Kontroversi Sejarah sebagai Inspirasi Peradaban

*J SUMARDIANTA

Perbedaan-perbedaan dalam sejarah sesungguhnya memberi pelajaran
kepada umat manusia perihal toleransi dan kebebasan. Aforisma
Francois Caron, Guru Besar Sejarah Universitas Sorbone, Paris,
Perancis, ini kiranya sangat tepat buat merangkum seluruh
kontroversi dan perdebatan buku Tuanku Rao. Buku yang dipublikasikan
pertama kali tahun 1964 oleh Penerbit Tandjung Harapan ini memang
memicu polemik seputar Gerakan Paderi di Sumatera Barat dan ekspansi
pasukan Paderi di Sumatera Utara pada abad ke-19.

Kendati menggunakan metodologi penulisan sejarah Weberian Tuanku Rao
goyah karena mencampuradukkan fakta sejarah, mitos, imajinasi, dan
folklore (cerita rakyat). Satu-satunya sumber hanyalah memoar Tuanku
nan Renceh yang disalin dari tulisan-tulisan berbahasa Arab ke Latin
oleh Sutan Martua Raja-ayah Mangaradja Onggang Parlindungan. Sutan
Martua Raja sendiri tak lain cicit dari Tuanku Lelo. Anakronisme
sejarah terjadi karena Parlindungan miskin sumber pembanding dan
kurus referensi.

Berbagai tarikh, buku Tuanku Rao, mudah longsor, karena dibangun di
atas argumentasi rapuh. Kontroversi menyengat karena Parlindungan
sangat subyektif soal mazhab Hambali dan heroisme Batak. Ia tidak
bisa mengambil jarak dengan problem yang dikaji. Tak ayal, buku ini
tergelincir ke isu primordial etnosentrisme. Kendati demikian, buku
ini memberikan fakta mental berharga tentang dinamika sejarah lokal
umat Islam di Sumatera Utara.

Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak.
Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang
etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837), selaku cabang Gerakan
Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots.
Begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.

Gerakan Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud,
Raja Arab Saudi, kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa
Minangkabau: Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik, dan Haji
Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah
dari tangan pasukan Turki 1802. Para pecundang tidak dihukum mati.
Boleh lepas bebas. Kompensasinya: mereka harus membuka cabang
Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. Agar Hindia Belanda
terbebas dari penguasa penjajah kafir dari Eropa. Maklum, Hindia
Belanda dipandang sebagai mitra strategis kerajaan Arab Saudi.

Kemerdekaan tanah Arab, sebagaimana dialami Abdullah Ibn Saud, hanya
bisa direbut dari Kesultanan Turki-Osmani dengan membentuk tentara
modern. Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan kepada
Kolonel Haji Piobang. Dia bekas perwira kavaleri Yanitsar Turki di
bawah komando Muhammad Ali Pasya. Berkat Haji Piobang, bala tentara
Turki berjaya menumbangkan pasukan Napoleon dalam pertempuran
Piramid di Mesir 1798. Muhammad Ali Pasya pun menghadiahi Haji
Piobang pedang kebesaran. Senjata itulah kelak yang dihibahkan bagi
Tuanku Lelo, pahlawan Paderi yang gagah perkasa, tak lain nenek
moyang Onggang Parlindungan.

Tingki Ni Pidari

Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn
Saud adalah cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku
Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak. Dengan meriam, pasukan
Paderi mampu menembus dan mengobrak-abrik isolasi alam Tapanuli yang
terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba.

Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan, pasukan Paderi memancung
kepala Singamangaraja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota
Dinasti Singamangaraja, tahun 1819. Pongkinangolngolan adalah anak
perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya,
Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak
Singamangaraja X.

Pongkinangolngolan, tutur Onggang Parlindungan, dibuang karena
dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga. Bertahun-tahun
berada di pengasingan di Angkola dan Sipirok. Na Ngol-ngolan, dalam
bahasa Batak, artinya menunggu sesuatu yang tidak jelas dengan tidak
sabar (waiting in vain). Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau
karena khawatir suatu hari dikenali dan dijatuhi hukuman mati. Di
Minangkabau ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo. Pada waktu itu
Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik (tiga tokoh pembaruan
abad ke-19) baru kembali dari Mekkah. Mereka, yang sedang
mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mazhab Hambali ke
Mandailing, mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh.

Tuanku Nan Renceh, mubalig besar, karib Datuk Bandaharo Ganggo. Ia
terkesima mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngolan. Pongki
rupanya sangat baik digunakan dalam rencana merebut dan menduduki
Tanah Batak. Datuk Bandaharo diminta menyerahkan Pongkinangolngolan.
Tuanku Nan Renceh memberi nama Pongkinangolngolan Umar bin Katab.

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan
keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso. Mereka dihabisi karena
menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja
Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan Tuanku Lelo. Hulubalang
bernama asli Idris Nasution itu, menurut Onggang Parlindungan,
dijuluki Tuanku Lelo sebab memperoleh lisensi “kesimaharajalelaan”
untuk melakukan kekejaman oleh Tuanku Nan Renceh.

Umar Katab (Pongkinangolngolan Sinambela) diangkat Tuanku Nan Renceh
sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Tuanku Nan
Renceh, setali tiga uang Belanda, menjalankan politik divide et
impera. Ia menggunakan orang Batak untuk menyerang dan menaklukkan
tanah Batak. Ekspansi dimulai 1816 dengan menyerbu benteng
Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Sebanyak 5.000 anggota
pasukan berkuda dan 6.000 anggota pasukan infanteri meluluhlantakkan
benteng Muarasipongi. Semua penduduknya dibantai tanpa sisa.

Gerakan Paderi bergelimang kebengisan (cruelties) dan berlumuran
kekejaman (atrocities). Kekejaman sengaja dilakukan dan
disebarluaskan untuk menebar pengalaman traumatis guna memudahkan
penaklukan. Satu per satu wilayah Mandailing pun ditaklukkan pasukan
Paderi yang dipimpin para hulubalang Batak sendiri.

Gerakan ekspansif ke tanah Batak itu oleh Onggang Parlindungan
disebut “Tingki Ni Pidari”-malapetaka besar zaman Paderi.
Teror “Tingki Ni Pidari” adalah neraka paling jahanam dalam sejarah
etnis Batak. Lembaran paling kelam dari sejarah Gerakan Paderi.
Banyak memangsa korban jiwa, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan.

Kebajikan masa lampau

Pada 1974 Prof Haji Abdul Malik Karim Amrulah (HAMKA) menerbitkan
buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Buku itu berisi sanggahan-
sanggahan terhadap kisah Mangaradja Onggang Parlindungan. Menurut
Buya HAMKA, Tuanku Rao manis kulitnya, pahit isinya. Maklum buku itu
mengagungkan etnis Batak seraya menganggap sepi etnis Minang.
Menarik bahwa sebagai ulama besar, Buya HAMKA pun saat menanggapi
Parlindungan terjebak isu peka sentimen primordial-etnosentrisme.
HAMKA tidak rela Tuanku Rao dan Tuanku Lelo menempati kedudukan
lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. HAMKA menuduh
Parlindungan pembohong dan bodoh. Parlindungan menyebut HAMKA
kampungan.

Kendati emosional, perdebatan antara ulama dan tentara itu tidak
menjurus kekerasan fisik dan mobilisasi massa. Di Padang pada 1969
mereka berdebat sengit dalam seminar tentang penyebarluasan Islam di
seantero Sumatera Barat. Adu argumentasi dimungkinkan mengingat
atmosfer intelektual saat itu sangat menyantuni kebebasan akademis.
Apalagi mereka berdua dibesarkan pada zaman Belanda. Muara
pendidikan pada zaman kolonial memang humanitas expleta et eloquens
(kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Kendati
secara ideologis berseberangan, HAMKA dan Parlindungan karib yang
acap berangkat shalat Jumat di Masjid Al-Azhar secara bersama-sama.

Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya mutu peradaban.
Inilah hikmah yang bisa ditimba dari polemik Parlindungan dengan
HAMKA. Ditarik agak ke belakang, pada zaman kolonial, Sutan Takdir
Alisyahbana (STA) yang properadaban Barat pernah berdebat dengan
Sanusi Pane yang menjunjung tinggi budaya Timur. STA ingin
membersihkan anasir mitos dan takhayul (penghambat kemajuan) yang
bergentayang di sesat pikir bangsa Indonesia. Sanusi Pane menganggap
STA kemlondo-londonen (kebarat-baratan) dan tidak menghargai
indigeneus people (kearifan lokal). Di kemudian hari STA benar:
bangsa Indonesia maju karena berkiblat ke Barat.

Pada 1952-1954 terjadi polemik kebudayaan yang bermutu antara
Soedjatmoko dan Buyung Shaleh. Soedjatmoko prihatin sastra mandul
tidak mampu menghasilkan karya masyhur seperti Chairil Anwar karena
sastrawan Indonesia cenderung pragmatis. Buyung Shaleh, tokoh Lekra,
tidak sependapat. Menurut dia, majalahnya karya sastra karena
terputusnya kehidupan sastrawan dengan rakyat.

Polemik kebudayaan dan perdebatan akademik padam sejak Orde Baru
naik ke tampuk kekuasaan. Perdebatan intelektual miskin dan compang-
camping. Pendidikan Orde Baru bubrah. Tidak menyediakan ruang secuil
pun buat merenung. Intelektual sangat pragmatis: terjun ke partai,
terserap birokrasi, cari nafkah di LSM, mengasong proyek penelitian,
dan menjadi konsultan kapitalis. Perdebatan HAMKA dengan
Parlindungan yang sangat bermutu jadi barang langka. Polemik mereka
terasa kasar pada zaman sekarang akibat virus eufemisme yang
disebarkan Orde Baru.

Almarhum Mangaradja Onggang Parlindungan, mantan perwira Angkatan
Darat, salah satu pendiri Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad)
Bandung, adalah insinyur perkayuan lulusan Universitas Delft Belanda
dan Zurich Swiss. Parlindungan intelektual jujur. Kendati
Parlindungan generasi ke-5 keturunan Tuanku Lelo, buku ini diniatkan
untuk merehabilitasi nama baik Tuanku Rao yang citranya demikian
remuk redam di kalangan masyarakat Batak.

Buku ini makin memperkaya data bahwa di sekujur Nusantara,
masyarakat Indonesia memang ditelikung spiral kekerasan. Persatean
nasional gemar mengambil bentuk whole sale teror (teror ombyokan)-
bencana politik 1965, konflik Ambon dan Poso, kegaduhan etnis di
Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Alas Tlogo. Melalui bukunya,
Onggang Parlindungan mengampanyekan lingkaran malaikat perdamaian.

“PRAHARA DI TANAH BATAK”

“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche
berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu
tampaknya berlaku juga untuk sejarah, sebab sejarah erat kaitannya
dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya
bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Karena itu, sejarah juga
merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran
mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.

Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu
upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman
masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui
buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu
Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses
yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.

Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan
sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang
semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya
letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih
diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri
ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif
seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.

Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke
Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan
Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh
dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua,
dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak.
Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai
mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali
ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh
keturunannya.

Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan
penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para
penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak
sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris
Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti).
Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana
Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran
Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan
Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana
Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai
anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan
keponakannya (hlm. 355).

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu
(tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai
hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati
kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau
Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan
terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong
seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun
berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan
pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah
dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku
Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti
pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira
tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.

Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera
seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah
Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816
M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis.
Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya
dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja
dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut
agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab
Hambali.

Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara
dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin
Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah
Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja
Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar
menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan
satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger
Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya
penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara
Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar
30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran,
melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa
pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman
seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam
Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di
Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya,
Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September
1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan
tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang
dijadikan selirnya.

Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34
lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah
berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai
interpretasi yang tidak mutlak.

Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam
merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial,
dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak
pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi
konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan
mengenai historiografi Indonesia. (*)

Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi

Oleh Batara R Hutagalung
Disampaikan dalam Seminar “Perang Paderi, 1803 – 1838. Aspek Sosial Budaya, Sosial Psikologi, Agama dan Manajemen Konflik."
Di Arsip Nasional RI, Jakarta, 22 Januari 2008.
Pendahuluan
Sejak terbit pertama kali tahun 1964, buku karya Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP), ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ telah menuai banyak kritik dan sanggahan. Sanggahan tertulis pertama datang dari HAMKA dengan bukunya yang berjudul: Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Secara garis besar HAMKA menyebutkan, bahwa isi buku MOP 80 % bohong dan 20 % meragukan.
Cetakan kedua buku MOP terbit pada bulan Juni 2007, dan buku yang langsung memberikan sanggahan terhadap buku tersebut ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap, dengan judul ‘Greget Tuanku Rao.’
Selain kedua buku tersebut, berbagai silang pendapat dan kontroversi mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi muncul dalam berbagai tulisan, baik di media massa maupun di internet.
Mengenai sosok dan asal-usul Tuanku Rao sendiri terdapat beragam versi. Namun kelihatannya tak satupun yang dapat mengklaim, bahwa pendapatnyalah yang paling benar, karena semua versi hanya bedasarkan cerita rakyat atau cerita keluarga yang tidak dapat melampirkan dokumen yang otentik, termasuk yang dikemukakan oleh HAMKA. Dalam bukunya, HAMKA menyebut suatu sumber Belanda, J.B. Neumann, Kontelir BB, yang menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, bukan orang Bakkara. Sumber Neumann juga orang Belanda, Residen T.J. Willer. (Hlm. 239)
Sumber lain yang disebut oleh HAMKA adalah Asrul Sani, yang juga menyebut bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi. Namun tidak disebutkan, dari mana sumber informasinya. (Hlm. 240)
Bahkan Sanusi Pane menganggap, bahwa Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai adalah orang yang satu itu juga. (Hlm. 242)
Selain mengenai sosok Tuanku Rao, HAMKA juga membantah keterangan mengenai sejumlah tokoh yang ditulis oleh MOP dalam bukunya. Juga HAMKA membantah segala bentuk kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan Batak.
Buku BHH ‘Greget Tuanku Rao’ membantah beberapa hal yang ditulis oleh MOP, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti perkosaan yang dilakukan oleh tentara Paderi.
Bantah membantah mengenai suatu tulisan atau peristiwa adalah hal yang biasa, juga dalam penulisan sejarah. Banyak kalangan dari etnis Jawa membantah adanya Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Namun kenyataannya, di kota-kota di Jawa Barat tidak ada nama jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit, karena di masyarakat Sunda, berkembang cerita sebagimana tertulis dalam Kidung Sunda.
Tuanku Rao Dalam Turi-Turian Batak
Di masyarakat Batak, baik Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas maupun Toba, cerita rakyat dikenal sebagai turi-turian atau cerita yang dituturkan oleh seorang Bayo Parturi. Turi-turian yang juga diceritakan turun temurun oleh para orang tua kepada anak-cucunya dapat bersumber dari peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi bisa juga legenda atau hikayat, yang hanya merupakan produk fantasi dari nenek moyang.
Walaupun etnis Batak memiliki aksara sendiri yang dinamakan ‘Surat Batak’, namun sangat sedikit sastra Batak yang dituliskan dengan Surat Batak. Pada umumnya, Surat Batak digunakan untuk menuliskan ilmu kedukunan dan surat-menyurat, dan di beberapa daerah, antara lain di Karo, Angkola dan Simalungun, Surat Batak digunakan untuk menuliskan syair. Hal ini yang menyebabkan, banyak turi-turian tidak ditulis dalam Surat Batak, melainkan hanya melalui penuturan secara lisan turun-temurun dari nenek moyang ke anak cucu, atau dituturkan oleh Bayo Partuturi.
Mengenai asal-usul Tuanku Rao, terdapat beberapa versi. Versi yang paling banyak berkembang adalah versi yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Palindungan (MOP) dalam bukunya ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’
Dalam buku ini disebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah anak hasil hubungan gelap dari Gana boru Sinambela, putri Singamangaraja IX dengan paman kandungnya sendiri, Gindoporang Sinambela, adik dari Singamangaraja X.
Ketika Gana Sinambela hamil akibat hubungan dengan pamannya, kehamilan ini diketahui oleh ayahnya. Untuk menutup aib ini, Gindoporang dan Gana diasingkan ke Singkil, Aceh, karena untuk hamil di luar nikah, apalagi hasil hubungan dengan keluarga sendiri (incest), sanksinya adalah hukuman mati.
Di Singkil, Gindoporang masuk agama Islam dan mengambil nama Muhammad Zainal Amirudin Sinambela. Gana sendiri tidak bersedia masuk Islam, dan tetap menganut agama Batak, Parmalim. Ketika putra mereka lahir, Gindoporang memberikan nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela. Oleh ibunya, dia diberi nama Pongki Na Ngolngolan yang artinya adalah Fakih yang menunggu-nunggu, karena Gana masih berharap, suatu hari akan dapat kembali ke Tanah Batak.
Setelah Singamangaraja IX meninggal, dia diganti oleh putranya, yang menjadi Singamangaraja X. Singamangaraja X memanggil kembali adiknya, Gana Sinambela bersama putranya, Pongkinangolngolan.
Beberapa Datu (dukun) di Bakkara yang mengetahui mengenai asal-usul Pongkinangolngolan meramalkan, bahwa suatu hari dia akan membunuh Singamangaraja X. Oleh karena itu mereka mendesak, agar Pongkinagolngolan dihukum mati.
Pongkinangolngolan dapat menyelamatkan diri dan mengembara sampai ke Mandailing, di mana dia kemudian menjadi anak didik Tuanku Nan Renceh. Setelah masuk Islam, namanya diganti menjadi Umar Katab. Nama Katab apabila dibaca dari belakang menjadi Batak. Umar Katab ini kemudian bergelar Tuanku Rao. Demikian asal-usul Tuanku Rao menurut versi MOP.
Versi lain menyebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah putra dari Nai Napatihan, putri Singamangaraja X, yang menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke Singkil, Aceh, agar tidak menjadi saingannya di kemudian hari. Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin.
Juga ada versi yang menyebutkan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak.
Ada versi lain yang ditulis oleh seorang sarjana Batak dalam disertasinya di UGM, yang menyatakan bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu.
(lihat weblog: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html)
Dalam bukunya Antara Fakta Dan Khayal “TUANKU RAO”, HAMKA menulis, bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, Rao Padang Nunang. (Hlm. 240).
Imam Bonjol sendiri menulis dalam catatan hariannya, bahwa Tuanku Rao berasal dari suatu desa di Mandailing (sebagaimana disampaikan oleh Dr. Phil. Ichwan Azhary dalam diskusi ‘Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ di Medan, 24 November 2007 dan di Pematang Siantar, 26 November 2007). Namun tidak diterangkan lebih lanjut mengenai asal-usul Tuanku Rao. Mungkin Imam Bonjol hanya mengetahui, bahwa Tuanku Rao datang dari suatu desa di Mandailing dan tidak mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usulnya apakah memang asli dari daerah tersebut.
Agresi kaum Paderi ke Sumatra Utara
Mengenai agresi kaum Padri ke Tanah Batak yang dikenal di kalangan Batak sebagai “Tingki Ni Pidari” atau “Zaman Padri”, dua sesepuh Batak, Drs Muara Sitorus dan Edith Dumasi Nababan, SH, yang hadir dalam diskusi ‘Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ yang diselenggarakan di Sekretariat Plot (Pusat Latihan Opera Batak) Siantar, pada Senin 26 November 2007, memberikan kesaksiannya: (Dikutip dari harian METRO SIANTAR edisi 27, 28 dan 29 November 2007).
“… Drs Muara Sitorus, seorang mantan guru, misalnya, menyatakan sangat senang saat harian METRO SIANTAR menulis kisah Perang Paderi dan ‘cerita kelam’ dalam keluarga Dinasti Singamangaraja, sebanyak empat seri. "Saya tak menyangka, di zaman sekarang masih ada orang yang peduli dengan kisah sejarah di masa lalu. Terima kasih METRO," kata tokoh masyarakat asal Porsea yang merantau ke Siantar, mengawali ( terima kasih kembali, Pak, red).
Selanjutnya ia mengatakan, fakta sejarah yang ditulis Parlindungan dalam buku Tuanku Rao, sudah lama didengarnya, jauh sebelum buku Tuanku Rao terbit. "Saya sudah lama mendengar kisah mengenai Tingki ni Pidari. Itu adalah kisah mengenai Pasukan Paderi menyerang Tanah Batak. Dari peristiwa Tingki ni Pidari inilah, muncul istilah Monjo (mirip dengan bunyi Bonjol). Monjo ini adalah sebutan orang Batak menyebut Pasukan Paderi," katanya.
Kalau pasukan Paderi datang, orang-orang akan berteriak "Monjo datang…Monjo datang!" "Kalau ada teriakan Monjo, itu menjadi pertanda bagi orang-orang Batak yang mendengarnya, untuk lari ke hutan menyelamatkan diri," katanya. Kisah ini didengarnya dari orang-orangtua, yang diceritakan secara lisan. Karena itu, Drs Muara Sitorus senang dengan penerbitan buku Tuanku Rao, dan menegaskan, kalau kisah di dalamnya adalah fakta sejarah.
Mendukung pernyataan Drs Muara Sitorus, Ibu Edith Dumasi Br Nababan, mantan Hakim Agung yang hadir dalam diskusi di Sekretariat PLOt itu mengatakan, Tingki Ni Pidari itu sungguh benar terjadi. "Saya sudah lama mendengar kisah mengenai kisah Tingki Ni Pidari. Dan seperti dikatakan Pak Sitorus, pasukan Imam Bonjol itu disebut Monjo. Kalau Monjo datang, seluruh orang Batak haruslah berlari menyelamatkan diri ke hutan," katanya.
Sayangnya, hanya anak-anak,wanita, dan pria yang tengah bekerja di sawah yang sempat melarikan diri ke hutan. Sementara yang tinggal di rumah, umumnya perempuan-perempuan cantik yang bekerja menenun ulos/kain, tak sempat kabur.
Untuk memaksa orang-orang yang sembunyi di rumah agar keluar, Pasukan Paderi pun membakar rumah-rumah. Semua perempuan yang bersembunyi dalam rumah terpaksa keluar, daripada terpanggang hidup-hidup. "Itulah makanya, rumah-rumah Batak habis di daerah Silindung. Hanya di Toba saja yang masih tersisa sedikit," katanya …
… Yang melarikan diri ke hutan, sebagian besar mati kelaparan. Hanya yang kuat-kuat dan umumnya tak cantik, yang bertahan selamat. "Itulah sebabnya, perempuan-perempuan Batak yang cantik baru ada sekarang ini. Itu karena yang cantik-cantik sudah mati dipancung atau diperkosa oleh Monjo, atau kelaparan di hutan. Hanya perempuan-perempuan kuat dan berbadan tegap, yang umumnya tak begitu cantik yang berhasil bertahan hidup di hutan. Makanya perempuan-perempuan Batak sampai waktu yang cukup lama, umumnya tak cantik. Sekarang saja, baru ada perempuan Batak yang cantik," kata Ibu Edith Dumasi Br Nababan, yang masih saudara kandung dengan Dr SAE Nababan, mantan Ephorus HKBP.
Selain membenarkan adanya kisah mengenai Tingki ni Pidari yang disebutnya sebagai masa kelam di Tanah Batak –seperti diceritakan oleh Parlindungan dalam buku Tuanku Rao– Ibu Edith Nababan yang juga istri Ir Sahat Lumban Tobing (alm) ini mengatakan, kisah mengenai Pongkinangolngolan Sinambela alias Tuanku Rao, adalah benar merupakan bere (keponakan) Singamangaraja X. Tapi karena Pongkinangolngolan memiliki kekuatan batin/spiritual, sejumlah datu di Bakkara mengatakan dia harus diusir/dibunuh. Itulah kisahnya maka dia terusir hingga ke Minang.
"Mertua dari mertua saya masih keturunan Dinasti Singamangaraja. Dan saya ada mendengar keberadaan Pongkinangolngolan sebagai bere Singamangaraja X, yang membunuh tulangnya (paman – red) itu," kata mantan Ketua Pengadilan Tinggi di Lampung yang juga pernah menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Jawa Baratdan di Kalbar ini.
Caranya, Pongkinangolngolan yang sudah begelar Tuanku Rao, mengirim pesan ke Tulang-nya, untuk menerima pisau sebagai hadiah. Namun saat Tulangnya datang dari Bakkara, Pongkinangolngolan memeluk Tulang-nya itu dan menikamnya hingga tewas (versi MO Parlindungan, Singamangajara X dibunuh Jatengger Siregar).
Dari sana, Pasukan Paderi menyerang kampung Tulang-nya di Bakkara, dan menjarah harta benda, seperti perhiasan, baju, ternak, untuk logistik tentara. "Itulah cerita yang saya dengar dari ayah saya. Bahkan bibi dari ayah saya adalah salahsatu yang sempat ditawan Pasukan Paderi, yang berhasil melarikan diri dengan mengikuti aliran Aek Sigeaon," kata ibu Edith Nababan (yang selanjutnya diwawancarai METRO).
Saat epidemi penyakit merajalela, Pasukan Paderi mundur dari Tanah Batak. Namun sebagian memilih tinggal di Silindung, di daerah Sosorpadang, dan sampai sekarang masih ditempati oleh orang Padang yang Islam. "Sampai saat ini mereka tidak pernah diganggu," kata ibu yang saat ini menjabat sebagai Ketua Paguyuban Darma Wulan (Warga Usia Lanjut) cabang Medan.
Ibu Edith juga mengaku, sempat kenal dengan Sutan Martua Raja, ayah MO Parlindungan, si penulis buku Tuanku Rao. Saat itu, mereka tinggal bertetangga di Siantar. Ibu Edith sendiri kala itu masih murid SD, sementara Sutan Martua Raja sudah tua.
Menurut ibu yang sudah berambut putih ini, orang Batak tidak tersinggung dan tidak perlu dendam membaca buku Tuanku Rao. "Sejarah kelam di Tanah Tapanuli jangan sampai menumbuhkan dendam. Kekerasan horizontal antarsuku ataupun atas nama agama/kepercayaan harus diakhiri. Mari kita membuka diri menerima fakta, bahwa orang orang Batak pernah kalah dalam Perang Paderi. Dan mari kita belajar dari sejarah, dengan tidak mengulangi perbuatan kekerasan. Karena sejarah memang sangat mungkin berulang," kata ibu yang saat masih gadis ini sudah menjabat sebagai Ketua PN Taput dan Dairi…’
Demikian juga buku yang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap (BHH), memaparkan penyerbuan tentara Paderi ke Simanabun yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. BHH menuliskan a.l.: (lihat Weblognya: http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog)
‘… Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang ketidak-berperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan rombongannya terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian melindungi rombongan Datu Bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimanapun tidak akan bisa diterima manusia beradab !!!
Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat, berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara dengan jarak lebih dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di daerah Angkola dan Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu Bange harus menebusnya dengan nyawanya sendiri…
Bahkan BHH menganggap dasar yang digunakan oleh panitia yang mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk Tuanku Tambusai tersebut naif dan menjatuhkan harkat dan martabat Datu Bange. BHH menulis (Hlm. 67):
“… Pada masa itu daerah-daerah dataran tinggi yang penduduknya masih parbegu dan sering membuat kekacauan seperti merampok dan mengambil Budak yang meresahkan penduduk. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri keadaan itu dengan melakukan gerakan terhadap kelompok parbegu tadi dipimpin oleh Datu Bange, Raja Siminabun yang bentengnya terletak di atas puncak bukit terjal di tepian sungai Batang Pane…”
BHH menulis bahwa Datuk Bange telah beragama Islam, namun tidak mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi mereka sudah memeluk Islam. BHH menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas raya yang dicintai rakyatnya. BHH juga menonjolkan peranan ulama-ulama Sufi Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang. (Hlm. 68)
Memang Islam telah masuk ke Sumatera Utara sejak abad 8, dan kebanyakan beraliran Syiah. Selama ratusan tahun Islam dan agama asli Batak, Parmalim, serta penganut Hindu-Buddha dapat hidup berdampingan dengan damai.
Banyak kalangan –termasuk HAMKA- menolak isu tentang adanya pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh sebagian pasukan Paderi. Cerita tentang bagaimana anggota Paderi melampiaskan nafsu syahwatnya secara terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang mencari data ilmiah. Di mata Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka. Sedangkan dalam bukunya, MOP menyatakan, bahwa Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyutnya.
Mengenai penculikan kaum perempuan di daerah yang telah ditaklukkan dan kemudian dijual sebagai budak, juga pernah ditulis oleh Rosihan Anwar di harian Kompas edisi Senin, 06 Februari 2006 dengan judul ’Perang Padri yang Tak Anda Ketahui’ , di mana tertulis:
“… Yang menarik ialah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan budak masa itu sebuah gejala lazim…”
Di zaman penjajahan Belanda, perbudakan adalah hal yang resmi dipraktekkan. Bahkan ada undang-undang perbudakan, yang berlaku sejak tahun 1640 dan secara resmi baru dihapus tahun 1863. Namun pada kenyataannya, praktek perbudakan di wilayah jajahan Belanda masih berlangsung hingga akhir abad 19. Demikian juga dengan perkosaaan terhadap perempuan di daerah diserang dan telah dikalahkan atau diduduki. Hal ini masih terus terjadi hingga sekarang.
Dalam bukunya ‘Antara Fakta dan Khayalan’ -entah disadari atau tidak- HAMKA banyak membeberkan tindak kekerasan dalam penyebaran beberapa aliran Islam di Timur-Tengah, terutama yang dilakukan untuk menyebarluaskan sesuatu aliran atau mazhab. HAMKA juga menuliskan kekejaman Tuanku Nan Renceh yang sangat fanatik kewahabiannya, yang memerintahkan untuk membunuh adik ibunya, karena tidak mau mengikuti sembahyang. (Hlm. 238)
Mengenai pakaian putih yang dikenakan oleh para ulama di Minangkabau, HAMKA menulis, bahwa warna putih yang dikenakan oleh para ulama merupakan warisan dari agama Buddha. HAMKA menulis (Hlm. 303):
“… Bahkan warna putih itu mungkin sudah ada sejak orang Minangkabau masih memeluk Agama Budha. Biksu-biksu Budha berjalan dengan pakaian selendang putih meminta bakal (mungkin yang dimaksud adalah bekal – pen.) makanan kepada penduduk. Setelah datang Agama Islam pusaka secara Budha itu diteruskan oleh santri-santri di Minangkabau yang dinamai ‘Orang Siak’.: Mereka bersarung putih, berbaju dan celana putih meminta sedekah bekal mengaji tiap-tiap hari Kamis ke runah-rumah penduduk…”
Memang sulit untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa atau hal-hal yang terjadi di masa lalu, dengan ukuran kemanusiaan sekarang. Juga apabila tidak ada atau kurangnya data, fakta dan dokumen yang dapat memperkuat cerita rakyat atau penuturan mengenai suatu peristiwa sejarah.