setelah itu, terbit undang-undang yang pasal utamanya berisi bahwa Al Azhar adalah rujukan keislaman seluruh dunia, bukan hanya sebatas Mesir saja. Universitas Al-Azhar batal ditutup.

Berkat jasa tersebut, Universitas Al Azhar menganugrahkan doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada Bung Karno dalam kunjungan ketiga ke Mesir pada bulan April 1960.

Syiekh Agung Al Azhar Mahmoud Shaltut menyematkan gelar kehormatan akademis itu di gedung pertemuan Universitas Al Azhar pada tanggal 24 April 1960, pukul 12.00 waktu setempat, seperti terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir”.

Kisah dari Al Azhar ini merupakan salah satu dari sederet kenangan abadi Sang Proklamator dalam kunjungnnya ke mancanegara.

Akhir-Akhir Sultan Hamid II DariTurki Utsmani

 

sultan-hamidSultan Abdul Hamid II.

Pada tanggal 17 November 2013, Laman Ottoman History Picture Archives mengupload sebuah foto yang dikutip dari koran Turki lama yang menampilkan sosok para Bangsawan Kerajaan Jawa (Mataram) yang semasa dengan Sultan Abdul Hamid II.

Tertulis dalam keterangan foto berbahasa Turki:Jawa Amiri Hadhiri Urtaji Abdurrahman(berkemungkinan besar maksudnya adalah Raden Mas Murtejo, Hamengkubuwono VII yang memerintah Kesultanan Yogyakarta dari tahun 1877-1920).

Lalu di sebelahnya tertulis: Amirik Waziri Raden Hadi Fani Sasradiningrat. Tidak diketahui lebih lanjut, apakah foto ini diambil ketika sebuah kunjungan (Utusan Turki ke Yogya atau sebaliknya) ataukah dalam momentum lain. Tapi yang pasti, foto ini memberikan gambaran bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara Imperium Turki Utsmani dengan Kesultanan Yogyakarta.

mataram

Seperti diketahui, Sultan Abd-ul-Hamid II lahir pada tanggal 21 September 1842 dan wafat pada tanggal 10 Februari 1918, ia merupakan Sultan (Khalifah) ke-27 yang memerintah Daulah Khilafah Islamiyah Turki Utsmani yang menggantikan saudaranya Sultan Murad V pada 31 Agustus 1876.

Sepanjang pemerintahannya, Sultan Abdul Hamid II menghadapi berbagai dilema. Pada 1909 Sultan Abd-ul-Hamid II dicopot kekuasaannya melalui kudeta militer, sekaligus memaksanya untuk mengumumkan sistem pemerintahan perwakilan dan membentuk parlemen untuk yang kedua kalinya. Ia diasingkan ke Tesalonika, Yunani.

Selama Perang Dunia I, ia dipindahkan ke Istana Belarbe. Pada 10 Februari 1918, Abd-ul-Hamid II meninggal tanpa bisa menyaksikan runtuhnya institusi Negara Khilafah (1924), suatu peristiwa yang dihindari terjadi pada masa pemerintahannya. Ia digantikan oleh saudaranya Sultan Muhammad Reshad (Mehmed V) .

Selama periode pemerintahannya, Sultan Abd-ul-Hamid II menghadapi tantangan terberat yang pernah dijumpai kaum muslimin dan Kekaisaran Ottoman (Usmaniyah) saat itu:

  • Konspirasi dari negara-negara asing (seperti Perancis, Italia, Prusia, Rusia, dll) yang menghendaki hancurnya eksistensi Khilafah Usmaniyah.
  • Separatisme yang dihembuskan negara-negara Barat melalui ide nasionalisme, yang mengakibatkan negeri-negeri Balkan (seperti Bosnia Herzegovina, Kroasia, Kosovo, Bulgaria, Hongaria, Rumania, Albania, Yunani) melepaskan diri dari pangkuan Kekaisaran Ottoman. Begitu pula dengan lepasnya Mesir, Jazirah Arab (Hejaz dan Nejd) dan Libanon baik karena campur tangan negara asing ataupun gerakan dari dalam negeri. Akibatnya, di kawasan Balkan saat itu dikenal sebagai kawasan “Gentong Mesiu” karena konflik yang ada di kawasan itu dapat sewaktu waktu meledak terutama terlibatnya negara negara adikuasa masa itu (Kerajaan Ottoman, Kekaisaran Austria-Hongaria, Inggris, Perancis, Kekaisaran Jerman dan Rusia. Konflik ini meledak saat Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Krisis di kawasan yang sekarang dikenal sebagai bekas Yugoslavia pada dekade 1990-an.
  • Perlawanan dari organisasi yang didukung negara-negara asing seperti organisasi Turki Fatat (Turki Muda), Ittihat ve Terakki (Persatuan dan Kemajuan).
  • Kekuatan Yahudi dan Freemasonry, yang menginginkan berdirinya komunitas Yahudi di Palestina.

Beberapa peristiwa pada zaman Sultan Abd-ul-Hamid II:

1840
Awal rencana pembuatan jalur kereta api yang membentang di Timur Tengah yang juga mencakup Jalur kereta api Hijaz yang menghubungkan antara Damaskus dengan Madinah yang juga direncanakan sampai ke Mekkah dan Jeddah. Jalur kereta api ini dibangun bertujuan untuk mempersatukan wilayah Kekaisaran (Kekhalifahan) Usmaniyah dengan sarana transportasi modern saat itu.

1876
Revolusi Bulgaria dengan bantuan Rusia gagal.
Serbia menyerang kaum muslimin dengan bantuan Rusia, kaum muslimin mengalahkan mereka, mengambil alih Bulgaria dan seluruh Serbia.

1877
Rusia dan Rumania dikalahkan setelah menyerang kaum muslim.
Rusia dan Hongaria mengambil alih Pleven, Bulgaria.
Rusia dikalahkan dan Tsar dibebaskan. Rusia telah kalah sebanyak 6 kali.

1878
Rusia mengambil alih Sofia, Pleven, dan Edrine di Turki.
Perjanjian damai dengan Rusia.
Bulgaria dan Serbia merdeka.
Edrine dan kawasan lain kembali kedalam wilayah Kekaisaran Usmaniyah.
Inggris mengambil alih Siprus.
Perjanjian Berlin, pihak Eropa membagi-bagikan tanah kaum muslimin.

1908
Jalur kereta api Hijaz yang menghubungkan antara Damaskus dengan Madinah dioperasikan. Rencananya, Jalur ini akan dihubungkan sampai Mekkah dan Jeddah. Namun karena keterbatasan dana dan sering adanya gangguan dari para pemuka suku setempat, jalur ini hanya dihubungkan sampai dengan Madinah. Keberadaan Jalur ini sangat mempermudah kelancaran jamaah haji dengan sarana transportasi modern saat itu. Berbeda dengan jalur di Timur Tengah lainnya seperti halnya Jalur kereta api Baghdad, Jalur kereta api ini dibangun tanpa bantuan dari luar negeri khususnya kekaisaran Jerman.

Sultan Abdul Hamid II: Pembela Palestina
Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah Palestina.

Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.

Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ”Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ”Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”

Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya.

”Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!” Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.

Apa Kata Brigadir Jenderal Supardjo Tentang “G30S” (2)

images_112

 339

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

[cengkeraman] terhadap TNI jang ada di kota. Suasana di mana2

belum mengutuk G-30-S. Dalam tiap2 perang revolusioner,

seorang pemimpin harus sanggup membangkitkan di kalangan

pengikutnja:

  1. Djiwa kepahlawanan.
  2. Kebulatan pikiran dan tekad.
  3. Semangat berkorban.
  4. Ada hal jang perlu dipelajari setjara mendalam. Kawan2

jang selama ini hidup di organisasi tentara bordjuis, sangat

sulit dan mirip tidak sampai hati untuk mendahului teman2

seangkatannja. Hal ini terdjadi djuga pada bataljon jang berasal

dari Djateng,18 dan djuga pada peristiwa jang kami dengar

kemudian, waktu menghadapi Pangdam Surjosumpeno.19

Mungkin letaknja pada kelemahan pandangan ideologi,

kelemahan dalam pandangan kelas. Adjaran Marxisme-

Leninisme bahwa “Kalau tidak mereka jang kita basmi, maka

merekalah jang akan membasmi kita.”20 Belum meresap, dan

belum mendjadi keyakinan kawan2 di ABRI pada umumnja.

Dari pengalaman ini maka pendidikan ideologi dan kesadaran

pandangan kelas perlu mendjadi program Partai.

  1. Strategi jang dianut dalam gerakan keseluruhan adalah

sematjam strategi: “Bakar Petasan.” Tjukup sumbunja dibakar

di Djakarta dan selandjutnja mengharap dengan sendirinja

bahwa meretjonnja akan meledak di daerah2. Ternjata tjara

ini tidak berhasil. Ada dua sebab: mungkin sumbunja kurang

lama membakar atau mesiu jang ada dalam tubuh meretjon itu

sendiri dalam keadaan masih basah, kami hubungkan ini dengan

pekerdjaan2 di waktu jang lampau, tjara2 menarik kesimpulan

tentang kawan2 jang di ABRI dan massa adalah subjektif. Dari

pengalaman ini kita harus bikin kebiasaan membesar2-kan

situasi jang sebenarnja.21 Biasanja kalau ada 10 orang sadja

dalam satu peleton jang sudah dapat kita hubungi, dilaporkan

bahwa seluruh peletonnja sudah kita (kawan). Kalau ada seorang

Dan Jon jang kita hubungi, maka ada kemungkinan bahwa

340

LAMPIRAN-LAMPIRAN

seluruh Bataljon itu sudah kawan. Kekeliruan strategi G-30-S

itu disebabkan djuga banjak kawan2 dari ABRI maupun dari

daerah2 jang melaporkan bahwa massa sudah tidak dapat

ditahan lagi. Bila pimpinan tidak mengambil sikap, maka rakjat

akan 22 djalan sendiri (ber-revolusi). Mengikuti suara2 jang

belum diperiksa kebenarannja berarti kita kena “agitasi” massa,

sama halnja tidak mendjalankan “garis mangsa setjara tepat.”

  1. Melihat kemampuan dan kebesaran organisasi Partai di waktu2

jang lalu maka asalkan sadja kita taktis menggerakannja, kami

rasa PKI tidak perlu kalah. Saja ibaratkan seorang pemasak

jang mempunjai bumbu, sayur2 jang serba tjukup, tetapi kalau

tidak pandai menilai temperatur dari panasnja minjak, besarnja

api, bilamana bumbu2 itu ditjemplungkan dan mana jang

didahulukan dimasak maka masakan itu pun tidak akan enak,

satu tjontoh misalnja. Kami membawahi 18 Bataljon,23 3 di

antaranja bisa dikerahkan untuk tugas2 revolusi, dan sudah

dipersiapkan lengkap dengan pesawat angkutan Hercules

berkat solidaritas dari kawan2 perwira di AD, jang mempunjai

kedudukan komando, tetapi semua ini tidak dimanfaatkan,

sehingga bukan kita jang menghantjurkan lawan “satu demi

satu”, tetapi sebaliknja kita jang di hantjurkan setjara “satu demi

satu.”

Sekian,

 

CATATAN

1 Saya tidak tahu mengapa frasa ini diberi tanda petik ganda.

2 Dari keseluruhan dokumen, cukup jelas bahwa yang dimaksud Supardjo adalah  pimpinan PKI. Ada kemungkinan bahwa Supardjo menyerahkan analisis ini kepadaSudisman, pimpinan Politbiro yang tersisa, yang sedang mempersiapkan otokritikterhadap partai pada pertengahan 1966.

3 Pada 30 September 1965 malam Presiden Sukarno menghadiri upacara penutupan

 

341

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

6-Soeharto 22-2-1967 -21-5-1998

Konferensi Nasional Ahli Teknikdi stadion Senayan. Letnan Kolonel Untung

menjadi bagian pengamanan untuk kehadiran Sukarno di dalam acara ini.

4 Perwira ini boleh jadi Mayor Bambang Supeno, komandan Batalyon 530 JawaTimur. Dalam laporan interogasinya (yang ditulis oleh tim intelijen AngkatanDarat), Supardjo diduga mengatakan (ini laporan interogasi yang harus dibacadengan skeptisisme) Sjam memberitahu dia pada 1 Oktober pagi bahwa MayorSupeno “masih diragukan.” (Departemen Angkatan Darat Team Optis-Perpu-Intel,“Laporan Interogasi Supardjo di RTM,” 19 Januari 1967, 4; dokumen ini termaktubdalam berkas rekaman persidangan Mahmilub untuk Supardjo.) Pasukan-pasukanMayor Supeno merupakan yang pertama mundur; mereka menyerahkan diri keKostrad pada sore hari 1 Oktober meski Mayor Supeno sendiri tinggal dipangkalan

Halim dengan anggota komplotan yang lain sampai dini hari 2 Oktober. MayorSupeno menjemput wakil komandan batalyon, Letnan Ngadimo, di istana padasekitar pukul 14.00 saat pasukan-pasukannya mulai menyerah, dan membawanyake Halim, menurut kesaksian Letnan Ngadimo di persidangan Untung. KomandanBatalyon 454, sebaliknya, berusaha mempertahankan pasukan-pasukannya diLapangan Merdeka; ketika ia akhirnya meninggalkan posisi tersebut, ia membawasebagian besar anak buahnya ke Halim.

5 Istilah pung-pung tampaknya salah ketik. Seharusnya mumpung.

6 Sasaran utama kemungkinan adalah Jenderal Nasution. Pasukan-pasukan yangdikirim untuk menculiknya dipimpin oleh seorang prajurit.

7 Nato adalah singkatan cerdas yang dibuat Supardjo untuk Nasution dan

Suharto.

8 Istilah ini merupakan kombinasi kata Indonesia off ensi yang berasal dari kataBelanda off ensief dan kata Belanda geest yang berarti semangat.

9 Para panglima keempat angkatan – Angkatan Udara, Angkatan Laut, AngkatanDarat, Angkatan Kepolisian – adalah menteri-menteri dalam kabinet Sukarno.

10 Suharto, bukan Nasution, yang melarang Pranoto pergi ke Halim.

11 Pak Djojo adalah nama samaran untuk Mayor Soejono dari AURI, komandanpasukan-pasukan yang menjaga pangkalan Halim. Supardjo mungkin menggunakannama samaran dalam dokumen ini karena ia tidak tahu nama Soejono sebenarnja.

Ini kemungkinan yang nyata karena Supardjo baru bergabung dengan komplotanini sehari sebelumnya dan mungkin diperkenalkan kepada anggota-anggota lainnyasaat mereka menggunakan nama-nama sandi. Nama Pak Djojo juga disebut olehNjono, ketua CDB (Comite Daerah Besar) PKI Jakarta, pada pengadilannya diMahmilub. Menurut Njono, Pak Djojo adalah nama samaran seorang perwiramiliter yang mencari sukarelawan PKI untuk dilatih di Lubang Buaya dari Juni sampai September 1965 (G-30-S Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 53-54,

64-65, 79-82). Heru Atmodjo menegaskan dalam pembicaraan dengan saya bahwaPak Djojo adalah nama alias Mayor Soejono.

12 Supardjo tampaknya menerjemahkan dan menulis ulang (memparafrasakan)

 

342

LAMPIRAN-LAMPIRAN

salah satu bagian dari Revolution and Counter-revolution in Germany (1896),kumpulan artikel-artikel koran yang aslinya diterbitkan pada 1852 dengan namaMarx tapi terutama ditulis oleh Engels: “[Posisi] defensif adalah kematian setiappemberontakan bersenjata; pemberontakan itu kalah sebelum ia mengukur dirinyadengan musuh-musuhnya. Kejutkan musuh-musuhmu ketika kekuatan merekamasih tercerai-berai, siapkan sukses-sukses baru, betapapun kecilnya, tapi setiap hari;pertahankan peningkatan moral yang diberikan oleh keberhasilan pemberontakan

pertama padamu; galang elemen-elemen yang ragu dan goyah itu ke sisimu yangselalu mengikuti letupan terkuat, dan yang selalu mencari sisi lebih aman; paksamusuh-musuhmu ke posisi mundur sebelum mereka mampu mengumpulkankekuatan mereka untuk melawanmu.” (www.marxist.org/archive/marx/works/1852/germany/ch17.htm) Supardjo mungkin tidak membaca teks ini; dalam kumpulan

karya Marx dan Engels teks ini kurang dikenal. Supardjo mungkin membaca esaiLenin “Advice of an Onlooker” (yang ditulis pada 21 Oktober 1917), yang mengomentaribagian teks di atas. Karya-karya Lenin lebih jamak dibaca pada masasebelum 1965 di Indonesia. Tak bisa diragukan karena karya-karya Lenin lebihmudah dipahami dan lebih relevan bagi suatu partai komunis yang begitu disibukkandengan berstrategi politik dari hari ke hari.

13 Kodam Siliwangi di Jawa Barat terkenal oleh anti-komunismenya; pasukanpasukannyadigunakan oleh kepemimpinan nasionalis untuk menjerang PKI diJawa Timur pada 1948. Jenderal Nasution berasal dari Kodam Siliwangi.

14 Pernyataan ini tampaknya merupakan kritik terhadap pengumuman radio dariG-30-S yang mendemisionerkan kabinet Sukarno.

15 Saya tidak tahu Supardjo mengacu ke brigade yang mana. Pranoto adalah asistenYani untuk personalia dan tidak membawahi pasukan langsung.

16 Identitas Kawan Endang tak diketahui.

17 Penggunaan kata unsur-unsur untuk mengacu pada “perwira-perwira demokrasirevolusioner“ adalah suatu keanehan yang tidak bisa saya jelaskan.

18 Batalyon dari Jawa Tengah harus mengacu ke Batalyon 454, yang mendudukiLapangan Merdeka pada pagi hari dan kemudian meninggalkan posisi itu di sorehari setelah menerima perintah Suharto untuk menyerah. Namun aneh bahwaSupardjo tidak menyalahkan para perwira dari Batalyon 530 dari Jawa Timur jugayang menjerah ke Kostrad. Paling tidak ketika pasukan-pasukan Batalyon 454meninggalkan Lapangan Merdeka, mereka menghindar untuk masuk Kostrad.Mereka melarikan diri ke Halim.

19 Surjosumpeno adalah Pangdam Diponegoro. Para perwira Gerakan 30 Septembermengambil alih markas kodam di Semarang pada 1 Oktober dan menahannya.

Anderson dan McVey mencatat bahwa “Surjosumpeno berhasil mengecoh perwiraperwiramuda yang mudah terkesan untuk meninggalkan dia sendiri cukup lamasehingga memungkinkan dia melarikan diri.” (Preliminary Analysis, 46) Supardjomengacu ke insiden ini ketika mengkritik ketidakmampuan perwira-perwira junior

 

343

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

untuk menentang atasan-atasan mereka.

20 Saya belum berhasil menemukan sumber kutipan ini.

21 Tampaknya ada kata “tidak” sebelum kata “membesar2-kan” yang tak tertulisentah oleh Supardjo sendiri atau oleh pengetik salinan dokumen ini.

23 Terjemahan Fic atas dokumen ini menyebut jumlah batalyon adalah tigabelas.

Dokumen versi saya jelas-jelas menunjukkan delapanbelas

 Apa Kata Brigadir Jenderal Supardjo Tentang “G30S”(1)

 

suparjo 

Catatan Pengantar

Dokumen ini merupakan bagian dari berkas rekaman persidangan

Mahmilub untuk Supardjo pada 1967. Petugas-petugas militer memperoleh

salinan dari dokumen asli mungkin ketika mereka menangkap

Supardjo pada Januari 1967 atau ketika mereka menyita dokumendokumen

yang diselundupkan ke dalam penjara. Anggota staf Mahmilub

menyalin dari aslinya dengan mengetik. Satu orang yang membaca

dokumen asli pada akhir 1960-an saat berada di dalam penjara bersama

Supardjo adalah Heru Atmodjo. Ia menegaskan bahwa salinan yang saya

perlihatkan kepadanya sama dengan yang pernah ia baca. Ketika saya

memperlihatkan salinan yang sama kepada salah satu putra Supardjo,

Sugiarto, ia mengenali gaya penulisan ayahnya dan argumen-argumen

yang dikemukakan ayahnya kepada keluarganya secara lisan.

Pengetik di Mahmilub kemungkinan sudah membuat kesalahankesalahan

dalam proses penyalinan. Ia juga mungkin memberi

terjemahan bahasa Indonesia dalam tanda kurung biasa untuk istilah324

LAMPIRAN-LAMPIRAN

istilah Belanda. Semua komentar dalam tanda kurung siku dari saya.

Motto: Dalam kalah terkandung unsur2 menang!

(Falsafah “Satu petjah djadi dua.”)

Kawan pimpinan,

Kami berada di “Gerakan 30 September” selama satu hari

sebelum peristiwa, “pada waktu peristiwa berlangsung” dan “satu hari

setelah peristiwa berlangsung.”1 Dibanding dengan seluruh persiapan,

waktu jang kami alami adalah sangat sedikit. Walaupun jang kami

ketahui adalah hanja pengalaman selama tiga hari sadja, namun adalah

pengalaman saat2 jang sangat menentukan. Saat2 dimana bedil mulai

berbitjara dan persoalan2 militer dapat menentukan kalah menangnja

aksi2 selandjutnja. Dengan ini kami sampaikan beberapa pendapat,

dipandang dari sudut militer tentang kekeliruan2 jang telah dilakukan,

guna melengkapi bahan2 analisa setjara menjeluruh oleh pimpinan

dalam rangka menelaah peristiwa “G-30-S.”2

Tjara menguraikannja mula2 kami utarakan fakta2 peristiwa

jang kami lihat dan alami, kemudian kami sampaikan pendapat kami

atas fakta2 tersebut.

Fakta2 pada malam pertama sebelum aksi dimulai:

  1. Kami djumpai kawan2 kelompok pimpinan militer pada malam

sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang

tidur. Misalnja: kawan Untung tiga hari ber-turut2 mengikuti rapat2

Bung Karno di Senajan dalam tugas pengamanan.3

  1. Waktu laporan2 masuk, tentang pasukan sendiri dari daerah2,

misalnja Bandung, ternjata mereka terpaksa melaporkan siap,

sedangkan keadaan jang sebenarnja belum.

  1. Karena tidak ada uraian jang jelas bagaimana aksi itu akan

dilaksanakan maka terdapat kurang kemufakatan tentang gerakan

itu sendiri dikalangan kawan2 perwira di dalam Angkatan Darat.

Sampai ada seorang kawan perwira jang telah ditetapkan duduk dalam

team pimpinan pada saat jang menentukan menjatakan terang2-an

325

 DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

mengundurkan diri.4

  1. Waktu diteliti kembali ternjata kekuatan jang positip di fi hak kita

hanja satu kompi dari Tjakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul keragu2-

an, tetapi ditutup dengan sembojan “apa boleh buat, kita tidak

bisa mundur lagi.”

  1. Dengan adanja kawan perwira jang mengundurkan diri, maka

terasa adanja prasangka dari team pimpinan terhadap kawan lain di

dalam kelompok itu. Saran2 dan pertanjaan2 dihubungkan dengan

pengertian tidak kemantapan dari si penanja. Misalnja, bila ada jang

menanjakan bagaimana imbangan kekuatan, maka didjawab dengan

nada jang menekan: “ja, Bung, kalau mau revolusi banjak jang

mundur, tetapi kalau sudah menang, banjak jang mau ikut.” Utjapan2

lain: “kita ber-revolusi pung-pung5 kita masih muda, kalau sudah tua

buat apa.”

  1. Atjara persiapan di L.B. [Lubang Buaya] kelihatan sangat padat,

sampai djauh malam masih belum selesai, mengenai penentuan code2

jang berhubungan dengan pelaksanaan aksi. Penentuan dari peleton2

jang harus menghadapi tiap2 sasaran, tidak dilakukan dengan

teliti. Misalnja, terdjadi bahwa sasaran utama mula2 diserahkan

pelaksanaannja kepada peleton dari pemuda2 jang baru sadja

memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara,

tetapi ini pun bukan pasukan jang setjara mental telah dipersiapkan

untuk tugas-tugas chusus.6

Fakta2 pada hari pelaksanaan:

  1. Berita pertama jang masuk bahwa Djenderal Nasution telah

disergap, tetapi lari. Kemudian team pimpinan kelihatan agak bingung

dan tidak memberikan perintah2 selandjutnja.

  1. Menjusul berita bahwa Djenderal Nasution bergabung dengan

Djenderal Suharto dan Djenderal Umar di Kostrad. Setelah menerima

berita ini pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa2.

326

LAMPIRAN-LAMPIRAN

  1. Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Jon Djateng dan Jon

Djatim tidak mendapat makanan, kemudian menjusul berita bahwa

Jon Djatim minta makan ke Kostrad. Pendjagaan RRI ditinggalkan

tanpa adanja instruksi.

  1. Menurut rentjana, kota Djakarta dibagi dalam tiga sektor, Selatan,

Tengah dan sektor Utara. Tetapi waktu sektor2 itu dihubungi, semuasemua

tidak ada di tempat (bersembunji).

  1. Suasana kota mendjadi sepi dan lawan selama 12 djam dalam

keadaan panik.

  1. Djam 19.00 (malam kedua). Djenderal Nasution-Harto dan

Umar membentuk suatu komando. Mereka sudah memperlihatkan

tanda2 untuk tegenaanval [serangan balik] pada esok harinja.

  1. Mendengar berita ini Laksamana Omar Dani mengusulkan

kepada Kw. Untung agar AURI dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan

untuk menghadapi tegenaanval Nato cs (Nasution-Harto).7 Tetapi

tidak didjawab setjara kongkrit. Dalam team pimpinan G-30-S, tidak

memiliki off ensi-geest [semangat menyerang] lagi.8

  1. Kemudian timbul persoalan ketiga. Ja, ini dengan hadirnja Bung

Karno di Lapangan Halim. Bung Karno kemudian melantjarkan

kegiatan sbb:

  1. a) Memberhentikan gerakan pada kedua belah pihak (dengan

keterangan bila perang saudara berkobar, maka jang untung

Nekolim).

  1. b) Memanggil Kabinet dan Menteri2 Angkatan.9 Nasution-

Harto dan Umar menolak panggilan tersebut. Djenderal Pranoto

dilarang oleh Nasution untuk memenuhi panggilan Bung

Karno.10

  1. c) Menetapkan caretaker bagi pimpinan A.D.

327

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

Hari kedua:

  1. Kawan2 pimpinan dari “G-30-S” kumpul di L.B. Kesatuan

RPKAD mulai masuk menjerang, keadaan mulai “wanordelik

[wanordelijk] (katjau). Pasukan2 pemuda belum biasa menghadapi

praktek perang jang sesungguhnja. Pada moment jang gawat itu, sadja

mengusulkan agar semua pimpinan sadja pegang nanti bila situasi

telah bisa diatasi, sadja akan kembalikan lagi. Tidak ada djawaban jang

kongkrit.

  1. Kemudian diadakan rapat, diputuskan untuk memberhentikan

perlawanan masing2 bubar, kembali ke rumahnja, sambil menunggu

situasi. Bataljon Djateng dan sisa Bataljon Djatim jang masih ada akan

diusahakan untuk kembali ke daerah asalnja.

  1. Hari itu djuga keluar perintah dari Bung Karno agar pasukan

berada di tempatnja masing2 dan akan diadakan perundingan. Tetapi

fi hak Nato tidak menghiraukan dan menggunakan kesempatan itu

untuk terus mengobrak-abrik pasukan kita dan bahkan P.K.I.

Demikianlah fakta2 jang kami saksikan sendiri dan dari fakta2

ini tiap2 orang akan dapat menarik peladjaran atau kesimpulan jang

berbeda-beda.

Adapun kesimpulan jang dapat kami tarik adalah sbb:

  1. Keletihan dari kawan2 team pimpinan jang memimpin aksi di

bidang militer sangat mempengaruhi semangat operasi, keletihan ini

mempengaruhi kegiatan2 pengomandoan pada saat2 jang terpenting

di mana dibutuhkan keputusan2 jang tjepat dan menentukan dari

padanja.

  1. Waktu info2 masuk dari daerah2, sebetulnja daerah belum dalam

keadaan siap sedia. Hal ini terbukti kemudian bahwa masih banjak

penghubung2 belum sampai di daerah2 jang ditudju dan peristiwa

sudah meletus (kurir jang ke Palembang baru sampai di Tandjung

Karang). Di Bandung siap sepenuhnja tapi untuk tidak repot2

menghadapi pertanjaan2 didjawab sadja “sudah beres.”

328

LAMPIRAN-LAMPIRAN

  1. Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat

hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian

bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak

djelas. Dan apa rentjananja bila ada tegenaanval, misalnja dari

Bandung, bahkan tjukup dengan djawaban: “sudah, djangan pikir2

mundur!” Menurut lazimnja dalam operasi2 militer, maka kita sudah

memikirkan pengunduran waktu kita madju dan menang, dan sudah

memikirkan gerakan madju menjerang waktu kita dipukul mundur.

Hal demikian, maksud kami persoalan mundur dalam peperangan

bukanlah persoalan hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap

peperangan atau kampanje. Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu

bentuk dalam peperangan jang dapat berubah menjadi penjerangan

dari kemenangan. Membubarkan pasukan adalah menjerah kalah.

Hal ini pula jang menjebabkan beberapa kawan militer

mengundurkan diri, selain kawan tsb di hinggapi unsur ragu2,

tetapi bisa ditutup bila ada rentjana jang djelas dan mejakinkan atas

djalannja kemenangan.

  1. Waktu dihitung2 kembali kekuatan jang bisa diandalkan hanja satu

kompi dari Tjakrabirawa, satu bataljon diperkirakan dari Djateng

dapat digunakan dan satu bataljon dari Djatim bisa digunakan

sebagai fi guran. Ditambah lagi dengan seribu lima ratus pemuda jang

dipersendjatai. Waktu diajukan pendapat, apakah kekuatan jang ada

dapat mengimbangi, maka djawaban dengan nada menekan, bahwa

bila mau revolusi sedikit jang turut, tetapi kalau revolusi berhasil

tjoba lihat nanti banjak jang turut. Ada pula pendjelasan jang sifatnja

bukan tehnis, misalnja, “kita masih muda, kalau sudah tua, bakal

apa revolusi.” Kembali lagi mengenai masalah kekuatan kita, tjukup

mempunjai kekuatan di Angkatan Darat jang tjukup tangguh.

Dipandang dari segi tehnis militer, maka serangan pokok, dimana

komandan operasi tertinggi sendiri memimpin, harus memusatkan

kekuatannja pada sasaran jang menentukan. Saja berpendapat bahwa

strategi kawan pimpinan adalah strategi “menjumet sumbu petasan”

di Ibu kota, dan diharapkan mertjonnja akan meledak dengan

sendirinja, jang berupa pemberontakan Rakjat dan perlawanan di

daerah2 setelah mendengar isjarat tersebut. Disini terdapat sesuatu

329

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

kekeliruan: pertama: Tidak memusatkan induk kekuatan pada sasaran

pokok. Kedua: Tidak bekerdja dengan perhitungan kekuatan jang

sudah kongkrit.

  1. Kami dan kawan2 di Staf melakukan kesalahan sebagai

berikut: Menilai kemampuan kawan pimpinan operasi terlalu tinggi.

Meskipun fakta2 njata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan

pasti mempunjai perhitungan jang ulung, jang akan dikeluarkan

pada waktunja. Sesuatu keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti,

sebab pimpinan operasi selalu bersembojan “Sudah kita mulai sadja,

dan selandjutnja nanti djalan sendiri.” Kami sendiri mempunjai

kejakinan akan hal ini, karena terbukti operasi2 jang dipimpin oleh

partai sekawan, seperti kawan Mao Tzetung jang dimulai dengan satu

regu, kemudian kita menumbangkan kekuatan Tjiang Kai Sek jang

djumlahnja ratusan ribu. Setelah peristiwa jang pahit ini, maka kita

sekalian perlu kritis dan bekerdja dengan perhitungan2 jang kongkrit.

Apa jang kami lihat di Lobang Buaja, sebetulnja taraf mempersiapkan

diri sadja belum selesai. Pada malam terachir bematjam2 hal jang

penting belum terselesaikan, umpama: Pasukan jang seharusnja

datang, belum djuga hadir (dari AURI). Ketentuan atau petundjuk2

masih dipersiapkan. Peluru2 di peti2 belum dibuka dan dibagikan.

Dalam hal ini kelihatan tidak ada pembagian pekerdjaan, semua

tergantung dari Pak Djojo.11 Kalau Pak Djojo belum datang,

semua belum berdjalan. Dan kalau Pak Djojo datang, waktu sudah

mendesak.

Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan

diri, kelompok pimpinan mendjadi terperandjat, kehilangan akal

dan tidak berbuat apa2. Meskipun ada advis untuk segera melakukan

off ensip lagi, hanja didjawab: “Ja”, tetapi tidak ada pelaksanaannja.

Selama 12 djam, djadi satu siang penuh, musuh dalam keadaan panik.

Tentara2 dikota diliputi suasana tanda tanja, dan tidak sedikit jang

kebingungan. (Waktu ini kami di istana, djadi melihat sendiri keadaan

di kota.)

Disini kami mentjatat suatu kesalahan jang fundamentil jang

pernah terdjadi dalam suatu operasi (kampanje), jani: “Tidak uitbuiten

[memanfaatkan] sesuatu sukses” (prosedur biasa dalam melaksanakan

330

LAMPIRAN-LAMPIRAN

prinsip2 pertempuran jang harus dilakukan oleh tiap2 komandan

pertempuran). Prinsip tersebut diatas, sebetulnja bersumber dari

adjaran Marx jang mengatakan: “Bahwa setelah terdjadi suatu

pemberontakan, tidak boleh ada sesaat pun dimana serangan terhenti.

Ini berarti bahwa massa jang turut dalam pemberontakan dan

mengalahkan musuh dengan mendadak, tidak boleh memberikan

suatu kesempatan pun kepada kelas jang berkuasa untuk mengatur

kembali kekuasaan politiknja. Mereka harus menggunakan saat jang

itu sepenuhnja, untuk mengachiri kekuasaan rezim dalam negeri.”12

Kami berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena

staf pimpinan dibagi 3 sjaf: a) Kelompok Ketua, b) Kelompok Sjam

cs, c) Kelompok Untung cs. Seharusnja operasi berada di satu tangan.

Karena jang menondjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka

sebaiknja komando pertempuran diserahkan sadja kepada kawan

Untung dan kawan Sjam bertindak sebagai Komisaris politik. Atau

sebaliknja, kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnja.

Dengan sistim komando dibagi ber-syaf2, maka ternjata pula terlalu

banjak diskusi2 jang memakan waktu sangat lama sedangkan pada

moment tsb. dibutuhkan pengambilan keputusan jang tjepat, karena

persoalan setiap menit ber-ganti2, susul-menjusul dan tiap2 taraf

persoalan harus satu persatu setjepat mungkin ditanggulangi.

[tidak ada poin enam]

  1. Setiap penjelenggaraan perang, seharusnja djauh sebelumnja

mempunjai “Picture of the Battle” (Gambaran Perang). Apa jang

mungkin terdjadi setelah peristiwa penjergapan, bagaimana situasi

lawan pada setiap saat dan setiap taraf pertempuran, bagaimana situasi

pasukan sendiri, bagaimana situasi pasukan di Djakarta, bagaimana

situasi di Bandung (ingat pusat Siliwangi13), bagaimana situasi di

Djateng dan Djatim, dan bagaimana situasi diseluruh pelosok tanah

air (dapat diikuti via radio). Dengan berbuat demikian, maka kita bisa

melihat posisi taktis di Djakarta dalam hubungannja dengan strategi

jang luas. Dan sebaliknja, perhubungan strategi jang menguntungkan

atau merugikan dapat tjepat2 kita mengubah taktik kita di medan

pertempuran.

331

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

Pada waktu musuh panik seharusnja tidak usah diberi waktu.

Kita harus masuk menjempurnakan kemenangan kita. Dalam keadaan

demikian musuh dalam keadaan serba salah dan kita dalam keadaan

serba benar. Satu bataljon jang panik akan dapat dikuasai oleh hanja

kekuatan satu regu sadja. Tetapi hal jang menguntungkan ini tidak

kita manfaatkan. Bahkan kita berlaku sebaliknja:

1) Komandan Sektor (Selatan/Tengah/Utara) dalam keadaan

dimana kita sedang djaya, malah pada menghilang. Mereka

bertugas di antaranja mengurus soal2 administrasi, terhadap

pasukan jang beroperasi dan berada di masing2 sektornja.

Tetapi semua sektor seperti jang telah ditetapkan, hanja tinggal

di atas kertas sadja. Dari sini kita menarik peladjaran dengan

tidak adanja kontak antara satu sama lain (faktor verbindingkomunikasi),

maka masing2 mendjadi terdjerumus dalam

kedudukan terasing, sehingga buta situasi dan menimbulkan

ketakutan.

2) Siaran radio RRI jang telah kita kuasai tidak kita manfaatkan.

Sepandjang hari hanja dipergunakan untuk membatjakan

beberapa pengumuman sadja. Radio stasion adalah alat

penghubung (mass media). Seharusnja digunakan semaksimal

mungkin oleh barisan Agitasi Propaganda. Bila dilakukan,

keampuhannja dapat disamakan dengan puluhan Divisi tentara.

(Dalam hal ini lawan telah sukses dalam perang radio dan pers.)

3). Pada djam2 pertama Nato cs menjusun komando kembali.

Posisi jang sedemikian ialah posisi jang sangat lemah. Saat itu

seharusnja pimpinan operasi musuh disergap tanpa chawatir

resiko apa2 bagi pasukan kita.

  1. Semua kematjetan gerakan pasukan disebabkan diantaranja tidak

makan. Mereka tidak makan semendjak pagi, siang dan malam,

hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk

dikerahkan menjerbu kedalam kota. Pada waktu itu Bataljon Djateng

berada di Halim. Bataljon dari Djatim sudah ditarik ke Kostrad

332

LAMPIRAN-LAMPIRAN

dengan alasan makanan. Sebetulnja ada 2 djalan jang bisa ditempuh,

pertama: Komandan Bataljon diberi wewenang untuk merektuir

makanan di tempat2 dimana ia berada. Hubungan dengan penduduk

atau mengambil inisiatip membuka gudang2 makanan, separo bisa

dimakan dan selebihnja diberikan kepada Rakjat jang membantu

memasaknja. Dengan demikian ada timbal balik dan tjukup simpatik

dan dapat dipertanggung djawabkan. Djalan kedua: Organisasi sektor

seharusnja menjelenggarakan hal tsb.

  1. Setelah menerima berita bahwa Djenderal Harto menjiapkan

tegenaanval dan Laksamana Omar Dani menawarkan integrasi untuk

melawan pada waktu itu, harus disambut baik. Dengan menerima

itu maka seluruh kekuatan AURI di seluruh tanah air, akan turut

serta. Tetapi karena tidak ada kepertjajaan, bahwa kemenangan

harus ditempuh dengan darah, maka tawaran jang sedemikian

pentingnja tidak mendapat djawaban jang positip. Pak Omar Dani

telah bertindak begitu djauh sehingga telah memerintahkan untuk

memasang roket2 pada pesawat.

  1. Faktor2 lain jang menjebabkan kematjetan, terletak pada tiada

pembagian kerdja. Bila kita ikuti sadja prosedur staf jang lazim

digunakan pada tiap2 kesatuan militer, maka semua kesimpang siuran

dapat diatasi. Seharusnja dilakukan tjara bekerdja sbb: Pertama,

perlu ditentukan siapa komandan jang langsung memimpin aksi

(kampanje). Kawan Sjam-kah atau kawan Untung. Kemudian

pembantu2nja atau stafnja dibagi. Seorang ditunjuk bertanggung

djawab terhadap pekerdjaan intel (penjelidikan/informasi). Jang

kedua, ditundjuk dan bertanggung djawab terhadap persoalan

situasi pasukan lawan maupun pasukan sendiri. Dimana, bagaimana

bergeraknja pasukan lawan, bila demikian, apakah advisnja tentang

pasukan sendiri kepada komandan. Kawan jang ketiga ditundjuk

untuk bertanggung djawab terhadap segala sesuatu jang berhubungan

dengan perorangan (personil). Apakah ada jang luka atau gugur,

apakah ada pasukan jang absen, apakah ada anggauta jang morilnja

merosot. Djuga personil lawan mendjadi persoalannja umpama:

soal tawanan, pemeliharaanja, pengamannja dan dsb. Kemudian

333

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO

kepada kawan jang keempat, ditugaskan untuk memikirkan hal2

jang ada sangkut pautnja dan logistik, pembagian sendjata dan

munisi, pakaian, makanan, kendaraan dsb. Karena menang kalahnja

pertempuran pada dewasa ini tergantung djuga pada peranan bantuan

Rakjat, maka ditundjuk kawan jang kelima, untuk tugas seperti

tersebut di atas. Djadi singkatnja, komandan dibantu oleh staf-1,

staf-2, staf-3, staf-4, staf-5. Komandan, bila terlalu sibuk, ia bisa

menundjuk seorang wakilnja. Selandjutnja tjara bekerdjanja staf, saja

rasa tidak ada bedanja dengan prinsip2 pekerdjaan partai, berlaku

djuga prinsip sentralisme demokrasi. Staf memberikan pandangan2-

nja dan komandan mendengarkan, mengolahnja di dalam fi kiran dan

kemudian menentukan. Berdasarkan keputusan ini staf memberikan

directive [perintah] untuk melaksana oleh echelon2 bawahan. Dengan

tjara demikian maka seorang komandan terhindar dari pemikiran

jang subjektif. Tetapi djuga terhindar dari suasana jang liberal. Apa

jang terdjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi jang

langdradig (tak berudjungpangkal), sehingga kita bingung melihatnja,

siapa sebetulnja komandan: kawan Sjamkah, kawan Untungkah,

kawan Latifkah atau Pak Djojo? Mengenai hal ini perlu ada

penindjauan jang lebih mendalam karena letak kegagalan kampanje

di ibu kota sebagian besar karena tidak ada pembagian komandan dan

kerdja jang wajar.

  1. Adalah hal jang remeh, tetapi hal ini perlu mendapat

perhatian. Umpamanja, tjara2 diskusi terutama jang banjak

dilakukan oleh kawan Latif. Tidak mendahulukan soal2 jang lebih

pokok untuk dipetjahkan terlebih dahulu. Soal2 jang masih bisa

ditunda dibitjarakan kemudian. Di waktu mulut meriam diarahkan

kepada kita, maka jang urgen adalah bagaimana tindakan kita untuk

membungkam meriam tsb, bukan membitjarakan soal2 lain jang

sebetulnja bisa dibitjarakan kemudian.

  1. Dengan kehadirannja Bung Karno di Halim, maka persoalan

telah mendjadi lain. Pada waktu itu, kita harus tjepat dalam silat

politik. Harus tjepat menentukan titik berat strategi kita. Apakah kita

berdjalan sendiri, apakah kita berdjalan dengan Bung Karno. Kalau

334

LAMPIRAN-LAMPIRAN

kita merasa mampu, segera tentukan garis djalan sendiri. Kalau kita

menurut perhitungan, tidak mampu untuk memenangkan revolusi

sendirian, maka harus tjepat pula merangkul Bung Karno, untuk

bersama2 menghantjurkan kekuatan lawan. Menurut pendapat saya

pada saat2 itu situasi telah berubah dengan keterangan sbb:

1) Bung Karno: a. Memanggil kabinet dan para Menteri Angkatan.

  1. Mengeluarkan surat perintah, kedua fi hak agar

tidak bertempur.

  1. Memegang sementara pimpinan A.D. dan

menundjuk seorang caretaker untuk pekerjaan intern

A.D.

2) Omar Dani: Tidak mau kalau harus berhadapan dengan Bung

Karno, dan sarannja supaya bersama-sama dengan

Bung Karno melanjutkan revolusi.

3) Ibrahim Adji: Mengeluarkan pernjataan, bila terdjadi apa2 terhadap

Bung Karno, maka Siliwangi akan bergerak ke

Djakarta.

4) M. Sabur: Menilpun RPKAD untuk siap sewaktu2 Bung Karno

dalam bahaya.

5) NATO cs: Menolak panggilan Bung Karno untuk hadir di

Halim.

6) G-30-S: Kawan Sjam tetap revolusi harus djalan sendiri tanpa

Bung Karno. Keadaan Jon Djateng sudah letih dan

belum selesai memetjahkan soal bagaimana makan.

Keadaan pimpinan dalam keadaan bimbang.

7) “Daerah”: Baru Nusatenggara jang memberikan reaksi, Bandung

sepi, Djateng sepi, djuga Djatim sepi.

Massa di Djakarta sepi. Daerah2 di seluruh kepulauan

Indonesia, pada waktu itu tidak terdengar tjetusan2

imbangan.

bersambung…………….

INDONESIA ADALAH NEGARA PANCASILA

psila

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam, meski bukan negara sekuler. Kalimat ini, bagi kelompok Islam seperti di atas, mungkin masih dirasa ambigu dan memang bagi mereka yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa, kalimat diatas akan terdengar absurd. Akan tetapi, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara mereka. Sebab, kalimat di atas merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan (yang sebelumnya amat sulit dicapai) diantara para founding fathers pendiri negara ini. Kesulitan ini mengingatkan kita pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokuristu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerintah kolonial Jepang berdebat tentang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kita.

Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diketuai Radjiman Wedyodiningrat, dan antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pertamanya. Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, batas negara, dasar negara dan hal lain terkait pembentukan konstitusi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan tentang hal-hal itu berjalan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas.

Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua.
uud
Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan. Adapun dua azaz lagi yang terakhir menurut Sukarno yakni kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kesejahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Ini adalah bagian dari usul Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Urutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang trisila ini bahkan bisa diperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.

Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).

Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diatas telah mempersulit kata mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei – 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanjutkan dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya sebuah kompromi politik sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Dalam modus vivendi itu, disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Hal ini merupakan jalan tengah antara konsep negara sekuler dan negara Islam.

Jika mencermati isi Piagam Jakarta maka negara Indonesia akan dibentuk sesuai isi pancasila seperti yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta ternyata masih mengundang protes, terutama dari Latuharhay, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat. Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat untuk kembali kepada kesepakatan bersama sesuai hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945.

Selanjutnya pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cita menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, “duri dalam daging” dalam UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1 (ketuhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menjadi jelas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo, 2 Tokoh Muslim yang menonjol, menghapus 7 kata itu. Dalam hal itu, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan ajaran Islam tentang tawhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila seperti itu dianggap netral, karena meski telah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saat-saat kritis seperti diatas cukup jelas, yakni bahwa setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi dasar yang telah disepakati.

tokoh

Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia.

Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistim yang telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum Muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/ mitsaq al-madinah) pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Jadi, segera setelah Nabi SAW tiba di Yastrib (Madinah) pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang disebut sebagai Piagam Madinah.

Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.

Di dalam Piagam Madinah, salah satunya, dinyatakan tentang hak kewarganegaraan dan partisipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku juga diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam itu Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa atau umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Memang, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa pengkhianatan Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-oran Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-daerah luar Arabia, dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebjiaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.

Bunyi dan spirit Piagam Madinah itu, yang menurut Cak Nur merupakan salah satu sumber etika politik Islam, sangatlah menarik untuk dikaji kembali dalam konteks pandangan etika politik modern. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan kenegaraan modernpun mengagumkan. Dalam Piagam itulah dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan sebagainya. Akan tetapi, juga ditegaskan suatu kewajiban umum, yakni partisipasi dalam upaya pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar. Menurut Cak Nur, gagasan pokok eksperimen politik di Madinah ini ialah, adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah, bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama, Jadi, bukan oleh prinsip-prinsip yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang telah dilembagakan didalam dokumen kesepakatan dari semua anggota masyarakat, yang dalam zaman modern ini disebut konstitusi kenegaraan seperti Undang-Undang dasar (UUD).

Sebanding dengan kaum Muslim Indonesia dalam menerima Pancasila dan UUD 1945, menurut Cak Nur, orang-orang Muslim pimpinan Nabi SAW itu menerima Konstitusi Madinah adalah juga atas pertimbangan nilai-nilainya yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan fungsinya sebagai kesepakatan antar golongan untuk membangun tatanan kehidupan sosial-politik bersama. Demikian pula, sama halnya dengan umat Islam Indonesia yang tidak memandang Pancasila dan UUD 1945 itu sebagai alternatif terhadap agama Islam, Nabi SAW dan pengikut beliau itupun tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa konstitusi Madinah itu menjadi alternatif bagi agama baru mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas, Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa, sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dari sudut pandang itu pula kita harus menilai kesungguhan para founding fathers dan para tokoh Islam yang selalu menegaskan bahwa antara Islam serta kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari kalangan Muslim, menurut Cak Nur, tidak harus selalu dilihat dalam kerangka hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmatis. Misalnya, dipertimbangkan bahwa kesulitan serius datang dari kalangan Islam karena memang sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulitan yang sama atau sebanding juga datang dari kalangan non-Muslim. Menurut Cak Nur, kecenderungan untuk secara gampang mencari keterangan atas suatu kesulitan sosial-politik yang datang dari suatu kelompok dengan stereotipikal mengkaitkannya kepada hal-hal yang prinsipiil seperti Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin juga hal itu dilakukan karena mengharap keuntungan sosial-politik dengan mudah, akan tetapi, dengan akibat bahwa kerusakan negara menjadi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya tidak terselesaikan.

PROBLEM MORAL/ETIKA

Dari uraian diatas, Cak Nur dalam konteks Indonesia mencoba menganalogkan Pancasila dengan Piagam Madinah. Keduanya, oleh Cak Nur, dianggap sama-sama sebagai suatu common platform antar berbagai macam kelompok masyarakat dan agama. Meskipun Pancasila itu sebagai common platform negara ini mungkin baru mantap pada tingkat formal-konstitusional, tetapi peragian yang diperoleh dari beberapa sumber, termasuk sumber Islam, akan memperkaya proses pengisian Pancasila tersebut, terutama terkait prinsip moral/etikanya.

Ada sumber-sumber pandangan etis yang meluas dan dominan, yang secara sangat potensial bisa menjadi ragi bagi pandangan etis bangsa secara keseluruhan dan yang bisa dijadikan bahan pengisian wadah moral/etika Pancasila. Pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling baiknya dan penampakan paling dinamisnya ialah bangsa Indonesia, Kedua, etika kemodernan yang merupakan akibat langsung dari keberadaan kita diabad modern, dan Ketiga, etika Islam yang sebagai anutan rakyat Indonesia merupakan agama paling luas menyebar diseluruh tanah air, dan yang peranannya diakui para ahli sebagai perata jalan untuk tumbuhnya paham-paham maju dan modern dikalangan rakyat Indonesia, khususnya dalam bentuk paham persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta penghargaan kepada adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau hukum dan weltanschauung-nya.

Moral/etika sosial-politik yang terdapat didalam Pancasila, secara teoritis, sesungguhnya sudah benar-benar menjadi hasil peragian dari ketiga etika yang dimaksud diatas. Sila kesatu: Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus dan otentik. Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia harus menegakkan keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Sila ketiga: Persatuan Indonesia, bisa dijadikan sebagai pembimbing bangsa Indonesia dalam kebhinekaan (pluralitas) yang kaya dalam mozaik budaya yang beragam. Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Dan sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi ancangan yang akan dituju bangsa ini dengan pengamalan keempat sila sebelumnya.

Namun demikian, ditingkat praktis, realitas perjalanan bangsa menunjukkan bahwa yang terjadi justru kebalikan dari apa yang telah digariskan Pancasila. Beragam tragedi muncul bukan hanya dalam bentuk pengkhianatan sebagian orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain, tetapi hal lain seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), juga laku yang beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, merusak milik negara sekalipun dengan meneriakkan Allah Akbar semuanya bertentangan dengan sila kesatu dan kedua. Adalagi tragedi yang terjadi selama sekian dasawarsa, berupa politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistim sosial budaya local secara paksa melalui undang-undang, dan ini merupakan bentuk pengkhiatan konstitusional yang bertentangan dengan sila ketiga. Sementara itu perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi juga tampaknya semakin jauh dari roh Pancasila sila keempat Sementara prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dikatakan telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Rakyat dari masa ke masa justru semakin tidak merasakan keadilan, tetapi penindasan.

Hal di atas secara langsung sebenarnya mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi persoalan serius, yang salah satunya adalah dalam hal penegakkan moral/etika/akhlak. Disinilah sebenarnya umat Islam seharusnya dapat memberikan sumbangannya secara maksimal. Misalnya, kaum Muslim perlu menyadari betul bahwa kesalehan seseorang tidak hanya dalam bentuk kesalehan ritual saja, tetapi juga kesalehan sosial. Tentu saja adalah ironi besar, bahwa bangsa yang mayoritas Muslim ini sering disinyalir sebagai bangsa yang berbudaya korupsi, kolusi dan nepotisme tingkat tinggi, dan juga bangsa yang masyarakatnya anarkhis karena mengedepankan cara-cara kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah dan konflik.

Oleh karena itu, masalah sesungguhnya dalam implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, salah satunya, adalah masalah moralitas/etika/akhlak terutama yang menyangkut ketulusan, dan itu terjadi ketika nilai-nilai dasar Pancasila hanya dijadikan retorika sosial-politik yang kosong dan menipu saja oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jadi yang kita perlukan sesunguhnya adalah fokus terhadap hal tersebut, dan bukan malah memperdebatkannya secara teoretikal atau bahkan menggantinya dengan meng-impor ideologi baru dari negara lain.

Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu (kalimatun sawa) tentang ideologi yang disepakati bersama. Sebagai eklektisitas negara sekuler dan negara Islam, Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ke-tawhid-an dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dan tentu saja nilai-nilai dasar Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan dibenarkan di dalam ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin (rahmat seluruh alam), dan bukan rahmatan lil-muslimin (rahmat kaum Muslim saja) saja yang eksklusif atau bahkan Cuma rahmatan lil-madzhabiyyin (rahmat pengikut madzhab tertentu dalam Islam) yang lebih eksklusif lagi.

CATATAN KAKI
1. Makalah untuk Nurcholish Madjid Memorial Lectures dengan tema “Menggagas Islam Peradaban” di UNTIRTA, Serang, 27 November 2006, kerja sama UNTIRTA Serang dengan PSIK Universitas Paramadina, Jakarta.
2. Suratno, adalah dosen Departemen Falsafah dan Agama, serta peneliti PSIK, Universitas Paramadina, Jakarta. Ia juga adalah dosen STAI-NU dan wakil direktur LP3M, Jakarta.
3. Anggota BPUPKI pada mulanya berjumlah 62 orang, tapi kemudian ditambah 6 lagi menjadi 68 orang. Menurut Prawoto Mangkusasmito, dari 68 orang tersebut 15 merupakan tokoh-tokoh Islam. Diantara mereka antara lain yakni: A Sanusi (PUI), Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Wachid Hasjim, Masjkur (NU), Sukiman Wirosandjojo (PII sebelum perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), Abdul Halim (PUI). Sementara, tokoh-tokoh nasionalis antara lain: Radjiman Wedyodiningrat, Sukarno, M Hatta, Supomo, Muhamad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, Suroso, Buntaran Martoatmodjo dll. Lihat A Syafii Maarif, 2002, Islam dan Pancasila Dasar negara, Jakarta: LP3ES, hal. 102-110.
4. Nurainun Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat http://www.kedaulatan-rakyat.com

tokoh2

5. Ke-9 orang dalam Panitia Kecil tersebut yakni mewakili golongan nasionalis adalah Sukarno, M. Hatta, AA Maramis, Ahmad Subardjo dan Muhamad Yamin. Sementara yang mewakili golongan Islamis adalah Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan Wahid Hasjim. Dengan demikian komposisi kekuatan antara golongan nasionalis dan Islamis dalam panitia ini adalah 5:4
6. Lihat Nurcholish Madjid, 2003, Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia
7. Piagam Madinah ini telah didokumentasikan para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152H), dan Muhammad Ibn Hisyam (w. 218H). Lihat Nurcholish Madjid, 1991, Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991, hal. 11-15
8. Para sarjana Barat dan Muslim sepakat bahwa piagam ini adalah otentik. Menurut Julius Wellhausen, ada 4 alasan yang mendasari otentisitas piagam itu yakni: (1) Grammar dan kosa kata yang dipakai sangat archaic, (2) Teks perjanjian itu penuh dengan alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman, (3) Teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku kuno, jauh sebelum Islam hadir, dan (4) Jika ada pemalsuan terhadap perjanjian itu, tentu ia akan merefleksikan fenomena masa Islam, misal, non-Muslim pasti tidak masuk dalam kategori umma wahida. Selain otentik, ada 3 hal yang perlu dicermati dari Piagam tersebut yakni: (1) Dalam piagam itu tidak ada kata-kata nation of Islam atau negara Islam. Ini adalah perjanjian antara orang Islam dan non-Muslim untuk membangun suatu tatanan hidup bersama. (2) Dalam piagam itu, kaum non-Muslim masuk dalam kategori umma wahida. Anehnya, dalam perkembangan selanjutnya Piagam ini kemudian semata-mata dianggap sebagai dasar pembentukan negara Islam dan terjadi penyempitan makna umma wahida menjadi hanya mencakup umat Islam artinya makna kata itu menjadi eksklusif dan mengeluarkan umat agama lain dari kandungan makna katanya. (3) Para sejarahwan tidak pernah sepakat, apakah Piagam Madinah merupakan perjanjian sepihak yang dibuat Nabi SAW dan orang lain diminta menyetujuinya (a unilateral edict) atau piagam itu mengalami proses perdebatan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a negotiated settlement). Untuk masalah ini, jika proses terjadinya piagam itu hanya hasil dari penyodoran Nabi kepada umat lain untuk disetujui, sebetulnya tidak ada equality dari pihak-pihak yang terlibat dan ini kontradiksi dengan isi piagam itu sendiri. Sementara, jika Nabi membuat piagam itu dengan melakukan perbincangan dan perdebatan dengan berbagai pihak yang terlibat, apa yang sekarang disebut sebagai demokrasi sebenarnya telah dijalankan Nabi. Lihat Najib Burhani, 2004, Piagam Jakarta dan Piagam Madinah, dalam harian KOMPAS, edisi 30 November 2004.
9. Bila kita memahami Piagam Madinah sebagai a negotiated settlement, maka konteks yang sama bisa kita lihat dari penghilangan 7 kata sila 1 Piagam Jakarta menjadi Pancasila versi yang ada sekarang, dan penghilangan itu adalah bagian dari demokrasi.
10. Suratno, 2006, Kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, dalam Jurnal Universitas Paramadina , Vol 4, No. 3, Agustus 2006, hal. 332
11. Budhy Munawar-Rahman, 1999, Kata pengantar, dalam Nurcholish Madjid, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,. hal xxi-xxii
12. Nurcholish Madjid, 1999, op.cit.
13. Nurcholish Madjid, Mohamad Roem, 1997, Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Penerbit Djambatan, hal.75
14. A Syafii Maarif, 2006, Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.

KEKERASAN TEOLOGIS YANG MENGGEJALA (2)

AKU DAN KAMU DALAM POLITIK IDENTITAS MANUSIA

demo3

Dalam perspektif filosofis, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia ke dalam: “aku dan kamu”, dan lebih jauh lagi ke dalam “kita dan mereka”. Indentifikasi inilah yang selanjutnya menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Pelaku kekerasan biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya, karena sebagai “sesama” manusia mereka lebih menonjolkan ke-aku-annya dan ke-kita-annya. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena menurut Simmel (1995) manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yakni proses pengenalan manusia. Proses meng-kamu-kan dan me-mereka-kan adalah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama. Kamu dan Mereka dianggap asing, bukan hanya sekedar sebagai penduduk, warga negara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih dari itu asing sebagai manusia. Dengan kata lain, korban kekerasan didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sampai pada status obyeknya. Ketika status obyek manusia lain didehumanisasikan dan dipersonalisasikan, menjadi sangat mungkin bagi manusia untuk mengkondisikan tindakan kekerasan terhadap Kamu dan Mereka ke dalam struktur pikiran manusia itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus kita jadikan acuan. Pertama, pengenalan manusia atas manusia lain mengandung momen dominasi karena mengenali juga berarti mendefinisikan. Kekerasan akan semakin nyata jika yang didefinisikan itu tak mampu mendefinisikan diri dan tunduk pada dikte instansi di luar dirinya. Kedua, pengenalan manusia atas manusia lain bisa dimulai dengan stereotipikasi bahwa orang lain adalah anu-nya si itu atau itu-nya si anu (dengan melekatkannya pada atribut-atribut di luar diri) dan bukan sebagai pribadi atau individu pada dirinya sendiri (an sich). Stereotipikasi yang netral ini dalam situasi konflik akan menjadi stigmatisasi yang destruktif. Itulah gambaran tentang musuh (feindibild). Dengan demikian melalui perspektif filosofis terhadap kekerasan kita temukan fakta bahwa di dalam rasio kita sudah melekat kemampuan abstraksi yang dalam situasi ancaman menjadi dehumanisasi dan depersonalisasi manusia yang lainnya. Ini juga yang melahirkan ideologi-ideologi dan sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan manusia dalam aku dan kamu, kita dan mereka untuk masuk ke dalam kerangka kawan dan lawan. Dalam dikotomi ini, korban kekerasan juga dipersepsi sebagai ancaman individu ataupun kelompok.
demo2
Dari penjelasan perspektif filosofis terhadap kekerasan seperti di atas, dalam konteks problem kekerasan teologis, menurut saya, kita bisa mencari jalan keluarnya pertama-tama dengan mengembalikan essensi agama itu sendiri. Secara esensial agama memang dianggap mampu memberi jawaban atas pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya ditengah alam semesta yang (terkadang) membingungkan ini. Dari sini agama kemudian berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri dan juga identitas kelompok. Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan individu-individu tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke yang lainnya. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara individu: aku dan kamu, antara kelompok: kita dan mereka, yang memiliki kemungkinan untuk menguat dan mengeras serta melahirkan ekslusivisme ketika muncul konflik antar umat beragama.

Agar terpelihara secara baik, identifikasi aku dan kamu serta kita dan mereka membutuhkan legitimasi terus menerus agar tidak usang. Kaum agamawan fundamentalis biasanya mengembangkan legitmiasi tersebut lewat narasi-narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan dan sebagainya. Narasi besar tersebut, agar semakin kokoh, diperkuat dengan aspek-aspek simbolisme dari ekspresi keagamaan seperti pakaian, makanan, ruang publik, nama-nama dan sebagainya. Inilah yang menambah kuatnya identifikasi diri sebagai aku dan kamu, sebagai kita dan mereka, serta mempertegas perbedaan di antara banyak individu dan kelompok. Dalam situasi konflik yang genting, narasi besar tersebut dapat berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik dan kekerasan; aku, kita dianggap suci dan disucikan, sementara kamu dan mereka dianggap setan dan dilecehkan. Nah, di sinilah agama dengan fungsinya sebagai pemberi identities kelompok dan juga narasi besar agama yang menopangnya kemudian berkembang jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan atas nama agama, yakni legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar, perjuangan suci, melawan kelompok-kelompok lain, kamu dan mereka.
Pemberian legitimasi itu sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui 3 cara yakni: (1) seruan formal kepada tradisi keagamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus dimana penggunaan kekerasan dapat dibenarkan, (2) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan diri atau kelompok lain, kamu yang mengancam aku, dan mereka yang mengancam keselamatan kita dan (3) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan kekerasan, setidaknya dalam situasi tertentu, dapat dibenarkan.

EPISTEMOLOGI KEKERASAN: AKAR INTERNAL DAN EKSTERNAL

Secara epistemologis, akar kekerasan bisa kita lihat sumbernya dalam 2 hal yakni; yang bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri, maupun yang bersumber dari luar diri manusia, sebagai stimulus (rangsangan) terhadap lahirnya tindak kekerasan. Dengan demikian penjelasan tentang epistemologi kekerasan, termasuk kekerasan atas nama agama juga mengandaikan 2 sumber yaitu sumber dari dalam (internal) dan sumber dari luar (eksternal). Di sini kita berhadapan dengan apa yang oleh filsafat disebut sebagai akar-akar epistemologis kekerasan, yaitu kekerasan dari mengakar dari dalam (diri manusia) yang bersifat intsingtif dan dari luar yang bersifat stimulus (rangsangan).

Untuk akar epistemologi kekerasan yang bersifat internal (dari dalam diri manusia dan bersifat instingtif), kita bisa melihat penjelasannya di dalam buku karya Konrad Lorenz (1966) yang berjudul On Agression. Dalam buku tersebut, Lorenz secara brilian menjelaskan bahwa kecenderungan kita terhadap perang nuklir dan kekejaman-kekejaman yang lainnya, bukan disebabkan oleh faktor-faktor biologis diluar kendali kita seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi yang kita ciptakan, melainkan digerakkan oleh naluri (insting) manusia sebagai sumber energi yang selalu mengalir dan harus selalu dialirkan. Jadi, itu semua terjadi tidak selalu merupakan akibat dari reaksi terhadap rangsangan luar. Lorenz berpendapat bahwa energi khusus untuk tindakan naluriah (instingtif) manusia mengumpul secara kontinyu (terus-menerus) dipusat-pusat syaraf yang ada kaitannya dengan pola tindakan yang dilakukan manusia, termasuk tindak kekerasan.

Tindakan kekerasan merupakan ledakan yang terjadi, ketika didalam syaraf tadi sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa adanya rangsangan dari luar. Dengan demikian, menurut Lorenz, tindak agresifitas dan kekerasan manusia pada dasarnya bukanlah reaksi terhadap stimulus (rangsangan) dari luar, melainkan rangsangan dari dalam (internal) yang sudah terpasang dan mencari pelampiasan serta akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil, bahkan tidak ada. Model agresi dan kekerasan manusia yang bersifat naluriah (instingtif ini), seperti halnya model libido Freud, dinamai model hidrolik yang dianalogikan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap di dalam tabung tertutup. Asumsi Lorenz ini secara lebih luas juga telah menjadi dasar kuatnya paham realisme dalam hubungan manusia antar bangsa.

Sementara itu, untuk akar epistemology kekerasan yang bersifat eksternal, berasal dari luar diri manusia, sebagai stimulus (rangsangan) tindak kekerasan, dapat kita lihat pada pandangan sekelompok filsuf yang bertentangan secara diamteris dengan pendapat Lorenz tentang akar kekerasan yang bersifat naluriah (instingtif). Mereka menyatakan bahwa kekerasan merupakan bentuk manifestasi dari stimulus (rangsangan) yang diperoleh manusia dari luar dirinya. Secara umum pandangan ini dianut oleh kaum environmentalis. Menurut pemikiran mereka, tindakan manusia secara eksklusif (termasuk tindak kekerasan) diciptakan oleh faktor-faktor lingkungan yakni oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, jadi bukan oleh faktor-faktor “bawaan” yang bersifat naluriah (instingtif) tadi. Hal ini ada benarnya juga, terutama bila dikaitkan dengan fenomena kekerasan yang merupakan salah satu penghambat kemajuan manusia. Pandangan ini, dalam bentuknya yang radikal, dikemukakan oleh para filsuf era pencerahan. Manusia, menurut para filsuf Pencerahan, di-seyogyakan terlahir “baik” dan bernalar. Sementara itu, yang membuat mereka memiliki tabiat jahat adalah keberadaan institusi, struktur dan realitas di luar diri manusia yang memperlihatkan teladan-teladan buruk.

SOLUSI FILOSOFIS BAGI KEKERASAN TEOLOGIS

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, tentang intergrasi kekerasan teologis, politik identitas manusia, dan epistemologi kekerasan menyangkut akar internal-eksternal, solusi filosofis yang didapat diberikan bagi problem kekerasan teologis adalah:

Pertama, dapat dimulai dengan jalan menanyakan: dalam kondisi psikologis yang bagaimana para aktor agama ini melakukan kekerasan teologis? Jawaban ini diperlukan karena sebagaimana penjelasan tentang kekerasan naluriah (instingtif) yang berasal dari dalam diri manusia, akar internal itu juga bisa menjadi sumber kekerasan. Menurut Muis Naharong (2005) mereka melakukan tindakan kekerasan seperti penyerangan, pembunuhan, bom bunuh diri dan sebagainya dengan mengatasnamakan agama adalah ketika mereka mengalami depresi mental yang parah sekali. Mereka sudah putus asa dalam menghadapi masa depan (versi mereka, sesuai yang mereka cita-citakan) yang sudah buntu akibat keadaan sosial, politik, ekonomi dan faktor lainnya dari masyarakatnya yang sangat tidak menggembirakan bagi mereka.

Kedua, yang juga harus dicari jawabannya adalah pertanyaan tentang hal-hal diluar naluri (insting) manusia yang bisa memberikan stimulus (rangsangan) terhadap manusia untuk melakukan tindakan kekerasan teologis. Dalam studinya baru-baru ini, Scott Assembly menyatakan bahwa menurutnya kekerasan teologis terjadi ketika para pemimpin ekstremis suatu agama tertentu, (dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat), telahberhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk menyuruh orang lain (umatnya) melakukan tindakan kekerasan. Jadi stimulus pertama datang dari faktor pemimpin agama yang dalam kontek masyarakat beragama yang bersifat hirarkhis sangat memegang kendali masyarakatnya. Stimulus kedua (menurut Muis Naharong) , bisa datang ketika tindak kekerasan teologis merupakan akibat, respon dan reaksi yang berlebihan terhadap munculnya ketidakadilan dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik domestik (lokal), meskipun hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Selama ketidakadilan dalam bidang-bidang tersebut tidak dapat dilenyapkan, maka tindakan kekerasan teologispun akan mungkin bermunculan. Stimulus ketiga, menyatakan bahwa kekerasan teologis muncul akibat adanya ketimpangan dan ketidakadilan politik global (internasional). Hal ini bisa dikaitkan pada aksi kekerasan teologis yang dilakukan karena adanya hegemoni dan dominasi serta represi kelompok atau negara tertentu secara tak terkontrol. Hegemoni, dominasi dan represi ini kemudian melahirkan ketidakadilan dan kemiskinan serta memunculkan epistemologi kebencian yang mendalam dikalangan umat beragama. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebencian tersebut kemudian dikait-kaitkan dengan konflik antar agama, terutama apabila kelompok yang menghegemoni, mendominasi dan merepresi berasal dari agama yang berbeda. Atau, kalaupun ternyata berasal dari satu agama yang sama, bisa dikait-kaitkan dengan konflik aliran intra-agama.

Dari kedua hal di atas, pencarian jawaban atas pertanyaan mengenai solusi filosofis kekerasan teologis akan membawa kita, pertama-tama pada penelitian tentang sumber konflik yang bersifat naluriah (instingtif), yang merupakan implementasi dari kondisi psikologis manusia. Ekspersi internal manusia seperti ini harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dan dalam konteks yang luas. Hal ini diperlukan, karena kondisi kejiwaan (psikologis) manusia berbeda-beda dan selalu berubah. Pengenalan terhadap karakter psikologis serta konteks dari keberbedaan dan perubahan psikologis manusia yang mengarah pada tindak kekerasan akan membantu kita mencari solusi praksis penyelesaian kekerasan teologis, terutama yang sumbernya dari alasan psikologis manusia yang bersifat naluriah (instingtif).

Selanjutnya, solusi filosofis kekerasan teologis, terutama yang menyangkut stimulus (rangsangan) dari luar diri manusia bermanfaat dalam rangka menciptakan strategi untuk menentang dan mengatasi segala bentuk ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, dalam suatu lingkungan struktural suatu masyarakat, baik dalam konteks local, domestik (nasional) maupun global (internasional). Dalam hal ini negara dan perangkat birokrasinya, dan organisasi-organisasi politik internasional, berkewajiban untuk menciptakan keseimbangan hidup diantara warga negaranya dan meminimalisir potensi ketidakadilan, mengentaskan kemiskinan dan kebodohan, serta menyelesaikan problem kemsayarakatan lainnya. Dengan campur tangan negara dan organisasi politik internasional, penyelesaian problem kekerasan teologis diharapkan bisa menyentuh akar-akar permasalahannya. Upaya stimulatif ini tentu juga harus dibarengi dengan kesediaan kalangan agamawan untuk mengajak umat beragama kepada militansi anti-kekerasan (non-violence militancy) seperti yang telah dilakukan Gandhi (Hindu), Martin Luther King (Protestan), Dalai Lama (Buddha), Gus Dur (Islam) dan sebagainya. Campur tangan kalangan agamawan akan menjadikan upaya penyelesaian problem kekerasan teologis menjangkau publik umat beragama secara luas. Sementara itu kalangan intelektual diharapkan berkontribusi, terutama pada pencarian alternatif solusi-solusi problem kehidupan manusia dengan basik keilmuan masing-masing. Campur tangan mereka diperlukan agar upaya penyelesaikan problem kekerasan teologis akan bersifat menyeluruh, menjangkau segala bidang kehidupan.

Sumber: AGAMA, KEKERASAN DAN FILSAFAT
(Kekerasan Teologis Dalam Perspektif Filosofis) Oleh: Suratno

KEKERASAN TEOLOGIS YANG MENGGEJALA (1)

demo

Di Indonesia, akhir-akhir ini konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana. Mulai dari kasus Bom Bali, Bom Hotel JW Marriot, Bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung sampai penutupan Rumah Ibadah Kristiani di Bandung Jawa Barat.

Di luar negeri, kekerasan atas nama agama mengambil bentuknya dalam berbagai kejadian seperti orang-orang Yahudi yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis, atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, serta akar-akar konflik (etnis) –agama berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia dan sebagainya.

semo

Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya bersifat rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua) tapi juga bencana, karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan; tetapi manusia saja yang kemudian menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan kita.

Pertanyaan selanjutnya adalah; mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya (dengan) mengatasnamakan agama? Dan bagaimana penjelasan filosofis terhadap fenomena tersebut? Tulisan ini, secara umum, memang ditujukkan untuk menjawab pertanyaan krusial tersebut. Dalam tulisan ini, yang akan dibicarakan adalah kekerasan dengan mengatas namakan agama. Bentuk kekerasan inilah yang kita kenal sebagai kekerasan teologis, yaitu menggunakan dalih dan dalil agama untuk melegitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar dan perjuangan suci melawan kelompok-kelompok lain.

Relasi agama yang tidak hanya dengan perdamaian, tetapi juga kekerasan sangatlah sulit untuk kita tolak manakala kita menyaksikan bahwa agama seringkali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama. Menurut Haryatmoko (2000) setidaknya ada 3 alasan mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindak kekerasan. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. Lebih jauh fungsi perekat ini, disisi lain juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidak adilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan. Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga. Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama. Padahal orang tahu, di dunia apalagi dunia ketiga, ekonomi pasar sangat akomodatif terhadap rezim anti-demokrasi, yakni represif terhadap gerakan kesetaraan dan biang dari kekerasan struktural. Dengan demikian potensi agama untuk diikut sertakan dalam tindak kekerasan sebagai ‘landasan dan legitimasi’ menjadi sangat memungkinkan.

FUNDAMENTALIS AGAMA, FUNDAMENTALIS SEKULER DAN TEROR SUCI

Akar kekerasan teologis, secara teoritis, sesungguhnya bisa kita lihat muaranya pada 2 hal utama yakni; (1) bagaimana peran agama dan, (2) bagaimana keterikatan pemeluknya terhadap agamanya masing-masing. Mengenai peran agama, sebenarnya terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni; (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka, selain bahwa eksistensi agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual belaka; karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.

Selain masalah fanatisme dan toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya untuk memiliki keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan penghayatan tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama mereka. Dalam situasi tertentu, tuntutan keterikatan ini bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang bahkan bisa menjurus kepada tindak kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan upaya secara ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras meluruskannya ketika agama mereka dianggap telah diselewengkan. Jadi kekerasan atas nama agama, bisa dikatakan tidak hanya sebagai kelanjutan dari fundamentalisme yang menguat, tetapi juga karena hadirnya tantangan dari luar yang juga menguat. Dalam konteks ini, primordialisme juga muncul secara kuat sehingga kekerasan pihak luar yang dilawan kekerasan adalah salah satu manifestasi bentuk primordialisme tersebut.

Selanjutnya, kekerasan atas nama agama bisa terjadi juga karena munculnya hubungan diantara keduanya yang ditandai oleh ambiguitas, yakni sifat mendua yang sangat nyata. Inilah yang kemudian melahirkan pepatah bahwa agama ibarat dua sisi mata uang yang bertolak belakang, sebagai sumber kedamaian; sekaligus sebagai sumber kekerasan dan konflik. Kalangan agamawan boleh saja mengklaim orientasi kepada kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan ajaran agama-agama , tetapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan terjadinya konflik dan kekerasan. Mengenai yang terakhir ini, Ihsan Ali-Fauzi (2005) menyatakan bahwa akar kekerasan teologis juga bisa bersifat internal dan eksternal. Untuk akar teologis internal, Ihsan menyebutnya sebagai kaum fundamentalis agama sedangkan akar teologis yang bersifat eksternal menurut Ihsan adalah kaum fundamentalis sekuler.

Kaum fundamentalis agama, menurut Ihsan, adalah mereka yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada ditangan (agama) mereka dan hanya ditangan mereka, yang bulat tanpa benjol sedikitpun; karena bersumber langsung dari Tuhan yang sepenuhnya benar dan tugas mereka adalah memperjuangkan kebenaran itu, termasuk dengan cara-cara kekerasan. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini (yang mungkin ada disemua agama tanpa pandang bulu), dengan sendirinya menjadi militan dan ekstrimis karena mereka mengklaim bahwa merekalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati dijalan-Nya sama artinya dengan mati syahid, dengan kepercayaan pada surga sebagai balasannya yang setimpal. Sementara itu kaum fundamentalis sekuler, menurut Ihsan, adalah mereka yang merasa bahwa agama sudah tidak punya lagi hak untuk hidup sekarang ini. Banyak alasan yang diberikan kelompok ini tentang fenomena ‘kematian’ agama, misalnya; karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia saja; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah seperti banyak di catat sejarah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya dan sebagainya. Kelompok ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis di abad ke-18 yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan dan sedikitpun tidak punya kebajikan serta harus diluluh-lantakkan sehabis-habisnya.

Lebih lanjut menurut Ihsan, mereka yang berada di kedua front fundamentalis di atas, baik fundamentalis agama maupun sekuler, keduanya sama-sama dirugikan dengan kekerasan atas anama agama, kecuali jika mereka berpandangan bahwa kehidupan yang normal adalah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan kekerasan secara terus-menerus.

Dalam realitas dunia sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari benturan antara fundamentalis agama dan fundamentalis sekuler seperti di atas. Teror (al-irhab) pada hakikatnya adalah suatu kata yang memiliki banyak makna dan gambaran bentuk yang beraneka ragam. Namun demikian, semuanya berkisar pada kata ikhafah yang berarti membuat orang lain takut atau secara sengaja mengganggu stabilitas keamanan umum sebagai ancaman. Thomas Perry Thronton, misalnya, memaknai terorisme dalam 2 pengertian, yakni: (1) aktivitas pemberontak untuk mengacaukan tatanan yang sudah ada untuk memperoleh hak dan kekuasaan, dan (2) kegiatan orang yang memiliki kekuasaan yang ingin menindas penghalang dan kelompok oposisi dalam menuju, mempertahankan dan atau memperbesar kekuasaannya. Nah, dalam relasi konteks kekerasan teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan, sebagai titik pijak maupun agama sebagai “kekuasaan”, sebagai tujuan dari aktivitas kekerasan bernama terror itu.

PROSES INTEGRASI KEKERASAN TEOLOGIS

Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi. Namun demikian, Charles Kimbal menjelaskan terdapat lima situasi, dimana agama sangat berpotensi untuk berintegrasi dengan tindak-tindak kekerasan.

Pertama, ketika agama mengklaim kebenaran agama sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Sebagai bukti, Kimbal mencontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan Kristen Fundamentalis. Pada tanggal 10 Maret 1993 Michael Griffin menembak dan membunuh David Gunn yang menangani aborsi di luar klinik aborsi di Pensacola, Florida. Lima hari kemudian, pendeta Paul Hill muncul di acara televisi Donahue dan membenarkan tindakan Griffin. Kimbal sendiri mengakui bahwa klaim kebenaran adalah unsur utama dalam setiap agama, tetapi hal itu memunculkan beragam penafsiran. Ketika penafsiran dipahami secara kaku dan tanpa kritik, sebagai kebenaran mutlak, maka bisa mendorong pemeluknya untuk bersikap tidak hanya defensif dan tetapi juga ofensif, termasuk menghalalkan cara-cara kekerasan

Kedua, agama bisa melahirkan tindak kekerasan ketika dibarengi dengan ketaatan secara membabi buta kepada pemimpin agama. Kimbal mengemukakan sejumlah fakta tentang hal ini. Misalnya, gerakan People Temple pimpinan Jim Jones yang melakukan bunuh diri massal dengan cara meminum racun mematikan (sianida) di Guyana pada tahun 1970-an, sekte Aum Shinrikyo di bawah pimpinan Asahara Shoko yang menyebarkan gas mematikan di stasiun kereta bawah tanah di Jepang tahun 1990-an dan gerakan Davidian Branch pimpinan David Koresh yang melakukan bunuh diri massal dengan cara membakar diri di Texas Amerika Serikat (AS) tahun 1990-an. Uniknya, menurut Kimbal, gerakan mereka pada awalnya justru merupakan gerakan pembebasan rakyat dari kejahatan sosial, kemudian menarik dan mengisolasi diri serta membentuk satu komunitas bersama. Lalu, mereka mengklaim bahwa merekalah yang bisa diselamatkan dan keselamatan ini hanya bisa dicapai dengan ketaatan (buta) kepada sang pemimpin.

Ketiga, agama juga menurut Kimbal bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika umatnya mulai merindukan zaman ideal mereka di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa sekarang. Kimbal memberi contoh ide negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria.

Keempat, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika tujuan tertentu menghalalkan segala cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi karena berbagai hal seperti (a) karena mempertahankan tempat suci. Misalnya, makam tradisional Ibrahim di Hebron di Tepi Barat. Tempat itu disucikan oleh kaum Yahudi, Kristen dan Islam. Pada hari Purim 25 Februari 1994 seorang dokter Yahudi – Amerika memasuki masjid dan menembaki Muslim Palestina yang ada di dalamnya. (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya. Misalnya, kasus pembubaran Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung beberapa waktu lalu oleh sekelompok orang yang menamakan Gerakan Umat Islam (GUI). GUI menilai kelompok JAI sebagai kelompok sesat dan menyesatkan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga harus dibubarkan (dengan cara apapun) (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam dan (d) untuk mempertegas indetitas kelompok melawan orang luar.

Kelima, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika perang suci (holy war) sudah dipekikkan. Contoh tentang hal ini, menurut Kimbal, tidaklah terlalu sulit, misalnya Perang Salib, Perang Teluk, atau (propaganda) perang atas terorisme yang banyak memakan korban.

Proses terjadinya integrasi kekerasan teologis dalam diri umat beragama dapat dijelaskan melalui tiga variabel utama.

Pertama, variabel norma dan ajaran agama. Ajaran agama yang berisi norma-norma senantiasa mempengaruhi tingkah laku dan tindakan umatnya. Namun, ajaran agama tentu saja harus diinternalisasikan dan diinterpretasikan karena kebanyakan bersifat sangat umum. Hal ini juga merupakan keniscayaan karena setiap masyarakat beragama mengalami proses sosialisasi primer yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, disamping juga karena perbedaan pengalaman, pendidikan, dan tingkatan ekonomi diantara mereka. Dari proses internalisasi dan interpretasi inilah lahir apa yang diidealkan, terutama yang berkaitan dengan cita-cita kehidupan masyarakat kaum beragama.

Kedua, variabel sikap dan pemahaman agama. Sikap dan pemahaman agama merupakan kelanjutan dari ajaran dan norma agama. Asumsinya adalah bahwa selalu ada beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan norma dan ajaran agama mereka. Sikap ini tersimbolkan dalam penerapan pemahaman kaum beragama ke dalam norma dan ajaran agama mereka. Dalam hal ini biasanya muncul golongan nisbi, substansialis dan skripturalis.

Ketiga, variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini meliputi juga faktor-faktor domestik dan internasional. Hegemoni politik oleh negara ataupun represi yang dilakukan individu ataupun kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok umat beragama akan melahirkan respon yang berbeda-beda dari individu dan kelompok yang ada. Kalangan nisbi biasanya sama sekali tidak merespon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skripturalis yang diasumsikan biasanya akan memperlihatkan sikap radikal termasuk menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara, kelompok substansialis, meskipun memiliki kepedulian terhadap agamanya masing-masing dalam berbagai bidang, mereka akan memperlihatkan sikap lebih moderat dibanding kelompok skripturalis.

Melalui ketiga variabel di atas, proses integrasi kekerasan teologis dijelaskan melalui akar teologis kekerasan (yang bersumber dari ajaran-ajaran dan norma-norma agama), melalui akar antropologis (yang berkaitan dengan kemampuan manusia menerima, memahami dan menafsirkan ajaran dan norma agama melalui implemantasinya dalam sikap dan cara hidup, sebagai suatu budaya) dan melalui akar sosiologis (yakni bersumber dari relasi sosial politik antar individu dan kelompok umat beragama yang berbeda-beda baik dalam skala lokal, domestik (nasional) maupun internasional). Di bawah ini akan dijelaskan akar kekerasan teologis dalam perspektif filosofis.
bersambung………………..