Pendahuluan;
Sidjabat berpendapat (1983:326) dan percaya bahwa Sisingamangaraja sendiri sebagai penemu/pendiri sekte Parmalim.
Sedangkan Sitor Situmorang (1993) menjelaskan sebuah interpretasi historis mengenai munculnya sekte Parmalim dengan Sedikit berbeda. Ia (Situmorang 1993:63) mengatakan bahwa Somaliang telah datang kepada Raja Sisingamangaraja XII dan menyatakan mengenai ‘visi’nya untuk mendirikan sekte Parmalim masyarakat Batak Toba, namun ‘Raja Sisingamangaraja menjadi marah dan menolak Somaliang’. Dan pada
suatu ketika, Sisingamangaraja telah ditanya oleh seseorang mengenai agamanya; ia kemudian menjawab,‘Agamaku adalah agama di atas segala agama.’
Parmalim: diskursus kesejarahan dan proses rasionalisasi religius
Secara historis, religi Parmalim pertama kali diprakarsai oleh seorang datu bernama Guru Somaliang Pardede (Horsting 1914; Tichelman 1937; Helbig 1935), seorang yang sangat dekat dengan Sisingamangaraja XII (raja terakhir dari dinasti Sisingamangaraja). Menurut beberapa penulis Barat, ajaran ini dijalankan oleh para pengikut Sisingamangaraja (khususnya oleh dua orang pemimpin perangnya, Guru Somaliang dan Raja Mulia Naipospos), dengan tujuan untuk melindungi kepercayaan dan kebudayaan tradisional Batak Toba dari
pengaruh Kristen, Islam, dan kolonialis Belanda (Sidjabat 1983:326) 8 . Masashi Hirosue (1988:75-76) berpendapat bahwa gerakan Parmalim merupakan ‘gerakan anti mesianis-kolonial’ yang ingin menghancurkan kerajaan Sisingamangaraja. Ia selanjutnya menjelaskan,‘gerakan religi baru’ dari Somaliang pada umumnya bisa dipahami sebagai gerakan mesianis yang mengantisipasi kemunculan
kembali dari Si Singamangaraja, dan sekaligus juga merupakan sebuah reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda dan Kristenisasi terhadap masyarakat Batak Toba.
Di dalam kehidupan masa lalunya Somaliang Pardede pernah bertemu dengan Dr.Modigliani—seorang pendeta Katolik,
sekaligus juga seorang ahli tumbuhan, berkebangsaan Itali—yang bekerja di tanah Toba sejak 1889 hinga 1891. Ia telah menjadi pemandu Modigliani selama periode waktu itu.
Pada saat bersamaan, Somaliang juga mempunyai kontak dengan warga Muslim Aceh di timur Sumatera. Hubungan Somaliang dengan orang Aceh pada dasarnya merupakan suatu kolaborasi untuk menghadapi opresi kolonial Belanda di wilayah utara Sumatera.
Karena Somaliang telah diasumsikan oleh Belanda sebagai seorang ekstrimis yang berbahaya, ia akhirnya ditangkap dan dibuang ke Pulau Jawa pada tahun 1896. Namun demikian, ajaran Parmalim tetap dipraktekkan oleh murid-murid Somaliang dan pengikutnya yang lain setelah pengasingannya. Tetapi mereka menghadapi opresi yang baru, yakni berbagai tekanan dari misionaris Kristen (Horsting 1914:163).
Tichelman (1937:27-28) menyatakan bahwa terjadinya kontak kebudayaan telah mempengaruhi terbentuknya ajaran Parmalim,dan menghasilkan produk religi ‘sinkretis’ sebagai contoh dapat ditemukan beberapa elemen Katolik di dalamnya, seperti ‘Jahowa’ (Jehovah, nama Tuhan dalam ajaran Katolik),
‘Maria, Yesus’, dan nama-nama orang suci dalam ajaran Katolik. Pengaruh Islam juga terdapat di dalam ajaran tersebut.
Nama ‘parmalim’ itu sendiri berasal dari kata ‘malim’,
yakni dari kata Melayu ‘malim’ yang berarti “ahli dalam pengetahuan agama’ (dalam bahasa Arab, ‘muallim’).
Tidak seperti Tichelman, interpretasi Horsting (1914) terhadap
historiografi religi Parmalim sedikit berbeda. Ia menyatakan, religi Parmalim merupakan percampuran (blend) dari ajaran Jahudi, Katolik,Islam dan ajaran Sipelebegu 9 .
Tuhan mereka adalah Jehowah yang mengirim/menghadirkan Si Singamangaraja untuk menggantikan diriNya. Setelah kematiannya, para pengikut Parmalim percaya bahwa jiwanya mendapat tempat ‘di sisi tangan kanan dari Jahowa’ (Horsting 1914:1963-164; lihat juga Helbig 1935).
Pendapat dan pandangan mengenai keberadaan religi Parmalim juga banyak dibicarakan oleh para peneliti penduduk asli
Batak Toba sendiri; di antaranya Nurmasita R.Gultom (1990), Bernard Purba (1986); dan Gerfarius Aritonang (1991).
Gultom (1990) menyatakan bahwa ‘agama’ tradisional Batak Toba dikombinasikan dalam beberapa organisasi religius yang di antaranya disebut Parmalim, Si Raja Batak, dan kelompok
masyarakat tradisional yang tidak memeluk satu pun dari keduanya. Setelah agama Kristen dan Islam masuk ke tanah Batak, sebagian masyarakat menerima dan berpindah ke salah
satu dari kedua agama tersebut.
Meskipun mereka telah menganut salah satu agama,berbagai konsep berasal dari kepercayaan tradisional tetap dipraktek-kan, khususnya pada masyarakat yang berdiam di pedesaan.
Kebanyakan masyarakat menganggap, konsep maupun perilaku tradisional tersebut hanya sebagai ‘adat’. Kenyataannya, sulit untuk membedakan/memisahkan antara ‘adat’ dan ‘religi’ dalam kehidupan orang Batak Toba.Kedua aspek tersebut menyatu di dalam kebudayaan spiritualnya (Gultom 1990:31; lihat juga Pelly 1986/87:2).
Interpretasi lain dari religi Parmalim datang dari Aritonang10 , seorang penduduk asli Batak Toba yang sedang melakukan penelitian intensif di tengah masyarakatnya. Ia menduga
bahwa Parmalim berasal atau bersumber dari berbagai kepercayaan tradisional Batak Toba yang ‘secara ritual dan politis diorganisasi/diformulasikan’, sebagai suatu reaksi terhadap situasi sosial politis yang terjadi. Ia menyatakan
bahwa terdapat kesamaan antara tonggo (satu upacara religius-tradisional persembahan)—khususnya di dalam upacara Saem (lit.:‘penyembuhan’)—dengan ritual yang terdapat di dalam religi Parmalim.
Meskipun dalam kepercayaan tradisional Batak Toba, tiap upacara memiliki cara tersendiri dalam pelaksanaannya, di dalam Parmalim, para anggotanya telah mengakumulasi upacaraupacara yang berbeda-beda tadi ke dalam ritualritual ‘khusus’ yang ‘baku’ dengan cara-cara dan terminologi tersendiri.
Sehubungan dengan kata ‘parmalim’ itu sendiri, Aritonang menolak berbagai asumsi yang dikemukakan terutama oleh para ilmuwan seperti Tichelman, Horsting, dan Helbig.
Ia berpendapat bahwa kemungkinan besar kata ‘parmalim’ berasal dari vokabuler bahasa BatakToba sendiri. Setelah meneliti dan menganalisis gambaran linguistik (linguistic
features) dari konsep dan penggunaan bahasa Batak Toba, ia memunculkan hipotesa bahwa kata ‘parmalim’ dapat disarikan berasal dari beberapa fonem, ‘par-mala-ham’ (lit.: ‘orang yang baik’) yang memiliki akar kata ‘mala’ (lit.:‘sesuatu yang ditanyakan/diminta, itu akandiberikan’).
Parmalim: religi lokal versus agama negara
Mengacu pada asumsi serta kebijakan pemerintah bahwa dalam beberapa hal, kebudayaan lokal-tradisional harus
‘dipreservasi’ dan ‘dikembangkan’—sejalan dengan idealisasi terhadap apa yang disebut ‘kebudayaan nasional Indonesia’—pemerintah Indonesia mempromosikan ‘riset dan penelitian’ terhadap berbagai kebudayaan lokal-tradisional melalui sensus yang langsung berada di bawah koordinasi program Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam gerakan nasional ini, riset terhadap kepercayaan/religi tradisional pun diikutsertakan sebagai bagian dari program. Pada kenyataannya, religi Parmalim telah menjadi salah satu dari 6 (enam) kepercayaankepercayaan lokal yang akan diteliti olehpemerintah sejak tahun 1985 (lihat Pelly 1986/1987).
Parmalim sebenarnya telah terdaftar secara formal empat tahun sebelumnya sebagai salah satu ‘aliran kepercayaan’ melalui sebuah surat yang dilegitimasi oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1980.
Tetapi, untuk mendapatkan status/pengakuan‘religius’ tersebut, para pengikut Parmalim harus mengisi berbagai kriteria-tertulis yang ‘disyaratkan’ oleh pemerintah Indonesia.
Kriteria-prasyarat yang harus dipenuhi oleh para pengikut Parmalim, sesuai tuntutan pemerintah, ialah adanya ‘pedoman dasar’ dan ‘pedoman pelaksanaan’ dari religi yang ada.
Hal yang harus mampu direfleksikan di kedua pedoman tersebut adalah di antaranya kesimpulan dari nama religi, tujuan, latar belakang ideologis, fungsi dan hak-hak dari
para pengikut, dukungan keuangan, dan konstruksi dari sistem kepercayaan-religiusnya.
Salah seorang dari informan warga Parmalim memberikan komentarnya atas kebijakan/tuntutan pemerintah ini, ‘…semua kriteria itu tidak masuk akal sama sekali, itu terlalu
institusional dan politis, … namun, sepanjang kriteria itu dipenuhi tanpa ada hal yang tidak sesuai [bertentangan] dengan hukum dan peraturan pemerintah Indonesia, tidak akan ada masalah; kami (kepercayaan kami) akan diterima’.
Cara pengikut Parmalim menghadirkan dan mengonstruksi religi mereka dalam memenuhi kebutuhan/kepentingan ‘standardisasi agamanegara’ dapat dilihat sebagai berikut:
‘… Kepercayaan UGAMO MALIM adalah salah satu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai perwujudan sila pertama PANCASILA, dan diatur dalam UUD-1945.
Karenanya warga Penghayat UGAMO MALIM bertanggungjawab serta berkewajiban menghayati, mengamalkan PANCASILA,
serta melestarikan dan menjaga kemurniannya secara utuh sebagai Dasar Negara dan Falsafah hidup bangsa Indonesia’ (Naipos-pos1987:1).’ [Teks diambil dari proposal Parmalim, ‘Pedoman Dasar dan PedomanPelaksanaan: Kelompok Warga PenghayatKepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
“Ugamo Malim” (Parmalim)’].
Sehubungan dengan ide monoteisme,pengikut Parmalim secara sadar menempatkan di depan figur supernatural Mulajadi Na Bolon(lit.: ‘Yang Besar, Yang Mengawali’) untuk
‘menyesuaikan’ konsep tradisional mengenai keTuhanan (divinity) dengan konsep monoteistik negara. Di dalam kepercayaan Parmalim, sesungguhnya terdapat kompleksitas figur supernatural yang memiliki peran dan kepentingan religius yang dapat ditemukan di berbagai praktek-praktek ritual maupun seremonial Parmalim.
Meskipun Parmalim telah diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai satu ‘aliran kepercayaan’ yang sah, namun (seperti apa yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos/ Pemimpin Parmalim di Huta Tinggi, Tapanuli Utara), amat sulit bagi pengikut Parmalim untuk mendapatkan kesempatan yang sama di berbagai bidang kehidupan. Beberapa restriksi yang sering dialami meliputi kesulitan untuk mendapatkan posisi tertentu di dalam pekerjaan, memasuki perguruan tinggi, terutama di universitas-universitas negeri, menjadi tentara, dan terkadang juga untuk mendapatkan surat tanda kawin atau kelahiran dari instansi pemerintah terkait. Alasan mengapa ini terjadi,kembali Naipos-pos menyatakan, ‘…sedikit sekali pengetahuan orang Indonesia mengenai keberadaan dari ragam sistem kepercayaan tradisional yang mereka miliki; lebih buruk lagi,masyarakat kelihatannya kurang memahami esensi dari makna religius’. Menanggapi keadaan dan situasi ini, Naipos-pos selanjutnya mengatakan, ‘…kami gembira karena
kepercayaan kami telah diakui pemerintah Indonesia, tidak seperti banyak kepercayaan lain yang masih dianggap “ilegal”. Kami percaya bahwa persepsi masyarakat akan berubah di dalam kehidupan religius masyarakat Indonesia mendatang’.
Di dalam menanggapi keberadaan agamaagama negara, seperti Islam, Kristen dan Budha dan lainnya, para pengikut Parmalim memiliki cara dan interpretasi tersendiri. Bagian dari
dasar interpretasi terkait dengan salah satu konsep dasar ajaran Parmalim, yakni hagogoton 11 .
Hagogoton , secara literalreligius bermakna ‘jika terjadi sesuatu/ kejadian yang tidak benar di suatu tempat tertentu di dunia, Mulajadi Nabolon akan mengutus seorang yang baik yang mampu mengatasi kejadian yang ada’. Dengan konsep dan kesadaran tersebut, para pengikut Parmalim percaya bahwa setiap agama akan melahirkan pemimpinnya masing-masing. Jadi, mereka percaya Musa, Yesus, Muhammad, dan lainnya,muncul untuk kepentingan bangsanya, sama dengan Sisingamangaraja bagi orang Batak-Toba.
Gerakan pelestarian budaya yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia, dalam tingkat tertentu, juga telah mempengaruhi
diskursus religius Batak Toba, terlebih dalam menginter pretasikan isu tersebut. Sebagian dari masyarakat Batak Kristen berpendapat bahwa melestarikan kebudayaan Batak Toba atau ‘adat’ adalah bagian dari menegakkan kembali
(re-establihsing ) identitas etnis maupun kultural mereka. Hal ini bukan berarti harus kembali pada kepercayaan tradisional yang ada.
Sebagian yang lain ternyata berpendapat berbeda. Memisahkan adat dari berbagai aspek yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba (termasuk aspek religius) adalah suatu hal yang mustahil. Perdebatan pandangan semacam ini kelihatannya terus berlangsung di tengah masyarakat Batak Toba hingga kini.
Hal yang menarik dari adanya fenomena pertentangan ini, terutama bagi masyarakat Kristen Batak Toba yang masih memiliki keinginan atau perasaan yang kuat dan terikat
dengan kepercayaan tradisionalnya, adalah upaya mereka untuk mencoba merekonstruksi satu konsep religius tradisional apa yang disebut ‘hahomion’12 (lit.: ‘rahasia’) menjadi
bagian dari praktek keagamaan. Karena para misionaris Kristen melarang berbagai tipe upacara, terutama yang berbau kepercayaan tradisional, masyarakat akan menggunakan
hahomion untuk menyembunyikan aktivitas ritual seperti ini dari pandangan publik.
Kelihatannya, masyarakat Batak Toba sangat memperhatikan dan saling memaklumi akan kebutuhan itu. Seperti komentar sebagian besar informan penduduk asli yang saya temui
di lapangan, ‘…memberi penghargaan/persembahan kepada roh leluhur sebagai bagian penting dari kehidupan spiritual orang Batak Toba, kelihatannya sama pentingnya bagi yang telah menganut Kristen atau tidak’. Dalam pandangan saya, telah terjadi dualisme kepercayaan di tengah kehidupan masyarakat Batak Toba, terutama yang bermukim di
pedesaan.
Kesimpulan
Pandangan maupun kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya mengenai penilaian terhadap isu agama-religi-kepercayaan—dalam beberapa tingkatan—telah terbentuk secara politis oleh persepsi maupun asumsi yang dikembangkan oleh pemerintah, baik secara eksplisit maupun implisit. Di satu sisi, idea ‘monoteisme’, sebagai dasar filosofi ‘agama negara’, kelihatannya hanya sekedar bermakna
politis, tanpa usaha untuk memahami berbagai esensi, terutama berkaitan dengan kompleksitas dinamika keagamaan yang terjadi di Indonesia. Berbagai permasalahan yang
dihadapi komunitas warga pengikut Parmalimtelah menjadi contoh. Di sisi lain, peran ilmuwan sosial dalam ‘menegaskan’ dan ‘meligitimasi’ kepentingan politis negara/pemerintah
merupakan hal yang sangat ‘berbahaya’, sebab sifat nature dari berbagai kajian keilmuan yang terus berkembang tidak semata sesuai dengan kebutuhannya. Kekhawatiran ini sesungguhnya telah disinggung dan dikemukakan oleh
Hefner (1993), terutama ketika ia mencoba mempertanyakan kembali pemahaman teks dan konteks rasionalisasi kultural (cultural rationalization)yang ‘sempit’ dengan konsep
rasionalisasi yang lebih luas. Setidaknya,dengan konsep rasionalisasi itu kita tidak mudah terjebak pada penilaian-penilaian ideologis yang subyektif.
Dari sisi pandang linguistik, kekaburan batas antara definisi ‘agama, religi’, dan ‘kepercayaan’ dapat dipahami. Hal itu menjadi wajar saat kita melihat penggunaan kata tidak
hanya terbatas pada eksklusivitas pengertian yang kaku, tetapi menempatkanya pada konteks kompleksitas makna-makna yang lain. Dengan sendirinya, ideologi kebebasan beragama tidak hanya dipahami sebatas hal yang idealnormatif,
tetapi lebih merupakan sesuatu yang muncul dari kesadaran kemanusiaan yang fundamental.
Berbagai kompleksitas persoalan maupun permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini sedikit banyak diakibatkan oleh minimnya kesadaran para ilmuwan sosial di Indonesia
untuk menempatkan serta mensosialisasikan wawasan keilmuan berdasarkan tuntutan dan realitas obyektif di
lapangan. Kecenderungan orientasi disiplin Antropologi di Indonesia (setidaknya, menurut saya) lebih mengarah pada penyesuaian terhadap berbagai kepentingan rezim
pemerintah. Berbagai isu maupun persoalan etnisitas, identitas, multikulturalisme, dan religi di Indonesia mendapat perhatian yang relatif kurang dalam kajian-kajian antropologis, paling tidak sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru di Indonesia. Padahal, semua point di atas merupakan bagian dari persoalan yang mendasar yang harus dipahami bangsa yang
multi kompleks ini.
8 Sidjabat (1983:326) percaya bahwa Sisingamangaraja sendiri sebagai penemu/pendiri sekte Parmalim. Sitor Situmorang (1993) menjelaskan sebuah interpretasi historis mengenai munculnya sekte Parmalim dengan Sedikit berbeda. Ia (Situmorang 1993:63) mengatakan bahwa Somaliang telah datang kepada Raja Sisingamangaraja XII dan menyatakan mengenai ‘visi’nya untuk mendirikan sekte Parmalim masyarakat Batak Toba, namun ‘Raja Sisingamangaraja menjadi marah dan menolak Somaliang’. Dan pada
suatu ketika, Sisingamangaraja telah ditanya oleh seseorang mengenai agamanya; ia kemudian menjawab,‘Agamaku adalah agama di atas segala agama.’
9 Sipelebegu adalah terminologi Batak Toba yang secara literal mengandung arti ‘pemuja roh’. Term ini telah digunakan khususnya oleh para misionaris Kristen untuk menandakan segala tipe dari kepercayaan tradisional Batak Toba dalam kesan religius yang negatif sebagai ‘pemuja setan/hantu’. Namun, beberapa dari konsultan penduduk asli yang pernah saya wawancarai menolak pendapat tersebut dan menyatakan bahwa sipelebegu, di dalam konsepsi dan
pemahaman religius mereka adalah sebutan untuk orang-orang yang mempraktekkan ajaran ilmu hitam (black magic). Religi Parmalim berbeda dengan hal semacam itu. Seperti apa yang sering mereka katakan,‘kolonial Belanda dan misionaris Kristen tidak dapat serta tidak ingin untuk memisahkan antara kedua hal tersebut sebab untuk kepentingan politis mereka.’
10 Aritonang adalah mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Fak. Sasra USU yang sedang melakukan penelitian intensif di tengah masyarakat Batak Toba, khususnya memfokuskan pada analisis terhadap tonggo-tonggo (teks-teks religius tradisional) di dalam beberapa upacara Saem yang berbeda. Data yang saya kemukakan di atas merupakan hasil komunikasi pribadi saya dengannya, 9 Oktober 1994.
11Terima kasih kepada Aritonang yang telah membagi pengalaman lapangannya, khususnya mengenai konsep maupun pemahaman dari kepercayaan Parmalim.
12 Hahomion merupakan kepercayan tradisional yang mengharuskan seorang individu, sekelompok keluarga atau pun marga (klen) mempersiapkan dan
melaksanakan upacara untuk mendapat anugerah dari para arwah leluhur. Upacara dilaksanakan secara khusus dan bersifat rahasia, dilakukan hanya oleh parapemrakarsa perencana upacara.