Archive for September, 2015

Jose Mujica Presiden Termiskin Di Dunia

Jose Mujica Presiden Termiskin Di Dunia Seorang presiden umumnya hidup enak dan nikmat dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan dan tentu saja gaji yang besar. Namun percaya atau tidak, hal berbeda didapatkan oleh presiden yang satu ini. Dia mendapat sebuah julukan dari rakyatnya sebagai ‘presiden paling miskin di dunia’.
www.anehdidunia.com

Dialah Jose Mujica, presiden Uruguay dijuluki sebagai “el presidente mas pobre” yang berarti presiden termiskin. Ini disebabkan karena presiden yang berusia 77 tahun tersebut menyumbangkan hampir seluruh gajinya sebagai orang nomer satu untuk rakyat.
Kepada surat kabar Spanyol, El Mundo, Sahabat anehdidunia.com Jose Mujica mengaku menerima gaji sebesar USD 12.500. Namun ia hanya mengambil USD 1.250 dari gajinya. Alhasil ia pun dianugerahi gelar lain sebagai presiden paling dermawan di dunia.

www.anehdidunia.com

“Saya baik-baik saja dengan jumlah (uang) itu, karena di Uruguay banyak yang hidup dengan penghasilan yang penghasian yang jauh lebih sedikit dari itu.” tuturnya merendah. Seperti yang dilansir oleh Yahoo, Jose Mujica juga mengajak istrinya yang merupakan seorang senator untuk melakukan hal yang sama.

Langka! Presiden Jose Mujica bersedia mendonasikan 90 persen gajinya untuk rakyat. Jose Mujica tinggal di rumah pertanian di Montevideo. Selama dirinya menjadi presiden, pengeluaran terbesar yang pernah ia keluarkan adalah pembelian sebuah mobil Volkswagen Beetle, senilai USD 1.945.

Hal positif lain yang patut diacungi jempol di masa kepemimpinan Mujica adalah tingkat korupsi yang paling sedikit di antara negara di benua Amerika Selatan. Pria yang merupakan mantan pejuang gerilya ini sama sekali tidak memiliki rekening bank ataupun utang. Meski begitu ia mengaku memiliki satu hal berharga yang tidak bisa dibeli oleh uang, yaitu anjingnya, Manuela.
Di bawah kepemimpinannya, Uruguay mendapat julukan sebagai negara dengan tingkat korupsi paling kecil. Diketahui, Jose Mujica bukanlah presiden pertama yang menyumbangkan gajinya. Presiden AS John F. Kennedy, menyumbangkan gajinya, hal serupa juga dilakukan Presiden Herbert Hoover. Selayaknya hal ini patut di contoh bagi para pemimpin di dalam negeri kita. Pemimpin yang benar-benar mengabdikan diri dan kekayaannya untuk rakyat. Bukan hanya untuk kekuasaan dan harta.

Parmalim bukan agama Sisingamangaraja XII

Parmalim

 Pendahuluan;

  Sidjabat berpendapat  (1983:326) dan percaya bahwa Sisingamangaraja sendiri sebagai penemu/pendiri sekte Parmalim.

Sedangkan Sitor Situmorang (1993) menjelaskan sebuah interpretasi historis mengenai munculnya sekte Parmalim dengan Sedikit  berbeda. Ia (Situmorang 1993:63) mengatakan bahwa Somaliang telah datang kepada Raja Sisingamangaraja XII dan menyatakan mengenai ‘visi’nya untuk mendirikan sekte Parmalim masyarakat Batak Toba, namun ‘Raja Sisingamangaraja menjadi marah dan menolak Somaliang’. Dan pada

suatu ketika, Sisingamangaraja telah ditanya oleh seseorang mengenai agamanya; ia kemudian menjawab,‘Agamaku adalah agama di atas segala agama.’

 sitor

Parmalim: diskursus kesejarahan dan proses rasionalisasi religius

 

Secara historis, religi Parmalim pertama kali diprakarsai oleh seorang datu bernama Guru Somaliang Pardede (Horsting 1914; Tichelman 1937; Helbig 1935), seorang yang sangat dekat dengan Sisingamangaraja XII (raja terakhir dari dinasti Sisingamangaraja). Menurut beberapa penulis Barat, ajaran ini dijalankan oleh para pengikut Sisingamangaraja (khususnya oleh dua orang pemimpin perangnya, Guru Somaliang dan Raja Mulia Naipospos), dengan tujuan untuk melindungi kepercayaan dan kebudayaan tradisional Batak Toba dari

pengaruh Kristen, Islam, dan kolonialis Belanda (Sidjabat 1983:326) 8 . Masashi Hirosue (1988:75-76) berpendapat bahwa gerakan Parmalim merupakan ‘gerakan anti mesianis-kolonial’ yang ingin menghancurkan kerajaan Sisingamangaraja.  Ia selanjutnya menjelaskan,‘gerakan religi baru’ dari Somaliang pada umumnya bisa dipahami sebagai gerakan mesianis yang mengantisipasi kemunculan

kembali dari Si Singamangaraja, dan sekaligus juga merupakan sebuah reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda dan Kristenisasi terhadap masyarakat Batak Toba.

Di dalam kehidupan masa lalunya Somaliang Pardede pernah bertemu dengan Dr.Modigliani—seorang pendeta Katolik,

sekaligus juga seorang ahli tumbuhan, berkebangsaan Itali—yang bekerja di tanah Toba sejak 1889 hinga 1891. Ia telah menjadi pemandu Modigliani selama periode waktu itu.

SSmXII-OB-Sitor

Pada saat bersamaan, Somaliang juga mempunyai kontak dengan warga Muslim Aceh di timur Sumatera. Hubungan Somaliang dengan orang Aceh pada dasarnya merupakan suatu kolaborasi untuk menghadapi opresi kolonial Belanda di wilayah utara Sumatera.

Karena Somaliang telah diasumsikan oleh Belanda sebagai seorang ekstrimis yang berbahaya, ia akhirnya ditangkap dan dibuang ke Pulau Jawa pada tahun 1896. Namun demikian, ajaran Parmalim tetap dipraktekkan oleh murid-murid Somaliang dan pengikutnya yang lain setelah pengasingannya. Tetapi mereka menghadapi opresi yang baru, yakni berbagai tekanan dari misionaris Kristen (Horsting 1914:163).

Tichelman (1937:27-28) menyatakan bahwa terjadinya kontak kebudayaan telah mempengaruhi terbentuknya ajaran Parmalim,dan menghasilkan produk religi ‘sinkretis’ sebagai contoh dapat ditemukan beberapa elemen Katolik di dalamnya, seperti ‘Jahowa’ (Jehovah, nama Tuhan dalam ajaran Katolik),

‘Maria, Yesus’, dan nama-nama orang suci dalam ajaran Katolik. Pengaruh Islam juga terdapat di dalam ajaran tersebut.

Nama ‘parmalim’ itu sendiri berasal dari kata ‘malim’,

yakni dari kata Melayu ‘malim’ yang berarti “ahli dalam pengetahuan agama’ (dalam bahasa Arab, ‘muallim’).

 

Tidak seperti Tichelman, interpretasi Horsting (1914) terhadap

historiografi religi Parmalim sedikit berbeda. Ia menyatakan, religi Parmalim merupakan percampuran (blend) dari ajaran Jahudi, Katolik,Islam dan ajaran Sipelebegu 9 .

 

Tuhan mereka adalah Jehowah yang mengirim/menghadirkan Si Singamangaraja untuk menggantikan diriNya. Setelah kematiannya, para pengikut Parmalim percaya bahwa jiwanya mendapat tempat ‘di sisi tangan kanan dari Jahowa’ (Horsting 1914:1963-164; lihat juga Helbig 1935).

 

Pendapat dan pandangan mengenai keberadaan religi Parmalim juga banyak dibicarakan oleh para peneliti penduduk asli

Batak Toba sendiri; di antaranya Nurmasita R.Gultom (1990), Bernard Purba (1986); dan Gerfarius Aritonang (1991).

 

Gultom (1990) menyatakan bahwa ‘agama’ tradisional Batak Toba dikombinasikan dalam beberapa organisasi religius yang di antaranya disebut Parmalim, Si Raja Batak, dan kelompok

masyarakat tradisional yang tidak memeluk satu pun dari keduanya. Setelah agama Kristen dan Islam masuk ke tanah Batak, sebagian masyarakat menerima dan berpindah ke salah

satu dari kedua agama tersebut.

 

Meskipun mereka telah menganut salah satu agama,berbagai konsep berasal dari kepercayaan tradisional tetap dipraktek-kan, khususnya pada masyarakat yang berdiam di pedesaan.

Kebanyakan masyarakat menganggap, konsep maupun perilaku tradisional tersebut hanya sebagai ‘adat’. Kenyataannya, sulit untuk membedakan/memisahkan antara ‘adat’ dan ‘religi’ dalam kehidupan orang Batak Toba.Kedua aspek tersebut menyatu di dalam kebudayaan spiritualnya (Gultom 1990:31; lihat juga Pelly 1986/87:2).

 

Interpretasi lain dari religi Parmalim datang dari Aritonang10 , seorang penduduk asli Batak Toba yang sedang melakukan penelitian intensif di tengah masyarakatnya. Ia menduga

bahwa Parmalim berasal atau bersumber dari berbagai kepercayaan tradisional Batak Toba yang ‘secara ritual dan politis diorganisasi/diformulasikan’, sebagai suatu reaksi terhadap situasi sosial politis yang terjadi. Ia menyatakan

bahwa terdapat kesamaan antara tonggo (satu upacara religius-tradisional persembahan)—khususnya di dalam upacara Saem (lit.:‘penyembuhan’)—dengan ritual yang terdapat di dalam religi Parmalim.

Meskipun dalam kepercayaan tradisional Batak Toba, tiap upacara memiliki cara tersendiri dalam pelaksanaannya, di dalam Parmalim, para anggotanya telah mengakumulasi upacaraupacara yang berbeda-beda tadi ke dalam ritualritual ‘khusus’ yang ‘baku’ dengan cara-cara dan terminologi tersendiri.

Sehubungan dengan kata ‘parmalim’ itu sendiri, Aritonang menolak berbagai asumsi yang dikemukakan terutama oleh para ilmuwan seperti Tichelman, Horsting, dan Helbig.

Ia berpendapat bahwa kemungkinan besar kata ‘parmalim’ berasal dari vokabuler bahasa BatakToba sendiri. Setelah meneliti dan menganalisis gambaran linguistik (linguistic

features) dari konsep dan penggunaan bahasa Batak Toba, ia memunculkan hipotesa bahwa kata ‘parmalim’ dapat disarikan berasal dari beberapa fonem, ‘par-mala-ham’ (lit.: ‘orang yang baik’) yang memiliki akar kata ‘mala’ (lit.:‘sesuatu yang ditanyakan/diminta, itu akandiberikan’).

 

Parmalim: religi lokal versus agama negara

 

Mengacu pada asumsi serta kebijakan pemerintah bahwa dalam beberapa hal, kebudayaan lokal-tradisional harus

‘dipreservasi’ dan ‘dikembangkan’—sejalan dengan idealisasi terhadap apa yang disebut ‘kebudayaan nasional Indonesia’—pemerintah Indonesia mempromosikan ‘riset dan penelitian’ terhadap berbagai kebudayaan lokal-tradisional melalui sensus yang langsung berada di bawah koordinasi program Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam gerakan nasional ini, riset terhadap kepercayaan/religi tradisional pun diikutsertakan sebagai bagian dari program. Pada kenyataannya, religi Parmalim telah menjadi salah satu dari 6 (enam) kepercayaankepercayaan lokal yang akan diteliti olehpemerintah sejak tahun 1985 (lihat Pelly 1986/1987).

 

Parmalim sebenarnya telah terdaftar secara formal empat tahun sebelumnya sebagai salah satu ‘aliran kepercayaan’ melalui sebuah surat yang dilegitimasi oleh Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1980.

Tetapi, untuk mendapatkan status/pengakuan‘religius’ tersebut, para pengikut Parmalim harus mengisi berbagai kriteria-tertulis yang ‘disyaratkan’ oleh pemerintah Indonesia.

Kriteria-prasyarat yang harus dipenuhi oleh para pengikut Parmalim, sesuai tuntutan pemerintah, ialah adanya ‘pedoman dasar’ dan ‘pedoman pelaksanaan’ dari religi yang ada.

Hal yang harus mampu direfleksikan di kedua pedoman tersebut adalah di antaranya kesimpulan dari nama religi, tujuan, latar belakang ideologis, fungsi dan hak-hak dari

para pengikut, dukungan keuangan, dan konstruksi dari sistem kepercayaan-religiusnya.

Salah seorang dari informan warga Parmalim memberikan komentarnya atas kebijakan/tuntutan pemerintah ini, ‘…semua kriteria itu tidak masuk akal sama sekali, itu terlalu

institusional dan politis, … namun, sepanjang kriteria itu dipenuhi tanpa ada hal yang tidak sesuai [bertentangan] dengan hukum dan peraturan pemerintah Indonesia, tidak akan ada masalah; kami (kepercayaan kami) akan diterima’.

Cara pengikut Parmalim menghadirkan dan mengonstruksi religi mereka dalam memenuhi kebutuhan/kepentingan ‘standardisasi agamanegara’ dapat dilihat sebagai berikut:

 

‘… Kepercayaan UGAMO MALIM adalah salah satu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai perwujudan sila pertama PANCASILA, dan diatur dalam UUD-1945.

Karenanya warga Penghayat UGAMO MALIM bertanggungjawab serta berkewajiban menghayati, mengamalkan PANCASILA,

serta melestarikan dan menjaga kemurniannya secara utuh sebagai Dasar Negara dan Falsafah hidup bangsa Indonesia’ (Naipos-pos1987:1).’ [Teks diambil dari proposal Parmalim, ‘Pedoman Dasar dan PedomanPelaksanaan: Kelompok Warga PenghayatKepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

“Ugamo Malim” (Parmalim)’].

 

Sehubungan dengan ide monoteisme,pengikut Parmalim secara sadar menempatkan di depan figur supernatural Mulajadi Na Bolon(lit.: ‘Yang Besar, Yang Mengawali’) untuk

‘menyesuaikan’ konsep tradisional mengenai keTuhanan (divinity) dengan konsep monoteistik negara. Di dalam kepercayaan Parmalim, sesungguhnya terdapat kompleksitas figur supernatural yang memiliki peran dan kepentingan religius yang dapat ditemukan di berbagai praktek-praktek ritual maupun seremonial Parmalim.

Meskipun Parmalim telah diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai satu ‘aliran kepercayaan’ yang sah, namun (seperti apa yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos/ Pemimpin Parmalim di Huta Tinggi, Tapanuli Utara), amat sulit bagi pengikut Parmalim untuk mendapatkan kesempatan yang sama di berbagai bidang kehidupan. Beberapa restriksi yang sering dialami meliputi kesulitan untuk mendapatkan posisi tertentu di dalam pekerjaan, memasuki perguruan tinggi, terutama di universitas-universitas negeri, menjadi tentara, dan terkadang juga untuk mendapatkan surat tanda kawin atau kelahiran dari instansi pemerintah terkait. Alasan mengapa ini terjadi,kembali Naipos-pos menyatakan, ‘…sedikit sekali pengetahuan orang Indonesia mengenai keberadaan dari ragam sistem kepercayaan tradisional yang mereka miliki; lebih buruk lagi,masyarakat kelihatannya kurang memahami esensi dari makna religius’. Menanggapi keadaan dan situasi ini, Naipos-pos selanjutnya mengatakan, ‘…kami gembira karena

kepercayaan kami telah diakui pemerintah Indonesia, tidak seperti banyak kepercayaan lain yang masih dianggap “ilegal”. Kami percaya bahwa persepsi masyarakat akan berubah di dalam kehidupan religius masyarakat Indonesia mendatang’.

Di dalam menanggapi keberadaan agamaagama negara, seperti Islam, Kristen dan Budha dan lainnya, para pengikut Parmalim memiliki cara dan interpretasi tersendiri. Bagian dari

dasar interpretasi terkait dengan salah satu konsep dasar ajaran Parmalim, yakni hagogoton 11 .

Hagogoton , secara literalreligius bermakna ‘jika terjadi sesuatu/ kejadian yang tidak benar di suatu tempat tertentu di dunia, Mulajadi Nabolon akan mengutus seorang yang baik yang mampu mengatasi kejadian yang ada’. Dengan konsep dan kesadaran tersebut, para pengikut Parmalim percaya bahwa setiap agama akan melahirkan pemimpinnya masing-masing. Jadi, mereka percaya Musa, Yesus, Muhammad, dan lainnya,muncul untuk kepentingan bangsanya, sama dengan Sisingamangaraja bagi orang Batak-Toba.

 

Gerakan pelestarian budaya yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia, dalam tingkat tertentu, juga telah mempengaruhi

diskursus religius Batak Toba, terlebih dalam menginter pretasikan isu tersebut. Sebagian dari masyarakat Batak Kristen berpendapat bahwa melestarikan kebudayaan Batak Toba atau ‘adat’ adalah bagian dari menegakkan kembali

(re-establihsing ) identitas etnis maupun kultural mereka. Hal ini bukan berarti harus kembali pada kepercayaan tradisional yang ada.

Sebagian yang lain ternyata berpendapat berbeda. Memisahkan adat dari berbagai aspek yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba (termasuk aspek religius) adalah suatu hal yang mustahil. Perdebatan pandangan semacam ini kelihatannya terus berlangsung di tengah masyarakat Batak Toba hingga kini.

Hal yang menarik dari adanya fenomena pertentangan ini, terutama bagi masyarakat Kristen Batak Toba yang masih memiliki keinginan atau perasaan yang kuat dan terikat

dengan kepercayaan tradisionalnya, adalah upaya mereka untuk mencoba merekonstruksi satu konsep religius tradisional apa yang disebut ‘hahomion’12 (lit.: ‘rahasia’) menjadi

bagian dari praktek keagamaan. Karena para misionaris Kristen melarang berbagai tipe upacara, terutama yang berbau kepercayaan tradisional, masyarakat akan menggunakan

hahomion untuk menyembunyikan aktivitas ritual seperti ini dari pandangan publik.

Kelihatannya, masyarakat Batak Toba sangat memperhatikan dan saling memaklumi akan kebutuhan itu. Seperti komentar sebagian besar informan penduduk asli yang saya temui

di lapangan, ‘…memberi penghargaan/persembahan kepada roh leluhur sebagai bagian penting dari kehidupan spiritual orang Batak Toba, kelihatannya sama pentingnya bagi yang telah menganut Kristen atau tidak’. Dalam pandangan saya, telah terjadi dualisme kepercayaan di tengah kehidupan masyarakat Batak Toba, terutama yang bermukim di

pedesaan.

 

Kesimpulan

Pandangan maupun kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya mengenai penilaian terhadap isu agama-religi-kepercayaan—dalam beberapa tingkatan—telah terbentuk secara politis oleh persepsi maupun asumsi yang dikembangkan oleh pemerintah, baik secara eksplisit maupun implisit. Di satu sisi, idea ‘monoteisme’, sebagai dasar filosofi ‘agama negara’, kelihatannya hanya sekedar bermakna

politis, tanpa usaha untuk memahami berbagai esensi, terutama berkaitan dengan kompleksitas dinamika keagamaan yang terjadi di Indonesia. Berbagai permasalahan yang

dihadapi komunitas warga pengikut Parmalimtelah menjadi contoh. Di sisi lain, peran ilmuwan sosial dalam ‘menegaskan’ dan ‘meligitimasi’ kepentingan politis negara/pemerintah

merupakan hal yang sangat ‘berbahaya’, sebab sifat nature dari berbagai kajian keilmuan yang terus berkembang tidak semata sesuai dengan kebutuhannya. Kekhawatiran ini sesungguhnya telah disinggung dan dikemukakan oleh

Hefner (1993), terutama ketika ia mencoba mempertanyakan kembali pemahaman teks dan konteks rasionalisasi kultural (cultural rationalization)yang ‘sempit’ dengan konsep

rasionalisasi yang lebih luas. Setidaknya,dengan konsep rasionalisasi itu kita tidak mudah terjebak pada penilaian-penilaian ideologis yang subyektif.

Dari sisi pandang linguistik, kekaburan batas antara definisi ‘agama, religi’, dan ‘kepercayaan’ dapat dipahami. Hal itu menjadi wajar saat kita melihat penggunaan kata tidak

hanya terbatas pada eksklusivitas pengertian yang kaku, tetapi menempatkanya pada konteks kompleksitas makna-makna yang lain. Dengan sendirinya, ideologi kebebasan beragama tidak hanya dipahami sebatas hal yang idealnormatif,

tetapi lebih merupakan sesuatu yang muncul dari kesadaran kemanusiaan yang fundamental.

Berbagai kompleksitas persoalan maupun permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini sedikit banyak diakibatkan oleh minimnya kesadaran para ilmuwan sosial di Indonesia

untuk menempatkan serta mensosialisasikan wawasan keilmuan berdasarkan tuntutan dan realitas obyektif di

lapangan. Kecenderungan orientasi disiplin Antropologi di Indonesia (setidaknya, menurut saya) lebih mengarah pada penyesuaian terhadap berbagai kepentingan rezim

pemerintah. Berbagai isu maupun persoalan etnisitas, identitas, multikulturalisme, dan religi di Indonesia mendapat perhatian yang relatif kurang dalam kajian-kajian antropologis, paling tidak sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru di Indonesia. Padahal, semua point di atas merupakan bagian dari persoalan yang mendasar yang harus dipahami bangsa yang

multi kompleks ini.

 

 

 

8 Sidjabat (1983:326) percaya bahwa Sisingamangaraja sendiri sebagai penemu/pendiri sekte Parmalim. Sitor Situmorang (1993) menjelaskan sebuah interpretasi historis mengenai munculnya sekte Parmalim dengan Sedikit  berbeda. Ia (Situmorang 1993:63) mengatakan bahwa Somaliang telah datang kepada Raja Sisingamangaraja XII dan menyatakan mengenai ‘visi’nya untuk mendirikan sekte Parmalim masyarakat Batak Toba, namun ‘Raja Sisingamangaraja menjadi marah dan menolak Somaliang’. Dan pada

suatu ketika, Sisingamangaraja telah ditanya oleh seseorang mengenai agamanya; ia kemudian menjawab,‘Agamaku adalah agama di atas segala agama.’

 

9 Sipelebegu adalah terminologi Batak Toba yang secara literal mengandung arti ‘pemuja roh’. Term ini telah digunakan khususnya oleh para misionaris Kristen untuk menandakan segala tipe dari kepercayaan tradisional Batak Toba dalam kesan religius yang negatif sebagai ‘pemuja setan/hantu’. Namun, beberapa dari konsultan penduduk asli yang pernah saya wawancarai menolak pendapat tersebut dan menyatakan bahwa sipelebegu, di dalam konsepsi dan

pemahaman religius mereka adalah sebutan untuk orang-orang yang mempraktekkan ajaran ilmu hitam (black magic). Religi Parmalim berbeda dengan hal semacam itu. Seperti apa yang sering mereka katakan,‘kolonial Belanda dan misionaris Kristen tidak dapat serta tidak ingin untuk memisahkan antara kedua hal tersebut sebab untuk kepentingan politis mereka.’

 

10 Aritonang adalah mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Fak. Sasra USU yang sedang melakukan penelitian intensif di tengah masyarakat Batak Toba, khususnya memfokuskan pada analisis terhadap tonggo-tonggo (teks-teks religius tradisional) di dalam beberapa upacara Saem yang berbeda. Data yang saya kemukakan di atas merupakan hasil komunikasi pribadi saya dengannya, 9 Oktober 1994.

 

11Terima kasih kepada Aritonang yang telah membagi pengalaman lapangannya, khususnya mengenai konsep maupun pemahaman dari kepercayaan Parmalim.

 

12 Hahomion merupakan kepercayan tradisional yang mengharuskan seorang individu, sekelompok keluarga atau pun marga (klen) mempersiapkan dan

melaksanakan upacara untuk mendapat anugerah dari para arwah leluhur. Upacara dilaksanakan secara khusus dan bersifat rahasia, dilakukan hanya oleh parapemrakarsa perencana upacara.

Legenda Marga Lubis

 candi p lawas
 

 

 

Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.

Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia. Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).

Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga.

Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.

Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan.

Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.

Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.

Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang.

Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.

Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat.

Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).

Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan.

Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.

 p lawas
Namora Pande Bosi

 

Mohammad Said, pengarang terkenal termasuk Atjeh Sepanjang Sejarah, memberi tanggapan tentang kemungkinan masa munculnya tokoh Namora Pande Bosi yang dipandang sebagai nenek moyang marga Lubis. “Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung batara Lokanatha. Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat. Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil memperkenal teksnya huruf Kawi sebagai berikut:

Sarjana tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:

“Heil” Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd…”

Terjemahan bebas ke bahasa Indonesia demikian:

“Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma’at dewasa itulah Surya, panda besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini…”

Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Suraya telah berhasil membuat patung seorang dewa atau batara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad.

Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Hutalobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).

Menoleh latar belakang ini 3 kemungkinan dapat diperkirakan mengenai kapan Namora Pande Bosi itu. Yakni:

1) Zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang juru pandai besi
2) Zaman eskpansi Majapahit tahun Caka 1287 (1365 M) karena Gajah Mada mengetahui suatu kerajaan Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang terkemuka, diperkirakan Namora Pande Bosi
3) Zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh Soetan Koemala Boelan.

Mengenai zaman Surya, kemungkinanya dapat diperhatikan dari patung Lokanatha tersebut di mana disebut ada seorang pandai besi bernama Snya. Bahwa nama itu tidak pernah dikenal (baca: tidak pernah disebut-sebut) oleh penduduk, tidaklah merupakan persoalan, sebab adalah biasa bahwa penduduk tidak pernah menyebut nama pribadi tokoh yang dihormati, sehingga apa yang diketahui adalah gelar yang diambil dari keistimewaannya, yaitu Namora Pande Besi. Bahwa jarak zaman itu cukup jauh dengan apa yang sebegitu jauh diketahui oleh penduduk nama keturunan terdekat sesudah Namora Pande Bosi, si Langkitang dan si Baiting (pura kembar Namora Pande Bosi) bukan sesuatu yang mustahil. Karena bukan jarang, sesuatu cerita dari mulut ke mulut bisa saja melangkahi beberapa generasi sebelum sampai kepada si Langkitang dan si Baitang. Atau sesudah si Langkitang dan si Baitang ada lagi beberapa generasi di antaranya sebelum sampai kepada si Alogo Raja Partomuan (yang disebut sebagai anak si Baitang).

Mengenai masa ke-2 (zaman Majapahit), kemungkinannya dapat dilihat dari masa ekspansi kerajaan tersebut ke Mandailing, yaitu sekitar tahun 1365. Bukan mustahil bahwa di bawah Namora Pande Bosilah kerajaan Majapahit terdengar kepada Mangkubumi Gajah Mada, yang membuat ia merencanakan nama Mandailing turun dalam sumpah Palapanya.

Mengenai masa ke-3, bila diambil dari nama tokoh-tokoh yang diketahui menjadi keturunan dinasti Pande Bosi dari sekedar mendapat 12 generasi, sebagai yang dapat diteliti dari silsilah atau keturunan Namora Pande Bosi itu ke sebelah cabang yang menurun kepada Soetan Koemala Boelan, * kalau ini hendak dijadikan pegangan jaraknya dari zaman Namora Pande Bosi sampai Soetan Koemala Boelan hanya sekitar 300 tahun saja.

Mana yang lebih tempat dari 3 masa tersebut, tentu meminta waktu untuk memperoleh penegasannya. Saya sekedar memperlihatkan arah studi. Andai kata Namora Pande Bosi memerintah Tapanuli Selatan termasuk Padang Lawas, mungkin ia pernah beribu kota di Gunung Tua tempat patung Lokanatha disimpan sebagai barang pusaka oleh raja Gunung Tua yang disebut oleh kontroler Belanda ditemunya pada tahun 1885 itu”.

Kutipan panjang di atas jelas menunjukkan betapa sukarnya mencari kepastian mengenai sejarah dan perkembangan masyarakat Mandailing di masa lalu.

* Soetan Koemala Boelan lahir 8 Maret/Mac 1888, meninggal 21 Juni/Jun 1932. Beliau menjadi Raja Panusunan Bulung di Tamiang, Mandailing Julu dari tahun 1915 sampai tahun 1932. Beliau adalah seorang raja marga Lubis keturunan Namora Pande Bosi

 

Sumber: Mohammad Said

TERJADINYA PULAU MALAU

p

Pulau Malau atau Pulau Tao

 Nantinjo adalah putri bungsu dari Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon dari sepuluh bersaudara, anak yang

• pertama adalah Raja Uti,
• ke dua Saribu Raja,
• ke tiga Limbong Mulana,
• ke empat Sagala Raja,
• ke lima Lau Raja

sedangkan perempuan yang

• pertama adalah Biding Laut,
• ke dua Boru Pareme,
• ke tiga Anting Haumasan,
• ke empat Sinta Haumasan dan
• ke lima Nantinjo.

Semasa hidupnya, Nantinjo mengalami penderitaan yang cukup berat, sebab ketika lahir kedunia ini saja dia tidak sempuma, dikatakan wanita bukan, pria juga bukan. Pada saat umurnya sepuluh tahun kedua orang tua Nantinjo telah di panggil Yang Kuasa. Semenjak ditinggal kedua orang tuanya semakin beratlah penderitaan yang dialaminya. Nantinjo tinggal bersama abangnya Limbong Mulana, karena yang tinggal dikampung pada saat itu hanyalah ketiga abangnya Limbong Mulana, Sagala Raja serta Lau Raja, sedangkan abangnya Raja Gumeleng-Geleng telah pergi dibawa oleh Yang Kuasa kepuncak Gunung Pusuk Buhit.
Abangnya yang nomor dua Saribu Raja telah pergi juga merantau entah kemana rimbanya, dikarenakan adanya skandal cinta dengan adiknya sendiri Boru Pareme.

Kemelut keluarga yang begitu hebat telah melanda keluarga Nantinjo sehingga abangnya yang nomor tigalah yang harus bertanggung jawab atas diri Natinjo sepeninggal kedua orang tuanya.

Walaupun Nantinjo tinggal dirumah abangnya sendiri, penderitaan yang dialaminya sangat berat karena begitu besar tanggungjawab yang dibebankan abangnya terhadap dirinya mulai dari mengurus rumah, mengasuh anak-anak, serta mencari bahan makanan ke hutan.

Dan yang membuat hati Nantinjo sangat menderita apabila Nantinjo salah sedikit saja pastilah dia mendapat hukuman dari abangnya. Siksaan demi siksaan diterima Natinjo hari lepas hari dari abangnya tersebut.

Meskipun begitu berat penderitaannya Nantinjo pasrah, sebab tumpuan harapan pengaduannya telah pergi merantau entah kemana. Nantinjo mempunyai keahlian bertenun, maklumlah pada saat itu dia harus bertenun jika ingin mempunyai pakaian. Setiap bertenun, Nantinjo selalu melantunkan syair lagu penderitaannya dengan berlinang air mata sambil memohon kepada yang Kuasa agar ditunjukkan jalan padanya untuk dapat keluar dari deritanya.

Melihat dan mendengar penderitaan serta jeritan hati Nantinjo, Yang Kuasa akhirnya menunjukkan jalan keluar kepada Nantinjo.

Pada suatu saat datanglah abangnya Lau Raja bertamu kerumah Limbong Mulana, melihat adiknya sedang menangis hatinya sedih, sebagai abangnya Lau Raja penasaran dan bertanya kepada sang adik, mengapa engkau menangis Nantinjo? namun pertanyaan abangnya itu bukan membuat Nantinjo diam malah membuat tangisan Nationjo semakin keras. Lau Raja pun mendekati adiknya, dipeluk dan dihibur adiknya dengan penuh kasih sayang sambil bertanya ada apa gerangan yang membuat hati adiknya begitu pilu dan sedih?

Sadar bahwa abangnya begitu sayang kepadanya, Nantinjo akhirnya menceritakan segala penderitaannya dan menunjukkan luka dipunggungnya akibat siksaan yang kerap dilakukan abangnya Limbong Mulana kepadanya.

Tanpa sadar Lau Raja memanggil nama ibunya “Sibaso Bolon” sambil berujar “teganya kamu Ibu, membiarkan putri bungsumu mengalami penderitaan yang begitu berat dan tidak berkesudahan”.

Sambil membelai adiknya, Lau Raja mengajak Natinjo pergi dari rumah Limbong Mulana dan ia berjanji akan menyayangi Natinjo.

Mendengar ucapan dan janji abangnya, Nantinjo langsung mengikuti ajakan Lau Raja. Akhirnya Lau Raja membawa Nantinjo ke Simanindo Pulau Samosir tempatnya tinggal.

Semenjak tinggal dengan Lau Raja. Nantinjo merasa senang, tenang dan bahagia. Nantinjo diberi kebebasan untuk melakukan kesenangannya bertenun walaupun abangnya miskin . Hari lepas hari berganti, tak terasa Nantinjo sudah mulai berkembang menjadi gadis remaja yang anggun, cantik dan bersahaja. Kecantikan wajah dan sikap Nantinjo yang tidak pernah membedakan teman-temannya semakin menambah harum namanya terlebih dikalangan pemuda. Nantinjo menjadi gadis pujaan semua lelaki baik dikampungnya maupun dari kampung seberang danau toba.

Seorang pemuda dari perkampungan (Huta) Silalahi sangat tertarik kepada Nantinjo dan ingin menjadikannya sebagai pendampingnya seumur hidup. Tanpa mengadakan pendekatan kepada Nantinjo, pemuda tersebut langsung meminta kedua orang tuanya untuk segera meminang Nantinjo. mendengar permintaan sang anak, orang tua pemuda tersebut sangat senang dan bangga ternyata putra mereka bemiat meminang bunga desa dari Simanindo.

simanindo

Simanindo

Tanpa membuang banyak waktu, pihak keluarga tersebut akhirnya berangkat beserta rombongan ke rumah Lau Raja. Dengan maksud untuk meminang Nantinjo yang akan dijadikan istri dari putranya. Setelah mendengar dan mendapat pinangan tersebut, Lau Raja mengundang kedua abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja untuk mengadakan rapat keluarga, untuk menentukan apakah pinangan tersebut diterima atau tidak. Ternyata, kedua abangnya mempunyai pendapat yang sama yaitu menerima pinangan tersebut. Namun Lau Raja berpendapat bahwa Nantinjo yang harus menentukan keputusan itu, diterima atau tidaknya lamaran tersebut. Kemudian mereka memanggil Nantinjo untuk hadir dalam rapat keluarga tersebut, dan mempertanyakan kepada Natinjo apakah ia bersedia menerima pinangan pihak laki-Iaki dari seberang danau toba itu? Sadar akan keberadaan dirinya yang laki-laki bukan perempuan juga bukan dengan spontan Nantinjo menjawab bahwa dirinya belum siap untuk berumah tangga. Dengan alas an Natinjo ingin menyelesaikan tenunannya terlebih dahulu agar dia bisa memakainya suatu saat nanti jika ia telah siap untuk berumah tangga.

Namun abangnya Limbong Mulana tidak memperdulikan jawaban Nantinjo dan tidak memberikan kesempatan kepada Nantinjo untuk menolak. Katanya “kamu harus menerima pinangan tersebut”. Mendengar paksaan dari abangnya itu tanpa sadar air mata Nantinjo menetes dipipi, dia berpikir tidak akan bisa melawan keinginan abangnya Limbong Mulana.

Nantinjo melayangkan pandangan kepada abangnya Lau Raja dengan harapan dapat membela dirinya, namun Lau Raja pun tidak dapat membela adik yang sangat disayanginya itu karena dia sendiripun takut akan amarah abangnya Limbong Mulana.

Melihat situasi seperti itu Nantinjo hanya dapat menangis dan menjerit meratapi nasibnya dalam hati. Hanya Nantinjo sendiri yang tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Ketiga abangnya tidak mengetahui bahwa Nantinjo tidak sempurna dilahirkan kedunia ini sebagai seorang wanita. Nantinjo menolak karena dia menyadari bahwa dia tidak akan dapat membahagiakan calon suaminya dikemudian hari.

Nantinjo berusaha berpikir keras, alasan apalagikah yang tepat untuk dapat menolak lamaran tersebut. Nantinjo terus berfikir, berusaha mencari alasan untuk menolak lamaran tersebut. Akhirnya dia mendapat ide dan mengatakan kepada abangnya: “saya bersedia menerima pinangan dengan syarat pihak laki-laki itu harus dapat menyediakan emas satu perahu penuh serta uang ringgit satu perahu penuh” Mendengar persyaratan yang diberikan Nantinjo ternyata orang tua calon suaminya siap memenuhi permintaannya itu, bahkan calon mertuanya mengatakan lebih dari permintaanmu kami dapat kami penuhi.

Setelah kedua belah pihak sepakat, pihak lelaki kembali ke kampungnya diseberang Pulau Samosir. Keesokan harinya, pihak laki-laki itupun datang kembali beserta rombongan dengan membawa persyaratan yang diminta Nantinjo, yaitu emas satu perahu dan ringgit satu perahu. Melihat emas satu perahu dan ringgit satu perahu keserakahan Limbong Mulana timbul, sikapnya langsung berubah lembut kepada Nantinjo. Dengan lembut Limbong Mulana mengatakan kepada adiknya
“sekarang kamu tidak memiliki alasan lagi untuk menolak pinangan calon suamimu itu adikku, sebab calon mertuamu sudah memenuhi permintaanmu disaksikan ketiga abang¬abangmu serta khalayak ramai. Begitu tulusnya calon mertuamu menjadikan kamu sebagai menantu, dan sebagai abangmu yang tertua diantara kami, aku memutuskan bahwa kamu harus berangkat saat ini juga ikut dengan suamimu, Doa Restu dari kami abang-abangmu menyertai keberangkatanmu. Kami mendoakan kiranya Tuhan memberikan kebahagian lahir maupun batin kepada kamu”

kata Limbong Maulana panjang lebar. Dengan hati yang hancur Nantinjo menatap abangnya satu persatu sambil berkata kepada abangnya Lau Raja :
“Jikalau memang saya harus berangkat untuk berumah tangga dengan calon suami saya yang bukan pilihan hati saya, tetapi dikarenakan godaan emas dan ringgit satu perahu, ternyata kalian tega memaksa saya untuk berumah tangga, bagiku tidak ada pilihan kecuali menerima namun permintaanku pada abang” :
” Kumpulkanlah semua apa yang menjadi milikku termasuk alat yang selalu kupakai untuk bertenun. Bambu turak ini tempat benang tenunku tolong tanamkan di ujung desa ini, suatu saat nanti semua keturunan Bapak dan Ibuku akan melihat dan mengingat saya yang penuh dengan penderitaan.”

Lau Raja memenuhi permintaan adiknya dan berjanji akan melaksanakannya. Nantinjopun akhirnya menaiki perahu kesayangannya dan berangkat meninggalkan kampung itu mengikuti rombongan calon suaminya. Sambil mendayung perahu hati Nantinjo terus gusar. Dia tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi setelah sampai dikampung calon suaminya nanti. Kegundahan dan kekalutan pikiran Nantinjo tidak menemukan jawaban, kemudian Nantinjo memohon dan berseru kepada ibunya Sibaso Bolon,

“Bu, mengapa ini harus terjadi, seandainya dahulu ibu cerita kepada semua abangnya tentang keadaan Natinjo yang sebenarnya, mungkin ini tidak akan terjadi. lbulah yang bersalah serlo Limbong Mulana yang tergoda dengan emas dan ringgit satu perahu”.
Dengan hati yang sangat pilu Nantinjo bertanya kepada Ibunya, “masihkah lbu sayang pada putrimu ini? kalau lbu benar-benar masih sayang dengarkanlah jeritan hati putrimu ini yang pal¬ing dalam. lbu! saya tidak mau berumah tangga sebab itu hanya akan membuat aib dikeluarga, Putrimu ini rela berkorban demi nama baik keturunan Bapak dan lbu di kemudian hari. Saya tahu ibu dapat berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa, Pintalah kepada Yang Kuasa agar saya lepas dari penderitaan ini dan persatukanlah saya dengan ibu”.

Mendengar jeritan sang putri yang sangat memilukan hati, ibunya pun meminta kepada Yang Kuasa. Maka seketika itu juga turunlah hujan yang sangat lebat, angin dan badaipun datang menerjang perahu Nantinjo. Gemuruh ombak disertai halilintar turut menangis melihat penderitaan Nantinjo.

Akhirnya perahu Nantinjopun tenggelam ditelan ombak danau toba. Nantinjo menemui ajalnya seketika itu juga. Ketiga abangnya yang menyaksikan hal itu merasa bersalah serta takut. Bahkan setelah Limbong Mulana memeriksa emas dan ringgit satu perahu yang diberikan calon suami adiknya ternyata hanya diatasnya saja emas dan ringgit dibawahnya hanya gundukan pasir dan tanah. Penyesalan yang timbul selalu datang terlambat, apa mau dikata Nantinjo sudah tenggelam kedasar danau toba.

Keesokan harinya disaat orang masih tertidur pulas Lau Raja pergi kepantai tempat perahu Nantinjo diberangkatkan dengan harapan dapat menemukan adiknya hidup maupun mati. Ditelusurinya sepanjang pantai namun tidak ditemukan jasad adiknya. Sambil menangis tersedu-sedu Lau Raja meminta dalam hatinya kepada Yang Kuasa agar jasad adik yang disayanginya dapat ditemukan. Sayup-sayup Lau Raja mendengar bisikan:
“Adikmu Nantinjo sudah saya bawa ketempat yang aman, sekarang dia bersama ibumu. Anakku hapuslah air matamu, dan lihatlah ketempat dimana perahu adikmu tenggelam, disitu kau akan melihat satu keajaiban dunia, perahu adikmu akan muncul kembali berupa pulau. “

Inilah sebagai pertanda bagi keturunanku di kemudian hari betapa tulus dan mulia pengorbanan adikmu, tidak pernah mau membuat saudaranya malu dan terhina dihadapan orang “.

Tiba-tiba Lau Raja tersadar dan melihat dimana perahu adiknya tenggelam, dengan rasa kaget dia melihat apa yang dibisikkan oleh ibunya. Timbulnya pulau itu membuat Lau raja merasa adiknya Nantinjo serasa hidup kembali, dan dia berjanji pada diri sendiri bahwa ia beserta seluruh keturunannya harus menjaga dan merawat serta menyayangi pulau itu, sebagaimana dia menyayangi adiknya. Lau Raja memberi nama pulau itu “Pulau Malau”.

  TUAN SUMERHAM DENGAN BUAH RAMBE (1)

Rambe : antara Buah dan Marga (Paling Indonesia)

Toga Sumba, mempunyai  dua orang anak yaitu:

Toga Simamora dan Toga Sihombing.

Toga Simamora memperistri putrid dari keluarga Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putrid dari Siraja Lotung,

Toga Simamora, mempunyai anak dari hasil perkawinannya dengan putri dari keluarga Saribu Raja*, bernama Tuan Sumerham, dan seorang putri yang buta.

Istri pertama Toga Simamora adalah Boru Pasaribu, pomparan dari Saribu Raja. Sedangkan Toga Sihombing mempunyai istri boru Lottung ( Lottung, delapan bersaudara, tujuh marga, satu perempuan) Dari boru Lottung lahir empat orang anak. yaitu : (Toga Sihombing vs Br.Lotung)

  1. Silaban,
  2. Nababan,
  3. Hutasoit,

(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama) 
Kemudian Toga Simamora, Mangabia/ manhappi  mengawini istri dari Toga Sihombing, (apakah karena meninggal di kedua belah pihak, tidak jelas dalam sejarahnya), dan lahir tiga orang anak yaitu: Toga Simamora vs br.Lotung)

  1. Purba,
  2. Manalu,

 

Maka ke-tujuh marga ini merupakan satu ibu, lain bapak. Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada sejarah selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara.

Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya, tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain.

Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung.

Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya Tiopipian br. Siregar belum juga mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh boru Siregar tetapi dia masa bodoh dan  tidak menjadi “dihailahon tondi na” Hal ini juga disadari Tuan Sumerham. Pada suatu saat isteri Tuan Sumerham boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudaranya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya pada suatu malam, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora yaitu,

  1. Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedangdisembunyikan di Bonggar-bonggar.
    2. Tombak, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
    3. Pustaha (buku lak-lak).
    4. Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasasilambuyak).

Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan mereka tinggal di mana?, Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka datang”
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde br.siregar   tertinggal di sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat br. Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat. Maka tempat itu dinamakan Sibuluan)

Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian br Siregar) di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG” Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal musim, kembang dan buah matang silih berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna. Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil berburu, sebelum hasil tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul di di areal mereka tinggal, Tiopipian br Siregar bingung, mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui dari mana asalnya, tumbuh sebatang padi di lading yang merka cangkul, lalu mereka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi. Padinya disebut disebut padi sisior berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampung Pakkat, padi si Rambe. Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah.
Ternyata buah rambe ini mungkin mempunyai khasiat, menyuburkan keduanya Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat  Tiopipian br Siregar mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putrid bernama Surta Mulia br. Rambe.

 

  • Anak Pertama diberi namaRambe Toga Purba,
  • Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu,
  • yang terakhir Rambe Anak Raja

 

dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham. 
Ada beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati yang tulus dan tekat yang murn, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe, ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa ego dan serakah, akan membuahkan hasil.

Pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi 
Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi sendiri mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman. Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai Sirahar. Alangkah kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Tuan Sumerham. Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”. Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap pertama panen setiap musing lebih dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham.
Satu hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori tawanan kepada keluarga Tuan Sumerham.  Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha melepaskan diri dari segala sanksi.
Lepas dari Upeti
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalu Tuan Sumerham meberi bulang-bulang rusa di kepala dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. Dan bekas jejaknya dia rapikan kembali, sehingga kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat)
Tuan Sumerham dengan segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah dialognya:
“Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apagerangan yang akan terjadi kelak dengan tanda rusa yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada Sang Raja. Itu sebabnya saya dating”
“Ada apa rupanya Tuan Sumerham?”
“Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia”

Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut. Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan berkata;

 “di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu I” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri,

  1. yang tertua mernama Nanja br Pardosi,
  2. kedua Kirri br Pardosi,
  3. ketiga Rubi br Pardosi.

 

Sementara Rambe Purba, Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat. Tuan Sumerham dan keluarga harus ramai menghadiri pernikahan tersebut. Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, megingat kepindahanya ke Lobu Tondang karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus mereka lakukan.

 

  1. Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan.
  2. Sesampainya mereka di sana, mereka akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/dibunuh. (demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk kampung, ditangkap dan lalu dibunuh)
  3. Pada saat di pasung, mereka harus melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya

“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada mereka bertiga kalau tidak menayakan mereka anak siap.

 

  1. Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So Hadungdungan
  2. Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon.

Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran, maka berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan serta menjawab pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan mengarah kea rah ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah. (Dahulu rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham dengan penuh ketakutan dan menagis, terus menerus (diandunghon), Pada tengah malam, Namborunya mendengar andung mereka semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu Namborunya angkat bicara.

 

Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,”

 

Mendengar itu, mereka pun stop rapat dan memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan bertanya;
“Siapa kalian sebenarnya?”
“Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?”

 

Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti layaknya Tamu terhormat.
“kami adalah anak dari Tuan Sumerham”
“Apa bukti kalau kalian anaknya”
“Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak”

Lalu mereka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?”
“Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon”

 

Merka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“Apalagi?”
“Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggar rumah bolon”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi,

“kalau pustaha dibawa ke perantauan, dan ada sama bapak sekarang”

 

Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalah hatinya. Lalu mereka ditanya kembali.
“Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian?
“Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang untuk mengundang”
“ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng ihurna””

 

bersambung………2

SiBagot ni Pohan, Isteri dan anak-anaknya

Si Bagotni Pohan adalah anak tertua  dari Tuan Sorba Di Banua yang berdomisili di Lobu Parserahan di Lumban Gorat Balige Ibunya adalah  Nai Anting malela boru Pasaribu.

Mereka ada lima orang satu ibu yaitu: Sibagot ni Pohan, Sipaet Tua anak kedua, Silahhi Sabungan anak ketiga, Si Raja Oloan anak keempat dan anak kelima adalah Siraja Hutalima

Sedangkan anak Tuan Soba Dibanua dari isteringa boru Sibasopaet ada tiga orang Yaitu: Toga Sumba, Toga Sobu dan Nai pospos anak bungsunya.

Dari kecil Si Bagot Ni Pohan berparangai baik dan sopan dan dia selalu mengerjakan pekerjaan yang yang membuat orang tuanya senang, melihat perangai yang baik dari Si bagot ni pohan tersebu membuat orang tuanya terutama Ayahnya sangat menyayangi Si Bagot Ni Pohan, disamping itu diapun sangat rendah hati, dan sangat rajin belajar dan menanyai orang orang tua mengenai hukum hukum adat (Paradaton), serta pengetahuan lainnya, inilah yang membuat SiBagot Ni Pohan bertambah ilmu pengetahuannya baik tentang paradaton maupun tentang kehidupan. Oleh karenanya dia menjadi tempat bertanya hal-hal yang tidak dapat dijawab adik adiknya dan orang lain.

Si Bagot Ni Pohan terkenal dengan kegantengan dan  berbadan tinggi, besar serta ahli memanah dan mangultop, sekali kali dia pergi berburu ke hutan untuk mencari hiburan.

Suatu hari siBagot Ni Pohan pergi berburu burung  (mangultop),kehutan  diperjalanan dia ketemu dengan seorang gadis yang sangat cantik  lalu dia menanyai gadis itu  boru apa  Sibagot ni Pohanpun sangat gembira mengetahui  si gadis bermarga sama dengan marga ibundanya yaitu boru Pasaribu,Didalam hatinya terbesitlah untuk mempersunting sang gadis, niat tersebut disampaikannya pada si gadis. Tetapi gadis boru Pasaribu tidak menjawab begitu saja dan sigadis cukup pintar menjawab nya.

“ Menurut orang tua yang bijak dan orang tua saya tidak lah pantas menanyai  anak perempuan yang ingin dilamar dan  diperisterinya di tengah jalan, kalau lah kau merasa anak raja sepantasnya kau datang kekampung dan menemui orang tuaku .” Si Bagot ni Pohan mem benarkan ucapan  si gadis  boru pasribu tersebut lalu menjawabnya lagi

“ Sungguh benar kau, ito justru aku terpana akan kecantikanmu maka aku  tidak sabar untuk tidak menanyaimu ditengah jalan ini dengan melupakan adat dan tatakrama, maafkan aku ito.

Disuatu hari berangkat lah si Bagot ni Pohan  dengan membawa temannya kekampung sang Gadis boru Pasaribu, yang mebuat dia jatuh cinta. Saat mendekati kampung si gadis mereka bertemu dengan sang gadis yang kebetulan akan kepancuran mengambil air. Si Bagot ni Pohan pun menegur si gadis dengan “Marbodiaek” ( memperingatkan orang orang yang mandi dengan seruan yang teresebut) karena begitu tradisinya; ‘”Bo di aek i,leinang partuaek”

”Ba ro ma hamu sian i” jawab sang gadis

(Artinya)

“datanglah kalian  kesini” jawab sang gadi dari pemandian

“Ai begu do ahu didok roham umbahen di paro ho?” kata Si Bagot ni Pohan, kemudian dia mengulangi kembali marbodiaek,lalu si  boru Pasaribupun kembali menjawab “Ba mijur ma hanu sian i”,

(Artinya)

“Kau pikir aku ini hantu maka kau undang aku?”

“Ba beranjaklah lkalian dari situ”

“Ai hoda manang horbo  do ahu hu roha  di dok roham umbahen suruon mu ahu mijur”  (artinya: “kau pikir aku kuda atau kerbau maka kau suruh aku beranjak”) jawab sisibagot ni pohan, membuat hati si gadis boru Pasaribu  kesal sambil berpikir “ sungguh laki laki akan melamar yang pintar bicara dan memiliki pengetahuan luas tentang paradaton, kalau dia marbodiaek kembali apa jawaban ku nanti” si boru Pasaribu terus berpikir sambil menutup mukanya dengan sedih, untung tidak berapa lama namborunya datang yang bernama Nai Raramosan menemuinya, dan melihat maen ( anak permpuan dari saudara lakilaki) bersedih maka si namboru meneggurnya “ Siruba siruba i, silolom silolom on, na so dung songoni mangidai rohakon. Aha do hu ro ha parmulaan ni singkam mabarbar jala mula ni padang matutung. Aha do bingkas dohot bonsir umbahen sai marsak ho jala tangis ?” tanya namborunya serius,  “Aha ma na sai sinungkunan mu  disi namboru, unang ma ho sai pahutur hutur bulung ni bulu,parigat rigat bulung ni gaol,unang hopasunggul sunggul hinalungun jala parukar rukar hinadangol. Anduhur do lompanhhu,marsaorsaor amporik, ba tung adong do nangkin namboru dolidoli marbodiaek dari bukit sana,sungguh pintsr kedengarannya”, kata boru Pasaribu, kemudian dilanjutkanya “ sedang kan aku tidak begitu pintarberbicara apalagi hukum tentang paradaton, kepada kalian orang tualah kami harus lebih banyak belajar dan bertanya.

Maka si Namboru mengajari si gadis boru Pasaribu, kalau kalau si Bagot Ni Pohan atau pemuda lain marbodiaek

Tidak berapa lama si Bagot ni Pohanpun kembali marbodiaek,dan langsung dijawab boru Pasaribu:”Sulusulu ni bintang tu laklak ni antaladan, niarit hotang garudu bahen simpe ni tangan. Naso lupa di uhum naso lolos di padan na talu di undangundang i ma na so haulahan. Silaklak ni antajau, siregerege ni ampang; Sianak ni namboru sibebere ni damang.Hundul ma jolo damangdisi marnaati maradian asa tangkas damang marpanarian. Ba ro ma muse damang sian i mandapothon aek sitio tio asa maranggir jala martapian. Asa tiur dlan boluson tio aek dapoton tumpahon ni omputa Debata.”

Mendengar tutur kata sigadis boru Pasaribu, hati si Bagot ni Pohan pun dapat menerimanya serta dia berbisik dalam hatinya “ Betul betul Gadis inni borunya Raja (anak perempuan seorang terhormat), yang mengerti adat” kemudian Si Bagot Ni Pohan langsung menemui boru Pasaribu di pancuran, Setelah boru Pasaribu melihat siBagot Ni Pohan langsung dia mengenalnya, setelah berbincang bincang sebentar sigadis boru Pasaribupun lang pulang kerumahnya, dan kemudian mempersiapkan makanan mana tau nanti Si Bagot ni Pohan datang .Berselang beberapa lama Si Bagot Ni Pohan pun datang menemui siboru Pasaribu, kedatangannya disambut boru pasaribu dan mempersilahkannya duduk dilage tihar, siBagot ni Pohan menyempatkan berbicara: “Amang na di dolok i pangidoan hotang, amang na di holbung i pangidoan mual.Pinasae ma bona ni gorat,parbuena ma na niida, ni dapothon ma boru ni tulangi, ba napuran na ma na diida”; mnedengar ucapan si Bagot ni Pohan  boru Pasaribu langsung memberikan Napuran kepada si Bagot Ni Pohan sambil tersenyum kemudian mereka saling bertukar pikiran tentang paradaton.

Sebelum nasinya masak, datang boru Pasaribu membawa sebutir telur Ayam sambil mengatakan “Ianggo hami tung na pogos do, ndang tartabunihonb hapogoson.Dibahen i on ma pira ni manuk on seat hamu asa adong lompanta”.

“Denggan boru ni rajanami,alai tiop ma jolo patna i asa huseat, molo so tioponmu pat na i dang olo ahu maneat” kata si Bagot ni pohan.

“Ah tung ompu ni bisuk do hape on jala sabungan ni roha”, kata boru Pasaribu dalam jhatinya.

Setelah masak masakannya maka dikasih lah makan si Bagot ni Pohan , setelah selesai makan maka mereka saling memberikan tanda  (tanda jadian).

Sesampai dilumban Paserahan LumbanGorat dirumahnya, Sibagot Ni Pohan pun menceritakan pengalamannya dengan gadis boru Pasaribu kepada orang tuanya, semua tentang boru Pasribu di ceritakan dengan semangat serta berbunga bunga akan cintanya kepada boru Pasaribu baik tentang kecantikan maupun kepintaran dalam paradaton sang gadis.

Singkat cerita diresmikanlah perkawinan antara Si Bagot Ni Pohan denganGadis perawan boru Pasaribu, mereka direstui kedua belah pihak serta raja-Raja dari delapan penjuru desa, pesta besar besaran pun dilaksanakan dengan restu:

“Sai donganmu gabe ma inanta on, donganmu mamora,jala donganmu sarimatua.Sai marokap ma i songon bagot,marsibar songon ambalang, sai marsigomgoman ma tondimu  tu na tama.Molo tung adong na hurang pangalahona ingkon anjuonmu do,ingkon sai masidungkapna bikbikna do halak jala masijarum na tombukna.Ai na tinapu salaon, salaon situa tua,manang beha pe pangalaho ni dongan saripe niba ingkon denggan ma nianju anju asal ma adong dongan niba gabe jala dongan niba sarimatua”.

Kemudian merestui lagi pihak orang tua si boru Pasaribu”:

“Nunga marbagas do hamu nuaeng inang,dibaheni sai denggan ma hamu masianju anjuan jala masihaholongan.Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni pubatua,sai situbu anak ma hamu situbu bopru donganmu sari matua,Sai marurat ma hamu tu toru marjujungan  tu ginjang,mardakka tu lambung sigodang pangisi jala sideak pinompar.Martumbur ma baringin mardangka ma hariara, sai ma torop ma hamu maribur,martangkang ma juara sai matorop mariburma hamu songon siatur maranak, sai matorop serema hanu songon siatur nabolon”.

Rumah tangga SiBagot ni Pohan menjadi Rumah tengga teladan karena membina rumah tangga yang harmonis dan saling menyayangi.

Kemudian Isteri iBagot ni Pohan boru Pasaribu melahhirkan  empat orang anak yaotu:

  1. Tuan Sihubil
  2. Tuan Somanimbil
  3. Tuan Dibangarna
  4. dan Sonakmalela

menjelang dewasa keampat anak anak mereka mulai diajari lah berperilaku yang baik sesuai dengan tradisi batak dan patuh berorang tua dan menghormati setiap orangtua saling menyayangi sesama. Setelah beranjak Dewasa merekapu belajar tata cara paradaton dan mempelajari segala Ilmu yang berhubungan dengan kehidupan. Mereka menyontoh peri laku Ayahnya Si Bagot Ni Pohan.

Berita tentang  Si Bagot Ni pohan sudah terkabar kemana-mana, bahwa beliau sungguh bijak dan layak untuk dihormati dan tempat setiap orang bertanya karena kelengkapan Ilmunya (panjaha jaha di bibir jala parpustaha di toloan).

Sibagot Ni Pohan juga pemberani Cuma taku pada Opu Mulajadi Nabolon hanya (sesembahan Orang Batak zaman dulu).

Si Bagot Ni Pohan dengan Isterinya boru Pasaribu mulai tua  merekapun memperdalam ilmu anak anakmya yang empat orang. Suatu hari keempat anaknya dikumpulkan di Partungkoan (tempat bersidang),Lalu si Bagot Ni Pohanmembuka pembicaraan:

“Ada yang akan saya utarakan pada kalian anakanakku, Badanku lam kelamaan semakin tua, dan tidak tau apa yang akan dibuat ditakdirkan oleh omputa mulajadi nabolon, mana tau apakah Andor yang duluan putus atau Punggur yang duluan jatuh, Semasih aku hidup masih bisa aku menasihati kalian serta kukasih tahu sama kalian tentang pati yang menjadi ikutan kalian dan orang lain.

Pertama sekali yang saya katakan pada kalian adalah:

“Ingkon denggan hamu tongtong masiajarajaran masianjuanjuan jala masihaholongan. Sai pasing hamu na masa parbadaan,alai eahi hamu ma pardamean.Ai metmet bulung ni baja metmetan do bulung ni banebane.Ai metmet ni na marbada alai lehetan do na mardamedame.

Ingkon marsada ni tahi jala saoloan hamu tongtong di ganup siulaon,asa saut na sinakap ni rohamu Aek godang do aek laut, dos ni roha do sibahen na saut.

Ingot hamu tongtong adat dohot uhum maradophon angka dongan tubu, hulahula,boru nang maradophon ale-ale .Sai unang ma lupa horbo sian bara na,sai unang ma peut ulos sian sangkotanna.Ingkon tigor tongtong uhum dohot pambahenan tu saluhut.(ingkon sijujung ni ninggor,sitingkos ni ari)

Ingkon Hormat jala pantun hamu maradophon halak.Pantun dohangoluan,tois do hamagoan.ndang jadi lea roha mamereng na pogos dohot na marsiak bagi,alai ingkon asi do roha mamereng nasida.Ingkon urupan do halak na di bagasan hagogotan manag parmaraan.Ingkon pasangapon do angka natuatua jala oloan hatana.Ai tahuak mannuk di taonbaru ni ruma,halak na pasangap natuatua ido halak na martua”.

Sebenarnya masih banyak petuah petuah yang akan disampaikan Si Bagot Ni Pohan kepada anak-anaknya.Umur dari Si Bagot Ni Pohan  cukup panjang .

Image result for spiritual batak

Hingga sampai saatnya SiBagot Ni Pohanpun meninggal dan dikebumikan di Onan Raja Balige sedangkan isterinya boru Pasaribu dimakamkan di Sianipar Paindoan,tidak sama dengan Suaminya di Onan Raja. Ceritanya sebagai berikut.

Anak dari SiBagot Ni Pohan siahaan(anak tertua) yaitu Tuan Sihubil tinggal di Huta Surungan Paindoan karena disanalah Tuan Sihubil membuka perkampungannya, sang Ibu boru Pasaribu cukup lama tinggal bersama anak sulungnya sampai meninggalnya.

Cukup sekianlah ringkasan Riwayat Ompung Si Bagot Ni Pohan semoga bermanfaat- Thpardede

Teuku Markam Penyumbang Emas Tugu Monas

Monumen Nasional ( Monas ) setinggi 132 meter yang terletak di Lapangan Medan Merdeka Jakarta Pusat adalah merupakan salah satu lambang kebanggaan Indonesia. Tugu Monas yang di pucuknya menjulang dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala – nyala.

www.belantaraindonesia.org

Emas yang dipasang di Tugu Monas seberat 38 kg emas. Terdapat berbagai versi tentang emas di puncak Monas tersebut. Ada yang menyebutkan, emas seberat 28 kg itu adalah sumbangan dariTeuku Markam, seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia.

Namun, tak ada catatan resmi tentang penyumbang emas itu. Ceritanya pun menjadi simpang siur. Sejarawan juga tak tahu menahu tentang kisah emas di puncak Monas. Kisah tentang Teuku Markamsumbernya dari cerita mulut ke mulut. Meski ada sebagian orang yang menyakini kebenaran cerita itu.

Konon ceritanya, dari berbagai sumber, disebutkan Teuku Markam adalah saudagar Aceh yang lahir pada tahun 1925. Ayahnya, Teuku Marhaban berasal dari kampung Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu ketika berusia 9 tahun. Lalu ia diasuh oleh kakaknya yang bernama Cut Nyak Putroe.

Ia sempat bersekolah sampai kelas 4 Sekolah Rakyat ( SR ). Teuku Markam kemudian tumbuh menjadi pemuda yang mengikuti pendidikan wajib militer di Kutaraja yang sekarang bernama Banda Aceh.

Sebagai prajurit penghubung, ia diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diembannya sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.

www.belantaraindonesia.org
Teuku Markam

Tahun 1957, Teuku Markam berpangkat kapten. Ia kembali ke Banda Aceh dan mendirikan sebuah lembaga usaha yang bernama PT Karkam. Perusahaan ini dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Ia berhenti menjadi tentara, kemudia ia melanjutkan karirnya dengan menggeluti usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya.

Ia juga bisnis ekspor – impor, antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Dephankam dan Presiden. Ia mendukung pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf. Ia juga menyukseskan KTT Asia Afrika.

Ia termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno. Berkat bantuan para konglomerat itulah KTT Asia Afrika berhasil memerdekakan negara-negara yang ada di Asia dan Afrika.

Namun, sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tak ada artinya di mata pemerintahan Soeharto. Dengan sepihak ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan penganut Soekarnoisme. Akibat tuduhan itu, ia dipenjarakan pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa melalui proses pengadilan.

Pertama – tama ia dimasukkan ke tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur. Selanjutnya ia dipindah ke penjara Salemba di jalan Percetakan Negara. Tak lama ia dipindahkan lagi ke tahanan Cipinang, lalu terakhir ia dipindah lagi ke tahanan Nirbaya di Pondok Gede Jakarta Timur. Pada tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Soebroto selama kurang lebih dua tahun.

Pemerintah Orde Baru juga merampas hak milik PT. Karkam dan mengubahnya menjadi atas nama pemerintah. Teuku Markam hidup sengsara di hari tuanya. Ahli warisnya juga hidup terlunta – lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tak pernah direhabilitasi.

Anak – anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya dan memanfaatkan bekas koneksi – koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak – hak orang tuanya.

Yang Tidak Banyak Diketahui Tentang R.M.S Titanic

Pada Minggu 14 April 1912 pukul 23.40 R.M.S Titanic menabrak gunung es. Akhirnya 2 jam 40 menit kemudian pada Senin, 15 April 1912, 2.20 AM kapal pesiar mewah milik perusahaan The White Star Line, Royal Mail Steamer ( R.M.S ) Titanic yang diklaim oleh pembuatnya mustahil tenggelam lenyap ditelan gelapnya malam dan dinginnya laut perairan Samudera Atlantik Utara. Lebih dari 1.500 jiwa tewas dalam tragedi ini.

www.belantaraindonesia.org

Dan pada 15 April 2012 adalah peringatan seabad tenggelamnya kapal terbesar dan legendaris yang pernah dibuat oleh manusia. Masih banyak orang yang penasaran seperti apakah sosok R.M.S Titanic sesungguhnya dan bagaimana nasibnya setelah “terkubur” selama 102 tahun di samudera yang dalam, gelap, dan dingin?

www.belantaraindonesia.org
Kapal tunda memandu Titanic meminggalkan Pelabuhan Southampton, Inggris, Rabu 10 April 1912
www.belantaraindonesia.org
Dua bilah baling-baling menyeruak di bagian buritan Titanic di dasar laut, 600 meter di selatan haluan
www.belantaraindonesia.org
Betapa besarnya baling-baling Titanic, para pekerja yang membuatnya terlihat kerdil seperti kurcaci
www.belantaraindonesia.org
Bagian haluan R.M.S Titanic 

www.belantaraindonesia.org
www.belantaraindonesia.org

 Kemudi ini tidak mampu menyelamatkan bagian lambung Titanic dari “codet” besar akibat “garukan” gunung es

www.belantaraindonesia.org

Lorong kelas I RMS Titanic, gambar diambil di galangan kapal di Belfast tempat Titanic dibuat

www.belantaraindonesia.org

 Lorong kelas I RMS Titanic kini di dasar laut

www.belantaraindonesia.org

 Tiang untuk sekoci

www.belantaraindonesia.org

 The Grand Staircase: Interior “kubah” ( asli ) dalam R.M.S Titanic yang hanya diperuntukkan bagi penumpang kelas satu. Interior yang kita lihat pada film nya didesain mengikuti yang terlihat pada foto asli ini. Foto ini diambil sehari sebelum pelayaran perdana sekaligus yang terakhir bagi Titanic.

www.belantaraindonesia.org

 Reruntuhan tempat mandi spa ala Turki di R.M.S Titanic

www.belantaraindonesia.org

 Interior kabin kelas satu yang ditempati pemilik toko Macy’s. Isidor Strauss dan istrinya, Ida yang tewas. Sebuah jam berlapis emas milik mereka masih utuh diatas perapian.

www.belantaraindonesia.org

 Bagian lain interior kabin penumpang kelas I di Titanic

www.belantaraindonesia.org

 Dua mesin Titanic setinggi empat lantai yang terlihat pada bagian buritan yang hancur.

www.belantaraindonesia.org

 Pengerek jangkar Titanic

www.belantaraindonesia.org

 Jangkar raksasa ini beratnya 15 ton tergantung di bagian kiri kapal dan tidak sempat digunakan.
Jangkar yang di lambung kanan sempat digunakan saat transit di Pelabuhan Cherbourg, Perancis

www.belantaraindonesia.org

 Pistol untuk sinyal suar yang ditemukan di reruntuhan Titanic

www.belantaraindonesia.org

 Boarding Pass ( asli ) R.M.S Titanic milik seorang penumpang yang selamat

www.belantaraindonesia.org

Tenggelamnya R.M.S Titanic menjadi headline surat kabar Amerika Serikat pada Selasa, 16 April 1912

www.belantaraindonesia.org

 John Jacob Astor ( kiri ), pencetus kelahiran Titanic. Dia termasuk dalam ribuan korban Titanic yang tewas

www.belantaraindonesia.org
www.belantaraindonesia.org

 Kapten RMS Titanic Edward J. Smith yang tewas dalam pelayaran terakhirnya sebelum pensiun, dan patung untuk mengenangnya di Beacon Bark, Lichfield, Inggris

Tepat 100 tahun sejak malapetaka ini, pada tanggal 14 April 2012, R.M.S Titanic yang terkubur lebih dari 4 kilometer di dasar Samudera Atlantik Utara ditetapkan sebagai “Situs Pusaka Budaya Bawah laut” oleh UNESCO

Keturunan Sorba Ni Banua Balige Mendirikan kerajaan (1)

peta barus

Sejarah kepemimpinan negeri Barus yang di dalamnya ada terdapat negeri Rembe, bermula dari negeri Toba Silalahi, Balige, Negeri Parsuluhan, dari Marga Pohan. Sedangkan sejarah negeri Barus kuno dapat dirunut dari kepindahan Raja Uti putra Guru Tatea Bulan yang membuka Barus beberapa abad sebelum Masehi.

Di negeri Toba Silalahi tersebut, dikenal seorang Raja bernama Raja Kesaktian atau Ambung Kasian yang mempunyai lima putra. Putra sulung bernama Mage Di Pohan atau Magat, yang kedua bernama Lahi Sabungan, ketiga bernama Raja Tumbuk padi, yang keempat bernama Raja Pait Tua, yang kelima bernama Raja Alang Sabatangan Pardosi.

Suatu saat, sang Raja melakukan ritual puasa. untuk mendukung ritual tersebut, dia menyuruh salah seorang anaknya bernama Alang Pardosi untuk mencari minyak jujungan atau junjong. Untuk itu, Alang Pardosi pergi kenegeri Asahan disebelah timur Sumatera. Sambil menunggu putranya tersebut sang raja memulai ritual puasanya. Namun, kepergian Alang Pardosi yang memakan waktu lama membuat Raja menjadi tidak sabar. Maka sang Raja melakukan kesepakatan dengan keempat putranya yang lain untuk memberhentikan ritual puasa karena Alang Pardosi tidak kunjung datang.
ritual
Beberapa saat kemudian dalam penantian yang lama, Alang Pardosi pun datang membawa minyak. Namun dia mendapatkan bahwa ritual puasa telah dihentikan, hal ini membuatnya berkecil hati karena sang ayah tidak berkenan untuk menanti kepulangannya. Untuk menghilangkan rasa kecewanya tersebut, diapun memutuskan untuk bermigrasi dengan mengajak istri dan beberapa orang yang bersimpati padanya pindah ke sebuah wilayah yang dirasa aman diarah matahari terbenam atau sebelah Barat. Setelah melakukan perjalanan panjang, Alan Pardosi memutuskan untuk berhenti di sebuah rimba di tengah hutan lebat dan membuka ladang beserta pemukiman. Kawasan tersebut dinamakan Tundang.
huta
Perkembangan kawasan Tundang begitu pesat sehingga mengundang kedatangan para imigran dari Toba sehingga layak disebut sebagai sebuah negeri. Alang pardosi kemudian menjadi raja dan memberlakukan berbaga peraturan dalam batas-batas wilayah yang dikuasai. Batas tersebut meliputi wilayah tersebut sampai pantai Barat Sumatera; ke barat sampai ke Huta Tondang, Simpang Kiri, Batang Singkil, lalu ke muara disebelah tenggara sampai keperbatasan tanah Pasaribu. Pesatnya perkembang mendorong penduduk mengembangkan dan membuka kawasan baru sampai ke Dairi sekarang. Dari cerita ini diketahui bahwa tanah Pasaribu di daerah pesisir telah eksis sebelumnya.

Dalam kejadian yang lain, di sebuah negeri tetangga bernama Luat Simamora di negeri Dolok Sanggul di sebuah desa bernama Lumbat Situpang terdapat beberapa kejadian yang mempengaruhi perkembangan Tundang. Disebutkan bahwa di Luat Simamora tersebut terdapat seorang Raja bernama Tuan Mirhim (di negeri Pakkat terdapat seorang tokoh bernama Tuan Sumerham?). Raja mempunyai tujuh orang putra. Seorang yang bernama Si Namora, satu-satunya yang tidak mempunyai keturunan di antara tujuh bersaudara. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi perselisihan. Sebuah insiden terjadi. Seorang istri saudaranya terkena terinjak kotoran. Perempuan yang kena lumpur itu bertanya kepada perempuan yang lain dengan nada heran.

” Kotoran siapa ini yang mengenai kakiku? Mengapa tidak dibuang?”.

“Siapa yang mau membuangnya? Bukan anakku yang membuat kotor. Anak siapa yang buat kotor dia yang harus membuangnya,” jawab perempuan yang lain.

“Terus punya siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan dari anak nakal, yah anak Si Namora!”

Sindiran itu membuat istri Si Namora Simamora menangis, karena dia memang tidak mempunyai anak.

“Mungkin karena kami memelihara seekor anjing lalu mereka menyebutnya sebagai anakku,” pikir dia sambil bertambah sedih.

Kebetulan suaminya datang dan melihat kejadian tersebut.

“Mengapa kau menangis?” tanya dia

“Mereka menuduh bahwa anak kita yang membuang kotoran dilantai, padahal kita tidak punya anak.”

Sindiran tersebut dirasakan mendalam oleh Simamora dan diapun membentak istri saudaranya tersebut. Rasa sedihnya tak terobati. Tidak ada jalan keluar baginya kecuali menjauh dari mereka. Diapun mengajak istrinya untuk pindah mengasingkan diri. Mereka memilih untuk berjalan ke arah barat sampai suatu saat dia menemukan tempat yang layak untuk bermukim. Di sana dia berusaha membuka hutan dan melangsungkan hidup dengan bercocok tanam.

Suatu saat, Raja Alang Pardosi sedang menikmati hari-harinya di pinggir sebuah sungai. Matanya memandang sebuah potongan kayu yang hanyut dari hulu. Dari potongannya dia mengetahui bahwa batang kayu tersebut merupakan sisa potongan kayu. Dia menduga bahwa ada orang yang tinggal di hulu sungai tersebut tanpa sepengetahuannya.

Bersama hulu balangnya dia mendatangi orang tersebut yang kebetulan Simamora.

“Siapa kau? dari mana asalmu dan mengapa kau membuka kampung di tanahku?”

“Namaku Simamora, aku putra seorang Raja yang bernama Tuan Mirhim dari Luat Simamora, Negeri Dolok Sanggul kampung bernama Lumban Situpang.”

Simamora memperkenalkan diri dan melanjutkan

“..Adapun penyebab kedatanganku adalah karena aku bertengkar dengan saudaraku yang selalu menyindir kondisi kami yang tidak mempunyai anak. Sampai kemudian mengasingkan diri kesini. ”

“Kalau kau mau tinggal disini, maka kau harus menuruti semua peraturan dan menunaikan persyaratan adat kepadaku. ”

“Apapun peraturannya akan hamba turuti,” ujar Simamora mencoba meyakinkan sang Raja.

Pardosi kemudian menjelaskan beberapa persyaratan

“Persyaratannya adalah; apabila kau mempunyai makanan yang berdaging, maka kau harus mempersembahkan bagian kepalanya kepadaku, walaupun itu ikan, mengerti? ”

Simamora pun menurutinya.

Perjalanan nasib Simamora di huta baru tersebut akhirnya berubah. Istrinya yang telah lama menunggu akhirnya hamil juga. Dikisahkan bahwa hal ini karena dia sering memakan buah rambe, buah yang menjadi primadona daerah tersebut. Beberapa bulan kemuadian lahirlah seorang putra yang diberi nama Si Purba Uluan. Kabar gembira ini kemudian disampaikan kepada Raja. Pardosi sebagai pemimpin menunjukan kewibawaannya dengan menghadiahkan tiga potong kain, masing-masing untuk mereka. Huta tersebut kemudian berkembang pesat dan banyak imigran tinggal didalamnya. Huta tersebut dinamakan Rambe karena buah rambe menjadi primadona disana. Negeri Rambe sekarang terletak di Pakkat, Humbang Hasundutan.

Beberapa tahun kemudian dua orang putra berikutnya lahir, diberi nama Si Nalu (Manalu) dan yang bungsu bernama Si Raja. Setelah seluruh putranya menginjak dewasa, putra tertua merasa heran mengapa setiap kali mereka menyantap hidangan selalu tanpa bagian kepala.

“Ayah, dimana bagian kepalanya? lain kali aku uga ingin memakan bagian kepala gulai! ”

Simamora kemudian menjawab dengan menjelaskan perjanjiannya dahulu dengan sang Raja.

“Anak-anakku, kepala gulai tidak boleh kita makan karena saya sudah berjanji untuk memberikannya kepada Raja. ”

“Kok perjanjiannya menyusahkan sekali? apa yang akan kita lakukan nanti kalau mangadakan pesta besar, bukankah gulainya harus lengkap? ”

“Apa boleh buat, kita tetap tidak boleh. ”

“Ayah, aku punya akal untuk melepas perjanjian itu. ”

“Apa maksudmu, Nak?”

“Izinkan kami pergi kedaerah Toba untuk mencari sepotong kayu yang sangat istimewa…”

“Kalau kau mau pergi ke sana, kau dapat meminta kepada saudara kita kain dan barang-barangku dulu yang tertinggal, sebut saja nama ayah, ” kata Simamora mendukung usul putranya.

Purba beserta kedua adiknya menempuh perjalanan menuju Toba tempat kelahiran ayahnya.Saat akan memasuki sebuah huta, seorang penduduk mencegahnya dan menanyai identitasnya.

“Hei nak, dari mana asalmu? ”

“Kami berasal dari rantau sebelah, dekat tanah Dairi di sebelah Barat, ” jawab Purba

“Apa kau kenal orang bernama Si Namora di sana?”

“Aku kenal, dia ada disana sekarang, ada apa dengannya? ”

“Aku bertanya karena dulu aku mempunyai seorang adik kecil yang sudah lama minggat dari rumah kami karena perselisihan. ”

“Kalau dia saudara Tuan, maka kami adalah anak-anaknya yang datang kemari hendak mencari Bapak Tua. Disana dia telah mendirikan kampung bernama Rambe. Dia menyuruh kami mengambil barang-barang yang tertinggal, beruntung kita berjumpa disini. ”

“Kalau benar kalian anaknya marilah kerumah. ” Saudara tua mengajak ketiga anak tersebut kerumahnya.


Kesempatan yang sangat kebetulan tersebut digunakan untuk bersuka cita selama beberapa saat. Setelah beberapa lama tinggal di rumah saudaranya, Purba memohon diri untuk kembali ke kampung halaman. Bapak Tua memberikan kepadanya segala barang-barang Simamora. Kepulangan mereka ke Rambe disertai beberapa orang yang ingin bertemu ayahnya. Melihat begitu banyaknya orang-orang yang datang bersama anaknya, Simamora memberikan sambutan yang hangat. Purba memohon ayahnya untuk memburu rusa agar dipersembahkan kepada Raja Pardosi. Persembahan tersebut membuat Raja Pardosi begitu terkesan sehingga menawarkan anak-anak perempuannya kepada putra-putra Simamora. Pernikahan ketiga pasangan tersebut diselenggarakan bersamaan.

Simamora memutuskan untuk memisahkan tempat tinggal ketiga putranyatersebut. Si bungsu tinggal bersamanya. Si Sulung tinggal bersama mertuanya. Anak yang kedua dibuatkan kampung tersendiri.

Setelah mengarungi hidup beberapa lama, Purba menjenguk ayahnya di Rambe. Dia mendapati ayahnya sedang mempunyai buruan rusa. Dia teringat dengan rencana trik yang sudah laam terlupakan tersebut.

” Wahai ayah sekarang undanglah Raja Pardosi untuk menerima persembahan kepala rusa, kalu ada sesuatu biarkanlah aku yang berbicara. ”

Simamora kemudian mengundang sang Raja. Melihat ayahnya pergi membungkus rusa tersebut dengan kain candai dan beberepa lapis kain biasa. Sebuah tombak dipancangkan dekat kepala rusa. Saat Raja Pardosi dan Simamora tiba, Purba menyodorkan persembahan tersebut.

” Hai Mamakku, binatang apakah namanya ini? kami tidak mengenalinya karena tidak pernah mendapatkan binatang seperti itu, apakah manusia atau bukan, tapi ambillah kepalanya ”

” Tidak, aku tidak berkenan, ambilah bersamamu aku ngeri melihat binatang itu,” tolak sang Raja merasa curiga dengan jenis persembahan tersebut.

“Tapi ini kan harus Mamak terima karena kita sudah melakukan perjanjian. Tidak boleh dipungkiri sekarang, baik atau buruk dalam perjanjian sama saja, Mamak harus terima. ”

“Aku tidak mau mengingat perjanjian itu lagi. Persembahan itu untuk kalian saja, dan siapapun boleh memakannya, untuk selamanya aku tidak perduli lagi,” titah Raja pardosi dan diapun kembali ke hutanya. Purbapun tersenyum dan membuka, semua orang dipertemuan tersebut menyadari bahwa Raja Pardosi telah tertipu.

Lama-kelamaan, berita tentang tertipunya Raja tersebar di masyarakat, sampai akhirnya terdengar oleh telinga Raja. Dia menyadari tipu daya menantu sulungnya tersebut dan semakin membuatnya gusar serta tidak percaya pada Purba yang sudah direncanakan menjadi raja pengganti dirinya.

“Begitu cerdiknya si Purba, apa yang terjadi bila dia menjadi raja, apakah aku akan dibunuhnya? ” pikirnya. Hatinya semakin galau.

Kenyataan itu membuat raja ketakutan sendiri, perasaan was-was menyelimuti dirinya. Bagaimana mungkin ketulusan dirinya sebagai mertua telah dinodai. Raja kemudian memutuskan untuk memindahkan istananya ke sebuah kawasan baru yang dinamakan si Pigembar. Sebagian besar penduduk mengikutinya, namun banyak juga yang ingin tinggal.
barus
Kawasan itupun dibangun kembali dan menjadi tempat yang ramai. Beberapa saat kemudian Permaisuri meninggal dunia. Mendapat berita musibah tersebut, beberapa utusan dari kampung dan daerah melawat sambil membawa kerbau, kambing, kuda, dan beberapa persembahan lainnya. Saking banyaknya pelayat, suasana seperti di hari raya saja. Di antara pelayat tersebut adalah menantu Raja pardosi, Purba.

“Wahai Mamakku, aku melihat banyak orang datang membawa berbagai persembahan. Aku ingin membawa persembahan yang lain dari pada mereka, kalau seandainya mamak menyukainya.”

“Kalau seandainya aku menyukainya, aku menyukainya dalam jumlah yang besar,” jawab Raja berusaha mempersulit menantunya.

Namun Purba tidak patah arang, diapun pergi ke negeri Toba menjemput orang-orang toba dan memesan satu kuda bengkuang dan satu patung kura-kura. Setelah kedua patung persembahn itu selesai dibuat, Purba memerintahkan orang-orang Toba tersebut untuk membawa senapan dan mempersenjatai diri. Rombongan tersebut kembali ke istana dan memberi pesan bahwa besok dia akan memberi persembahan itu kepada Raja secara langsung.

Keesokan paginya Purba membawa persembahan ke Istana di ikuti oleh pengikutnya yang berkuda dan menenteng senjata yang berisi peluru. sebelum sampai ke istana Purba memrintahkan pengikutnya untuk mengamuk dan membunuh semua penduduk di kampung tersebut yang tidak mempunyai tanda. Sebelumnya. Purba telah mengatur strategi penyerangan dengan memberi tanda bagi pasukan dan warga yang tidak boleh dibunuh.

Penyerangan yang tak terduga tersebut mengakibatkan jumlah tewas dan luka yang besar. Raja Pardosi dan hulubalang beserta rakyat yang patuh dengannya berhasil melarikan diri. Mereka melariaknn diri menuju arah timur.
gunung barus
Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan, rombongan tersebut tiba di sebuah kawasan hutan di sebuah gunung bernama Nagudang. Raja memutuskan untuk berhenti di tempat tersebut karena dirasa aman dari serangan menantunya. Sebuah hunian barupun dibina dari awal. Inilah cikal bakal negeri bernama Huta Ginjang. Raja mengatur strategi pertahan dari seranga luar bersama kepala hulubalangnya, Timba Laut. Namun untuk memenuhi makan dari laut, ditetapkanlah seorang hulubalang bermarga Pane, untuk memancing ikan di sebuah pulau demi memenuhi kebutuhan kolektif. Pulau tersebut akhirnya sekarang dinamai Pulau Pane dan sebuah pulau kecil di samping bernama pulau Belalang karena di situlah ikan Belalang, kesukaan mereka ada.

Untuk kedua kalinya, negeri yang ditinggalkan raja tersebut dikuasai oleh Purba. Dia menobatkan dirinya menjadi penguasa dan raja. Namun, karena ketidakpiawiannya dalam memerintah, kelaparan terjadi. Kelaparan ini juga dipicu oleh banyaknya petani yang meninggal dalam penyerbuan huta tersebut oleh Purba. Raja Purba melakukan konsultasi dengan seorang datu kerajaannya. Dia ingin tahu mengapa musibah ini bisa terjadi.

“Paduka yang mulia, adapun penyebab kelaparan ini adalah karena sebuah kutukan yang menimpa anda. Kutukan tersebut diakubatkan oleh kemurkaan Raja Pardosi, mengakibatkan tanaman dan tumbuhan tidak dapat hidup. Apabila Raja Pardosi tidak dijemput, maka semua penduduk kerajaan ini akan tewas,” jawab dang dukun.

Tidak ada pilihan bagi Raja Purba selian melepaskan kutukan tersebut. Dia mengutus salah satu panglimanya, Panglima Golgol untuk mencari keberadaan Raja Pardosi di hutan.

“Apabila kau berjumpa dengannya, sampaikan pesanku agar mereka datang beserta para pengikutnya, berapapun jumlahnya. Dia akan kembali menjadi raja di sini dan aku akan menuruti titahnya,” perintah raja.

Setelah melakukan pencarian yang melelahkan, Panglima berhasil menemukan Raja Pardosi yang tengah membina kawasan kerajaan yang tengah berkembang. Dia mengutarakan niatnya kepada Raja.

“Aku berkenan untuk kembali ke negeri tersebut dengan satu syarat. Purba harus membangun sebuah rumah di Gotting (nama sebuah celah dan daerah antara Pakkat dan Tukka Dolok), di atas jalan Gotting, sehingga siapapun yang ingin lewat harus melalui bawah rumahku,” titah Raja Pardosi.

Panglima Golgol kembali dan menyampaikan pesan tersebut. Raja Purba memerintahkan ahli bangunan istanya untuk membuatkan rumah sebagaimana dimaksud. Raja Pardosi dikabarkan dengan persyaratan tersebut. Dan dia beserta rakyatnya kembali semula ke rumah masing-masing.

Untuk mencegah terulangnya kejadian hilangnya daerah kekuasaannya, dia menempatkan seorang hulubalang kepercayaannya di huta-huta kecil di bawah kerajaannya. Di antaranta adalah, Batu Ringin dan Pangiringan. Diapun akhirnya memutuskan tinggal di Gotting.

Setalah lama tinggal di sana. Diapun mengunjungi daerah-daerah kekuasannya dan menetapkan beberapa peraturan, larangan dan pembentukan pasar yang disebut Onan. Diantaranya sampai ke Hulu di negeri Yakman (Aek Riman?).

Keberhasilannya membina kerajaanya membuatnya terkenal sebagi raja Batak yang paling disegani di luar Luat Toba dan Dairi. Diapun akhirnya mempunyai dua anak laki-laki dan satu perempuan dari permaisurinya yang baru. Anak perempuannya satu-satunya akhirnya disunting seorang raja di Aceh.

Putra pertaman bernama Pucaro Duan atau Pucur Dalan dan yang paling muda bernama Guru Marsakot. Raja Padosi kemudian meninggal dunia di Gotting karena ujur meninggalkan kedua putranya menjadi pemimpin di kerajaannya.

Setelah melewati masa, kedua putranya tersebut berusah untuk membangun pemukiman sendiri lepas dari bayang-bayang ayahnya.

“Lebih baik kita mebuat pemukiman masing-masing. Tinggal di sini akan membuat kita kesulitan mengatasi persoalan apabila bersama. Purba, abang kita juga telah membuka kampung yang baru,” kata Pucaro ke Guru Marsakot.
bersambung (2 tamat)

Tuanku Dorong Hutagalung-Sultan Negeri Sibogah

ssIBOLGASULTAN SIBOLGA

 

 

 

 

 

Menurut penulis Sejarah Sibolga, Tengku Luckman Sinar dengan mengutip hasil catatan riset seorang pembesar Belanda, EB Kielstra – disebutkan bahwa sekitar tahun 1700 seorang dari Negeri Silindung bernama Tuanku Dorong Hutagalung mendirikan Kerajaan Negeri Sibogah, yang berpusat di dekat Aek Doras. Dalam catatan EB Kielstra ditulis tentang Raja Sibolga: “Disamping Sungai Batang Tapanuli, masuk wilayah Raja Tapian Nauli berasal dari Toba, terdapat Sungai Batang Sibolga, di mana berdiamlah Raja Sibolga.”
Penetapan tahun 1700 itu diperkuat analisis tingkat keturunan yakni bahwa Marga Hutagalung yang telah berdiam di Sibolga sudah mencapai sembilan keturunan. Kalau jarak kelahiran antara seorang ayah dengan anak pertama adalah 33 tahun -angka ini adalah rata-rata usia nikah menurut kebiasaan orang Batak—lalu dikalikan jumlah turunan yang sudah sembilan itu, itu berarti sama dengan 297 tahun. Maka kalau titik tolak perhitungan adalah tahun 1998, yaitu waktu diselenggarakannya Seminar Sehari Penetapan Hari Jadi Sibolga pada 12 Oktober 1998, itu berarti ditemukan angka 1701 tahun.
sibolga
Tentang nama atau sebutan Sibolga, dicerita-kan bahwa pada awal-nya Ompu Datu Hurinjom yang membuka perkampungan Simaninggir, mempu-nyai postur tubuh tinggi besar, di samping memiliki tenaga dalam yang kuat. Adalah tabu bagi orang Batak menyebut nama seseorang secara langsung apalagi orang tersebut lebih tua dan dihormati, maka untuk menyebut nama kampung yang dibuka Ompu Datu Hurinjom dipakai sebutan “Sibalgai”, yang artinya kampung atau huta untuk orang yang tinggi besar.

Asal kata Sibolga dengan pengertian tersebut lebih dapat diterima daripada untuk istilah “Bolga-Bolga”, yaitu nama sejenis ikan yang hidup di pantai berawa-rawa; atau istilah “Balga Nai” yang berarti besar untuk menunjukkan ke arah luasnya lautan. Orang Batak biasanya menggunakan kata “bidang” untuk menggambarkan sesuatu yang luas, bukan kata balga yang berarti besar.

Tapi apa pun kisah awal kelahiran nama dan Kerajaan Sibolga, kota di Teluk Tapian Nauli ini telah menjalankan peran sejarah yang sangat berarti. Di masa lalu Sibolga berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang hasil pertanian dan perkebunan seperti karet, cengkeh, kemenyan dan rotan. Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di Teluk Tapian Nauli.
sibolga -2
Lebih dari itu, berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 7 Desember 1842 tempat kedudukan Residen Tapanuli dipindahkan dari Air Bangis ke Sibolga, dan sejak itulah Sibolga resmi menjadi Ibukota Keresidenan. Meski statusnya sebagai Ibukota Keresidenan sempat dipindahkan ke Padang Sidempuan antara tahun 1885 – 1906, namun predikat itu akhirnya kembali lagi ke Sibolga berdasarkan Staadblad yang dikeluarkan pada 1906 itu.

Dalam perjalanannya, pada 1850, di masa Mohd Syarif menjadi Datuk Poncan, bersama-sama dengan Residen Kompeni Belanda bernama Conprus, mereka pindah dari Pulau Poncan ke Pasar Sibolga. Pada tahun ini pula rawa-rawa besar itu ditimbun untuk menyusunnya menjadi sebuah negeri pula.

Sibolga jolong basusuk
Banda digali urang rantau
Jangan manyasa munak barisuk
Kami sapeto dagang sansai

Maksudnya yakni bahwa pada mulanya Kota Sibolga ini dibangun dengan menggali parit-parit dan bendar-bendar untuk mengeringkan rawa-rawa besar itu, dengan menggerakkan para narapidana (rantai) serta ditambah dengan tenaga-tenaga rodi, ditim-bunlah sebagian rawa-rawa itu dan berdirilah negeri baru Pasar Sibolga.

Di masa Sibolga dibangun menjadi kota, istana raja yang berada di tepi Sungai Aek Doras dan pemukiman di sekelilingnya dipindahkan ke kampung baru, Sibolga Ilir. Di atas komplek tersebut dibangun pendopo Residen dan perkantoran Pemerintah Belanda. Walaupun pada tahun 1871 Belanda menghapuskan sistem pemerintahan raja-raja dan diganti dengan Kepala Kuria, namun Anak Negeri menganggapnya tetap sebagai Raja dan sebagai pemangku adat.
sibolga -3
Sementara Datuk Poncan di Sibolga diberi jabatan sebagai Datuk Pasar dan tugasnya memungut pajak anak negeri yang tinggal di Kota Sibolga terhadap warga Cina perantauan, Di dalam melaksanakan tugasnya, Datuk Pasar dibantu oleh Panghulu Batak, Pangulu Malayu, Pangulu Pasisir, Pangulu Nias, Pangulu Mandailing dan Pangulu Derek.

Pada 1916 Datuk Stelsel dihapuskan serta diganti dengan Demang Stelsel, mengepalai satu-satu distrik menurut pembagian yang diadakan, dalam mana Pasar Sibolga masuk Distrik Sibolga, sebagaimana beberapa resort kekuriaan. Untuk memudahkan kontrol berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi tujuh Afdeling yaitu Afdeling Singkil, Sibolga, Nias, Barus, Natal, Angkola dan Mandailing. Sedangkan Afdeling Sibolga terdiri dari beberapa distrik yakni Distrik Sibolga, Distrik Kolang, Tapian Nauli, Sarudik, Badari, dan Distri Sai Ni Huta.

Pada masa Pemerintahan Militer Jepang, Kota Sibolga dipimpin oleh seorang Sityotyo (baca: Sicoco) di samping jabatannya selaku Bunshutyo (baca: Bunsyoco), tapi dalam kenyataanya adalah Gunyo yang memegang pimpinan kota sebagai kelanjutan dari Kepala Distrik yang masih dijabat oleh bekas demang, ZA Sutan Kumala Pontas.

Pada masa pendudukan Jepang, Mohammad Sahib gelar Sutan Manukkar ditunjuk sebagai Kepala Kuria dengan bawahan Mela, Bonan Dolok, Sibolga Julu, Sibolga Ilir, Huta Tonga-tonga, Huta Barangan dan Sarudi. Beliau inilah yang menjadi Kepala Kuria yang terakhir di Sibolga karena setelah zaman kemerdekaan, sekitar tahun 1945 istilah Kepala Kuria praktis sudah tidak ada lagi.

Mengenai Sejarah Kuno Sibolga

Tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan bumi Teluk Tapian Nauli mulai dihuni orang. Namun berdasarkan sejumlah catatan sejarah, diperkirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni Teluk Tapian Nauli dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang-orang Gujarat dan pendatang dari negeri asing lain seperti Mesir, Siam, Tiongkok. Para golongan terkemuka Tapian Nauli juga sudah dikenal di Mesopotamia, paling tidak melalui sejarah lisan yang dibawa saudagar Arab.

Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 itu pelaut Portugis sudah hilir mudik di lautan dalam rangka mencari dan mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Eropa. Uang Portugis yang beredar di kalangan masyarakat yang berdiam di Teluk Tapian Nauli saat itu merupakan salah satu bukti. Ketika itu keberadaan Teluk Tapian Nauli sangat penting. Selain sebagai pangkalan pengambilan garam, dusun ini terkenal juga sebagai pangkalan persinggahan perahu-perahu mancanegara guna mengambil air untuk keperluan pelayaran jauh.

Peranan Teluk Tapian Nauli sebagai pangkalan persinggahan dan pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika Belanda dan Inggris memasuki wilayah itu di kemudian hari. Kapal Belanda di bawah pimpinan Gerard De Roij datang kepantai Barat Sumatera—Teluk Tapian Nauli—pada 1601. Sedangkan Inggris memasuki wilayah ini pada 1755.

Kehadiran dan gerak langkah Belanda dan Inggris di Teluk Tapian Nauli bisa dilihat dari beberapa kronologi peristiwa berikut ini:

1604 : Perjanjian antara Aceh dengan Belanda, yaitu antara Sultan Iskandar dengan Oliver.

1632 : Kapal Belanda mulai berhadapan dengan Inggris di Pantai Barat Sumatera dalam rangka kepentingan dagang.

1667 : Belanda mendirikan benteng (loji) di Padang.

1668 : Belanda mulai dengan politik adu domba, menghasut Tiku dan Pariaman lepas dari Aceh. Barus pro Pagaruyung diusir dari berbagai tempat.

1669 : Setelah berkuasa di Sumatera Barat, Belanda mulai mengincar pesisir Tapanuli dan mendirikan loji di Barus.

1670 : Karena keserakahan Belanda (VOC) dengan praktek dagangnya yang monopolistis, pemberontakan di Barus terhadap Belanda tidak dapat dielakkan dan terus meningkat. Raja Barus dibantu oleh adiknya Lela Wangsa berhasil mengusir Belanda dan menghancurkan loji Belanda.

1678 : Belanda dapat membalas, namun pada ketika itu perang sengit antara Raja Barus dengan Belanda terus berkobar. Raja Barus melakukan taktik gerilya. Putera raja di Hulu berhasil membuhuh dokter Belanda dan seorang serdadu Belanda. Namun Belanda berhasil menangkap Raja I^ela Wangsa dan membuangnya ke Afrika Selatan.

1733 : Belanda semakin merajalela dengan berhasilnya menangkap Raja Barus. Seterusnya bukan hanya Barus saja yang diserang, tapi Belanda juga menyerang Sorkam. Kolang dan Sibolga.

1734 : Oleh karena Belanda telah melakukan penyerangan terhadap Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli, maka Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli mengkonsolidasikan diri, maka lahun ini terjadilah peperangan secara besar-besaran terhadap Belanda. Serangan datang dari Sibolga, Kolang, Sorkam dan Barus dipelopori anak Yang Dipertuan Agung Pagaruyung.

1735 : Belanda terkejut dan kewalahan menghadapi peperangan ini. Belanda melakukan penelitian, dan ternyata diketahui bahwa semangat patriotisme yang dikobarkan dari Raja Sibolga itulah sumber kekuatan. Belanda ingin melampiaskan rasa penasarannya kepada Raja Sibolga, namun tidak berhasil, Antara 1755-1815 pesisir Pantai Barat Sumatera Utara, Teluk Tapian Nauli, berada di bawah pengaruh Inggris. Pada 1755 Inggris memasuki Tapian Nauli dan membuat benteng di Bukit Pulau Poncan Ketek (Kecil). Mereka mulai menguasai loji-loji Belanda dan markas Aceh yang berada di pesisir Barat Tapanuli.

1758 : Pasukan Inggris mulai mengusir loji-loji Belanda dan juga markas Aceh dari pesisir barat Tapanuli. Silih berganti usir-mengusir antara Inggris dengan Belanda.

1761 : Perancis meninggalkan Poncan. Kemudian Inggris datang bekerjasama dengan penduduk Tapian Nauli dan Sibolga.

1770 : Karena suasana perdagangan mulai tenang, maka Inggris mendatangkan budak dari Afrika dan India untuk mengerjakan urusan dagang dan perkebunan Inggris. Kuria

Tapian Nauli dan Raja Sibolga merasa keberatan atas tindak tanduk Inggris ini.
1771 : Stains East Indian Company Inggris di Tapanuli dinaikkan menjadi “Residency Tappanooly”.

1775 : Karena dagang Inggris mulai menurun karena tidak mendapat simpati dari Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga, maka Belanda mengambil kesempatan mengadakan perjanjian dagang dengan Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga.

1780 : Puncak perselisihan antara Belanda dengan Inggris adalah persoalan monopoli garam. Kesempatan ini dipergunakan oleh Aceh untuk menyerang Inggris di Teluk Tapian Nauli. Aceh untuk sementara dapat menduduki Teluk Tapian Nauli, akan tetapi Inggris meminta bantuan dari Natal dan Inggris kembali menduduki Tapian Nauli (Poncan Ketek).

1786 : Aceh kembali menyerang Inggris di Tapian Nauli. Serangan ini tidak berhasil karena Inggris meminta bantuan ke Natal.

1801 : Jhon Prince ditetapkan menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Poncan Ketek. Sejak saat itu Poncan Ketek mulai ramai didatangi oleh orang Cina, India, dan lain-lain.

1815 : Residen Jhon Prince mengadakan kontrak perjanjian dengan Raja-Raja sekitar Teluk Tapian Nauli, termasuk Raja Sibolga. Perjanjian ini disebut “Perjanjian Poncan” atau “Perjanjian Batigo Badusanak”.

1825 : Inggris menyerahkan Poncan kepada Belanda, sebagai realisasi Traktat London 17-3-1824.

1850 : Belanda mulai menata pemukiman di Sibolga dengan menimbun rawa-rawa dan membuat parit-parit.

1851 : Pengukuhan Adat Pusaka di Teluk Tapian Nauli dan sekitarnya oleh Residen Tapanuli Conprus.