demo

Di Indonesia, akhir-akhir ini konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana. Mulai dari kasus Bom Bali, Bom Hotel JW Marriot, Bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung sampai penutupan Rumah Ibadah Kristiani di Bandung Jawa Barat.

Di luar negeri, kekerasan atas nama agama mengambil bentuknya dalam berbagai kejadian seperti orang-orang Yahudi yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis, atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, serta akar-akar konflik (etnis) –agama berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia dan sebagainya.

semo

Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya bersifat rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua) tapi juga bencana, karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan; tetapi manusia saja yang kemudian menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan kita.

Pertanyaan selanjutnya adalah; mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya (dengan) mengatasnamakan agama? Dan bagaimana penjelasan filosofis terhadap fenomena tersebut? Tulisan ini, secara umum, memang ditujukkan untuk menjawab pertanyaan krusial tersebut. Dalam tulisan ini, yang akan dibicarakan adalah kekerasan dengan mengatas namakan agama. Bentuk kekerasan inilah yang kita kenal sebagai kekerasan teologis, yaitu menggunakan dalih dan dalil agama untuk melegitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar dan perjuangan suci melawan kelompok-kelompok lain.

Relasi agama yang tidak hanya dengan perdamaian, tetapi juga kekerasan sangatlah sulit untuk kita tolak manakala kita menyaksikan bahwa agama seringkali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama. Menurut Haryatmoko (2000) setidaknya ada 3 alasan mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindak kekerasan. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. Lebih jauh fungsi perekat ini, disisi lain juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidak adilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan. Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga. Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama. Padahal orang tahu, di dunia apalagi dunia ketiga, ekonomi pasar sangat akomodatif terhadap rezim anti-demokrasi, yakni represif terhadap gerakan kesetaraan dan biang dari kekerasan struktural. Dengan demikian potensi agama untuk diikut sertakan dalam tindak kekerasan sebagai ‘landasan dan legitimasi’ menjadi sangat memungkinkan.

FUNDAMENTALIS AGAMA, FUNDAMENTALIS SEKULER DAN TEROR SUCI

Akar kekerasan teologis, secara teoritis, sesungguhnya bisa kita lihat muaranya pada 2 hal utama yakni; (1) bagaimana peran agama dan, (2) bagaimana keterikatan pemeluknya terhadap agamanya masing-masing. Mengenai peran agama, sebenarnya terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni; (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka, selain bahwa eksistensi agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual belaka; karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.

Selain masalah fanatisme dan toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya untuk memiliki keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan penghayatan tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama mereka. Dalam situasi tertentu, tuntutan keterikatan ini bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang bahkan bisa menjurus kepada tindak kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan upaya secara ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras meluruskannya ketika agama mereka dianggap telah diselewengkan. Jadi kekerasan atas nama agama, bisa dikatakan tidak hanya sebagai kelanjutan dari fundamentalisme yang menguat, tetapi juga karena hadirnya tantangan dari luar yang juga menguat. Dalam konteks ini, primordialisme juga muncul secara kuat sehingga kekerasan pihak luar yang dilawan kekerasan adalah salah satu manifestasi bentuk primordialisme tersebut.

Selanjutnya, kekerasan atas nama agama bisa terjadi juga karena munculnya hubungan diantara keduanya yang ditandai oleh ambiguitas, yakni sifat mendua yang sangat nyata. Inilah yang kemudian melahirkan pepatah bahwa agama ibarat dua sisi mata uang yang bertolak belakang, sebagai sumber kedamaian; sekaligus sebagai sumber kekerasan dan konflik. Kalangan agamawan boleh saja mengklaim orientasi kepada kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan ajaran agama-agama , tetapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan terjadinya konflik dan kekerasan. Mengenai yang terakhir ini, Ihsan Ali-Fauzi (2005) menyatakan bahwa akar kekerasan teologis juga bisa bersifat internal dan eksternal. Untuk akar teologis internal, Ihsan menyebutnya sebagai kaum fundamentalis agama sedangkan akar teologis yang bersifat eksternal menurut Ihsan adalah kaum fundamentalis sekuler.

Kaum fundamentalis agama, menurut Ihsan, adalah mereka yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada ditangan (agama) mereka dan hanya ditangan mereka, yang bulat tanpa benjol sedikitpun; karena bersumber langsung dari Tuhan yang sepenuhnya benar dan tugas mereka adalah memperjuangkan kebenaran itu, termasuk dengan cara-cara kekerasan. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini (yang mungkin ada disemua agama tanpa pandang bulu), dengan sendirinya menjadi militan dan ekstrimis karena mereka mengklaim bahwa merekalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati dijalan-Nya sama artinya dengan mati syahid, dengan kepercayaan pada surga sebagai balasannya yang setimpal. Sementara itu kaum fundamentalis sekuler, menurut Ihsan, adalah mereka yang merasa bahwa agama sudah tidak punya lagi hak untuk hidup sekarang ini. Banyak alasan yang diberikan kelompok ini tentang fenomena ‘kematian’ agama, misalnya; karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia saja; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah seperti banyak di catat sejarah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya dan sebagainya. Kelompok ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis di abad ke-18 yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan dan sedikitpun tidak punya kebajikan serta harus diluluh-lantakkan sehabis-habisnya.

Lebih lanjut menurut Ihsan, mereka yang berada di kedua front fundamentalis di atas, baik fundamentalis agama maupun sekuler, keduanya sama-sama dirugikan dengan kekerasan atas anama agama, kecuali jika mereka berpandangan bahwa kehidupan yang normal adalah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan kekerasan secara terus-menerus.

Dalam realitas dunia sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari benturan antara fundamentalis agama dan fundamentalis sekuler seperti di atas. Teror (al-irhab) pada hakikatnya adalah suatu kata yang memiliki banyak makna dan gambaran bentuk yang beraneka ragam. Namun demikian, semuanya berkisar pada kata ikhafah yang berarti membuat orang lain takut atau secara sengaja mengganggu stabilitas keamanan umum sebagai ancaman. Thomas Perry Thronton, misalnya, memaknai terorisme dalam 2 pengertian, yakni: (1) aktivitas pemberontak untuk mengacaukan tatanan yang sudah ada untuk memperoleh hak dan kekuasaan, dan (2) kegiatan orang yang memiliki kekuasaan yang ingin menindas penghalang dan kelompok oposisi dalam menuju, mempertahankan dan atau memperbesar kekuasaannya. Nah, dalam relasi konteks kekerasan teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan, sebagai titik pijak maupun agama sebagai “kekuasaan”, sebagai tujuan dari aktivitas kekerasan bernama terror itu.

PROSES INTEGRASI KEKERASAN TEOLOGIS

Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi. Namun demikian, Charles Kimbal menjelaskan terdapat lima situasi, dimana agama sangat berpotensi untuk berintegrasi dengan tindak-tindak kekerasan.

Pertama, ketika agama mengklaim kebenaran agama sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Sebagai bukti, Kimbal mencontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan Kristen Fundamentalis. Pada tanggal 10 Maret 1993 Michael Griffin menembak dan membunuh David Gunn yang menangani aborsi di luar klinik aborsi di Pensacola, Florida. Lima hari kemudian, pendeta Paul Hill muncul di acara televisi Donahue dan membenarkan tindakan Griffin. Kimbal sendiri mengakui bahwa klaim kebenaran adalah unsur utama dalam setiap agama, tetapi hal itu memunculkan beragam penafsiran. Ketika penafsiran dipahami secara kaku dan tanpa kritik, sebagai kebenaran mutlak, maka bisa mendorong pemeluknya untuk bersikap tidak hanya defensif dan tetapi juga ofensif, termasuk menghalalkan cara-cara kekerasan

Kedua, agama bisa melahirkan tindak kekerasan ketika dibarengi dengan ketaatan secara membabi buta kepada pemimpin agama. Kimbal mengemukakan sejumlah fakta tentang hal ini. Misalnya, gerakan People Temple pimpinan Jim Jones yang melakukan bunuh diri massal dengan cara meminum racun mematikan (sianida) di Guyana pada tahun 1970-an, sekte Aum Shinrikyo di bawah pimpinan Asahara Shoko yang menyebarkan gas mematikan di stasiun kereta bawah tanah di Jepang tahun 1990-an dan gerakan Davidian Branch pimpinan David Koresh yang melakukan bunuh diri massal dengan cara membakar diri di Texas Amerika Serikat (AS) tahun 1990-an. Uniknya, menurut Kimbal, gerakan mereka pada awalnya justru merupakan gerakan pembebasan rakyat dari kejahatan sosial, kemudian menarik dan mengisolasi diri serta membentuk satu komunitas bersama. Lalu, mereka mengklaim bahwa merekalah yang bisa diselamatkan dan keselamatan ini hanya bisa dicapai dengan ketaatan (buta) kepada sang pemimpin.

Ketiga, agama juga menurut Kimbal bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika umatnya mulai merindukan zaman ideal mereka di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa sekarang. Kimbal memberi contoh ide negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria.

Keempat, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika tujuan tertentu menghalalkan segala cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi karena berbagai hal seperti (a) karena mempertahankan tempat suci. Misalnya, makam tradisional Ibrahim di Hebron di Tepi Barat. Tempat itu disucikan oleh kaum Yahudi, Kristen dan Islam. Pada hari Purim 25 Februari 1994 seorang dokter Yahudi – Amerika memasuki masjid dan menembaki Muslim Palestina yang ada di dalamnya. (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya. Misalnya, kasus pembubaran Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung beberapa waktu lalu oleh sekelompok orang yang menamakan Gerakan Umat Islam (GUI). GUI menilai kelompok JAI sebagai kelompok sesat dan menyesatkan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga harus dibubarkan (dengan cara apapun) (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam dan (d) untuk mempertegas indetitas kelompok melawan orang luar.

Kelima, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika perang suci (holy war) sudah dipekikkan. Contoh tentang hal ini, menurut Kimbal, tidaklah terlalu sulit, misalnya Perang Salib, Perang Teluk, atau (propaganda) perang atas terorisme yang banyak memakan korban.

Proses terjadinya integrasi kekerasan teologis dalam diri umat beragama dapat dijelaskan melalui tiga variabel utama.

Pertama, variabel norma dan ajaran agama. Ajaran agama yang berisi norma-norma senantiasa mempengaruhi tingkah laku dan tindakan umatnya. Namun, ajaran agama tentu saja harus diinternalisasikan dan diinterpretasikan karena kebanyakan bersifat sangat umum. Hal ini juga merupakan keniscayaan karena setiap masyarakat beragama mengalami proses sosialisasi primer yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, disamping juga karena perbedaan pengalaman, pendidikan, dan tingkatan ekonomi diantara mereka. Dari proses internalisasi dan interpretasi inilah lahir apa yang diidealkan, terutama yang berkaitan dengan cita-cita kehidupan masyarakat kaum beragama.

Kedua, variabel sikap dan pemahaman agama. Sikap dan pemahaman agama merupakan kelanjutan dari ajaran dan norma agama. Asumsinya adalah bahwa selalu ada beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan norma dan ajaran agama mereka. Sikap ini tersimbolkan dalam penerapan pemahaman kaum beragama ke dalam norma dan ajaran agama mereka. Dalam hal ini biasanya muncul golongan nisbi, substansialis dan skripturalis.

Ketiga, variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini meliputi juga faktor-faktor domestik dan internasional. Hegemoni politik oleh negara ataupun represi yang dilakukan individu ataupun kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok umat beragama akan melahirkan respon yang berbeda-beda dari individu dan kelompok yang ada. Kalangan nisbi biasanya sama sekali tidak merespon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skripturalis yang diasumsikan biasanya akan memperlihatkan sikap radikal termasuk menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara, kelompok substansialis, meskipun memiliki kepedulian terhadap agamanya masing-masing dalam berbagai bidang, mereka akan memperlihatkan sikap lebih moderat dibanding kelompok skripturalis.

Melalui ketiga variabel di atas, proses integrasi kekerasan teologis dijelaskan melalui akar teologis kekerasan (yang bersumber dari ajaran-ajaran dan norma-norma agama), melalui akar antropologis (yang berkaitan dengan kemampuan manusia menerima, memahami dan menafsirkan ajaran dan norma agama melalui implemantasinya dalam sikap dan cara hidup, sebagai suatu budaya) dan melalui akar sosiologis (yakni bersumber dari relasi sosial politik antar individu dan kelompok umat beragama yang berbeda-beda baik dalam skala lokal, domestik (nasional) maupun internasional). Di bawah ini akan dijelaskan akar kekerasan teologis dalam perspektif filosofis.
bersambung………………..