sukarno

 Siapa yang tak mengenal Presiden pertama Indonesia ? Tampaknya, pertanyaan semacam itu tak cukup baik untuk dilempar ke ruang publik. Sesuatu yang jarang diketahui oleh masyarakat publik dari seorang Seokarno adalah mengenai pemikirannya yang sangat luas, bahkan ia memahami hampir seluruh pengetahuan, bahkan pemikiran kebangsaannya tak lepas dari pemahaman agama dan kitab suci Al-Quran.

Bagaimana tidak ? Pada tanggal 30 September 1960, Soekarno pernah membuat geger Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan membuat terkesima bangsa-bangsa lain atas pidatonya di depan Sidang Umum PBB XV.

“Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung jawab yang besar. Saya merasa rendah hati berbicara di hadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan yang bijaksana dan berpengalaman dari timur dan barat, dari utara dan dari selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama,” kata Soekarno mengawali pidatonya ketika itu.

Setelah mengawali pidatonya (lihat:”Total Bung Karno”, karya Roso Daras, 2009 dan 2013), Soekarno memanjatkan doa di depan sidang agung PBB dengan kalimat, “Saya telah memanjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar lidah saya dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah berdo’a agar kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya”. Kalimat bernada munajat atau doa itu – merupakan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Musa dalam melawan Kedzaliman penguasa Fir’aun. Hal tersebut termaktub dalam al-Quran, Surah Thaha, 25-28.

Dalam sidang itu Soekarno memang terlihat cukup berbeda dengan kepala negara lainnya. Sebab, setiap kepala negara yang berpidato hanya sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Soekarno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur tanpa mempedulikan protokoller sidang umum seperti biasanya. Dengan baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamatanya, Soekarno menyampaikan: “Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada tuan ketua atas pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira sekali untuk menyampaikan atas nama bangsa saya ucapkan selamat datang yang sangat mesra kepada keenambelas anggota baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

“Kitab suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita semua saat ini,” buka Soekarno dalam pidatonya yang berjudul To Build the World a New. Ia pun tak lupa menyitir ayat al-Qur’an dan berkata: “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu.” (Qs. al-Hujarat: 13)

Pertanyaannya adalah, mengapa banyak pemimpin negara yang berasaskan Islam termasuk Arab Saudi tidak satupun yang mengutip Al-Quran seperti yang disampaikan Soekarno?

Meski demikian, ia tak lupa mengenalkan Pancasila pada dunia. Ia kupas satu persatu butir dalam Pancasila penafsiran beserta pemaknaannya, bahkan Soekarno dengan bangga mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi alternatif.

Alhasil, Presiden pertama Republik Indonesia pun berhasil memukau para pimpinan dunia, dan Pancasila sebagai falsafah Indonesia telah merasuk ke dalam sanubari para pemimpin dunia.

Karena itu, Soekarno kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika. Penobatan itu dilakukan pada pertemuan para pemimpin negara-negara Asia Afrika di Kairo Mesir, yang kemudian melahirkan Gerakan Non Blok pada tahun 1961 – sehingga ia menjadi mercusuar, bukan saja bagi bangsanya, tetapi bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Soekarno Menyelamatkan Kampus Al-Azhar Mesir 

Negeri Piramida sedang dilanda prahara politik yang tak kunjung reda, tarik-menarik kekuatan politik untuk memperebutkan pengaruh Al Azhar-pun tak terelakkan. Tumbangnya rezim Hosni Mubarak pada bulan Februari 2011 dan kudeta militer terhadap Presiden Mohammad Moursi pada bulan Juli 2013, tak pelak lagi, berdampak sangat serius terhadap eksistensi Al Azhar.

Mesir merupakan salah satu negara yang paling sering dikunjungi Soekarno, tercatat sebanyak enam kali Presiden Pertama Indonesia ini melakukan kunjungan resmi kenegaraan. Puncak kemesraan hubungan bilateral Indonesia – Mesir terjalin ketika Mesir dipimpin oleh Gammal Abdul Nasser. Selain itu, peran keduanya sebagai pemrakarsa Konferensi Asia – Afrika, membuat nama Presiden Soekarno begitu harum di mata pemerintah dan rakyat Mesir, hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan di Mesir.

Soekarno dikenal di Mesir dengan nama Ahmad Soekarno. Penambahan nama “Ahmad” dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir untuk memperkuat nuansa keislaman sehingga menarik perhatian masyarakat Mesir bahwa Presiden Indonesia beragama Islam, seragam dengan nama Wakil Presiden yang diawali nama Mohammad.

Ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Presiden Gamal Abdel Nasser menyatakan Mesir berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah. Presiden Nasser juga menggirimkan kawat belasungkawa kepada Presiden Soeharto atas wafatnya Bung Karno, tulis koran Al Ahram, 22 Juni 1970. Hanya tiga bulan setelah Bung Karno wafat, Presiden Nasser juga menyusul kembali ke Sang Khalik pada 28 September 1970.

Rencana Penutupan Al-Azhar

Berdiri sejak 969 M, bangunan universitas ini berhubungan dengan Masjid Al- Azhar di wilayah Kairo Kuno. Sebutan Al Azhar diambil dari nama Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Nabi Muhammad. Sumber lain menyatakan bahwa pada bulan Ramadan 350 Hijriah (Oktober 975 M), secara resmi proses belajar mengajar di Al Azhar dimulai. Universitas ini dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah.

Kisah tentang “jasa” Soekarno terhadap salah satu Universitas Islam tertua di dunia ini pertama kali terungkap dalam acara talkshow “Wallahu’alam” di kanal CBC 2, Agustus, tahun 2014. Adalah Syeikh Ali Jum’ah, anggota Hai’ah Kibar Ulama (suatu badan khusus di Al Azhar beranggotakan para ulama senior yang sangat berpengaruh) yang juga mantan mufti Mesir, yang menjelaskan bahwa hubungan antara Seokarno dan Gamal Abdul Nasser sangat erat, keduanya merupakan sahabat karib. Hingga suatu saat Gamal Abdul Naser mengutarakan keingininannya untuk menutup Al Azhar. Ancaman penutupan itu akibat Nasser melihat gelagat kalangan ulama Al Azhar yang ingin bergabung dengan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaannya.

“Ahmad Soekarno menanggapi, apakah engkau bakal menghapus Nil? Apakah engkau bakal menghapus piramid? Kita tidak mengenal kalian sama sekali kecuali dengan Al Azhar!,” ujar Syeikh Ali Jum’ah.

Mantan Mufti Nasional Mesir tersebut mengamini pandangan Bung Karno bahwa Al Azhar dan Mesir ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, yakni Al Azhar adalah Mesir, dan Mesir adalah Al Azhar.

Peristiwa itu menurut Syeikh Ali Jum’ah terjadi pada tahun 1959. Setelah itu, terbit undang-undang yang pasal utamanya berisi bahwa Al Azhar adalah rujukan keislaman seluruh dunia, bukan hanya sebatas Mesir saja. Universitas Al-Azhar batal ditutup.

Berkat jasa tersebut, Universitas Al Azhar menganugrahkan doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada Bung Karno dalam kunjungan ketiga ke Mesir pada bulan April 1960.

Syiekh Agung Al Azhar Mahmoud Shaltut menyematkan gelar kehormatan akademis itu di gedung pertemuan Universitas Al Azhar pada tanggal 24 April 1960, pukul 12.00 waktu setempat, seperti terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir”.

Kisah dari Al Azhar ini merupakan salah satu dari sederet kenangan abadi Sang Proklamator dalam kunjungnnya ke mancanegara.