TUAN SUMERHAM DENGAN BUAH RAMBE (1)
Toga Sumba, mempunyai dua orang anak yaitu:
Toga Simamora dan Toga Sihombing.
Toga Simamora memperistri putrid dari keluarga Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putrid dari Siraja Lotung,
Toga Simamora, mempunyai anak dari hasil perkawinannya dengan putri dari keluarga Saribu Raja*, bernama Tuan Sumerham, dan seorang putri yang buta.
Istri pertama Toga Simamora adalah Boru Pasaribu, pomparan dari Saribu Raja. Sedangkan Toga Sihombing mempunyai istri boru Lottung ( Lottung, delapan bersaudara, tujuh marga, satu perempuan) Dari boru Lottung lahir empat orang anak. yaitu : (Toga Sihombing vs Br.Lotung)
- Silaban,
- Nababan,
- Hutasoit,
(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama)
Kemudian Toga Simamora, Mangabia/ manhappi mengawini istri dari Toga Sihombing, (apakah karena meninggal di kedua belah pihak, tidak jelas dalam sejarahnya), dan lahir tiga orang anak yaitu: Toga Simamora vs br.Lotung)
- Purba,
- Manalu,
Maka ke-tujuh marga ini merupakan satu ibu, lain bapak. Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada sejarah selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toga Simamora dan Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara.
Tuan Sumerham bersama tiga orang Saudara tirinya, tinggal serumah dan keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain.
Tuan Sumerham memperistri putri dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung.
Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak. Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya Tiopipian br. Siregar belum juga mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh boru Siregar tetapi dia masa bodoh dan tidak menjadi “dihailahon tondi na” Hal ini juga disadari Tuan Sumerham. Pada suatu saat isteri Tuan Sumerham boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudaranya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaan para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya pada suatu malam, saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora yaitu,
- Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedangdisembunyikan di Bonggar-bonggar.
2. Tombak, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
3. Pustaha (buku lak-lak).
4. Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasasilambuyak).
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut, maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui. Sebagai acuan mereka tinggal di mana?, Tuan Sumerham mempersiapkan sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah pilihan mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal. Rupanya Tuan Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak akan kembali dan mempunyai keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi pohon aren (pakko) dengan ujung lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka datang”
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat, karena bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde br.siregar tertinggal di sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah menuruni bukit tadi, mereka beristirahat sambil mencocokan tanah yang mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga maka mereka kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat br. Siregar yang terbuat dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat. Maka tempat itu dinamakan Sibuluan)
Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian br Siregar) di suatu tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG” Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa dari Tipang Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu Tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap saat berbuah banyak. Tidak mengenal musim, kembang dan buah matang silih berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan lumayan banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya kalau sudah matang sempurna. Buah inilah yang menjadi makanan mereka setiap hari, ditambah dengan hasil berburu, sebelum hasil tani mereka panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul di di areal mereka tinggal, Tiopipian br Siregar bingung, mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa. Tanpa diketahui dari mana asalnya, tumbuh sebatang padi di lading yang merka cangkul, lalu mereka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal mula mereka bertanam padi. Padinya disebut disebut padi sisior berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampung Pakkat, padi si Rambe. Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari pemerintah.
Ternyata buah rambe ini mungkin mempunyai khasiat, menyuburkan keduanya Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Tiopipian br Siregar mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putrid bernama Surta Mulia br. Rambe.
- Anak Pertama diberi namaRambe Toga Purba,
- Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu,
- yang terakhir Rambe Anak Raja
dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.
Ada beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai keturunan, dengan hati yang tulus dan tekat yang murn, pergi ke Lobu Tondang untuk memakan buah Rambe, ternyata menjadi punya anak. Ketulusan dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa ego dan serakah, akan membuahkan hasil.
Pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi
Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan Br Siregar menjadi tano tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja Tuktung Pardosi. Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi sendiri mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang mengalir di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk mengetahui keadaan di pedalaman. Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya dengan emlihat yang hayut di Sungai Sirahar. Alangkah kagetnya Raja setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di sungai tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan. Segera raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk dimintai keterangan dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan Tuan Sumerham. Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan Tuan Sumerham dan keluarga di jatuhi sanksi “harus memberikan upeti setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”. Hasil buruan, harus diberi kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap pertama panen setiap musing lebih dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham.
Satu hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak memberi kategori tawanan kepada keluarga Tuan Sumerham. Dengan demikian Tuan Sumerham dapat berusaha melepaskan diri dari segala sanksi.
Lepas dari Upeti
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya atau untuk masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia membuat pekerjaan yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham pergi melihat jebakan rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalu Tuan Sumerham meberi bulang-bulang rusa di kepala dengan warna Putih, Hitam dan Merah dia atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. Dan bekas jejaknya dia rapikan kembali, sehingga kelihatannya belum ada yang melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai sekarang disebut Panambilan (asal kata sambil atau jorat)
Tuan Sumerham dengan segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah dialognya:
“Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita saya tidak mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apagerangan yang akan terjadi kelak dengan tanda rusa yang saya dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada Sang Raja. Itu sebabnya saya dating”
“Ada apa rupanya Tuan Sumerham?”
“Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa yang besar, tetapi saya takut mendekatinya, silakan kita lihat yang mulia”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan tersebut. Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang bermahkota kain putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan Tuan Sumerham. Sang Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut sangat menyeramkan dan berkata;
“di ho ma na di ho!?. Mulai saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe boa-boa ni ursa I sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu I” (artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang akan terjadi oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan saya. Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti kepada Raja. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri,
- yang tertua mernama Nanja br Pardosi,
- kedua Kirri br Pardosi,
- ketiga Rubi br Pardosi.
Sementara Rambe Purba, Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah berajnjak dewas, demikian juga ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling mengikat Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung memberi syarat. Tuan Sumerham dan keluarga harus ramai menghadiri pernikahan tersebut. Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, megingat kepindahanya ke Lobu Tondang karena perlakuan Saudara tirinya yang menyakitkan. Tetapi karena sudah merupakan syarat dari Raja, maka Tuan Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya untuk mengundang Saudara Tirinya dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus mereka lakukan.
- Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan.
- Sesampainya mereka di sana, mereka akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/dibunuh. (demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk kampung, ditangkap dan lalu dibunuh)
- Pada saat di pasung, mereka harus melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak kembali ke tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali kek kandang, juga manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong. Tetapi itu akan terjadi pada mereka bertiga kalau tidak menayakan mereka anak siap.
- Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So Hadungdungan
- Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon.
Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran, maka berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan serta menjawab pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah ditunjukkan Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah menemukan lidi selanjutnya mengikuti arah ujung lidi itu, sampai menemukan lagi lidi berikutnya dan mengarah kea rah ujung lidi tersebut. Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan Sumerham terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan bawah Rumah. (Dahulu rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai kandang ternak seperti sapid an kerbau) Pada malam hari mulailah mereka melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham dengan penuh ketakutan dan menagis, terus menerus (diandunghon), Pada tengah malam, Namborunya mendengar andung mereka semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya lalu ia menemui Saudara tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan ketiga orang itu di pagi hari. Lalu Namborunya angkat bicara.
“Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate maup. Adong dongan tubu mu/Abang mu na mago. Atik boha dung dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung nasida. Dao-daoma jea sukkun hamu jolo nasida,”
Mendengar itu, mereka pun stop rapat dan memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun turn dan bertanya;
“Siapa kalian sebenarnya?”
“Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti layaknya Tamu terhormat.
“kami adalah anak dari Tuan Sumerham”
“Apa bukti kalau kalian anaknya”
“Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak”
Lalu mereka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?”
“Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon”
Merka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“Apalagi?”
“Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggar rumah bolon”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi,
“kalau pustaha dibawa ke perantauan, dan ada sama bapak sekarang”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam hatinya dia berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan rupanya hula-hula saya itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah dalah hatinya. Lalu mereka ditanya kembali.
“Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian?
“Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di panombagan nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai. Maka kami datang untuk mengundang”
“ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng ihurna””
bersambung………2